19 Juli 2008

Implikasi Putusan MK terhadap Parpol

Oleh Samsul Wahidin

Mahkamah Konstitusi (MK) menjatuhkan putusan atas permohonan uji materiil para pemohon yang bergabung dalam parpol nonparlemen atas ketentuan pasal 316 huruf (d) UU No 10/2008 tentang Pemilihan Umum.

UU itu menjadi dasar penyelenggaraan pemilu yang rencananya dihelat 23 April 2009. Sesuai dengan Undang-Undang tentang Mahkamah Konstitusi, putusan yang dijatuhkan itu bersifat final dan mengikat semua pihak (final and binding).

Apa implikasi hukum putusan yang dijatuhkan MK tersebut? Banyak implikasi yang bersifat substantif pasca putusan itu, terutama bagi keberadaan parpol lima tahun ke depan. Bahkan dalam jangka panjang, putusan tersebut berpengaruh terhadap iklim politik di tanah air yang sedang mencari bentuk.

Secara hukum, implikasinya berkisar pada akomodasi politik atas hukum dan bagaimana pendapat MK yang bisa dipandang sebagai standar putusan hukum atas kehidupan parpol di tanah air.

Kejanggalan

Sebagai putusan terhadap UU yang kelahirannya dibidani proses panjang, implikasi yuridis atas putusan itu harus dipandang sebagai satu jenis kebijakan yang dapat dicermati untuk perbaikan "jagat perparpolan" di masa akan datang.

Atas dasar itu, hal pertama yang segera tampak dari putusan tersebut adalah kejanggalan sebagai bentuk inkonsistensi (tidak konsisten) ketika putusan itu memilah antara parpol yang mempunyai suara di dalam parlemen dan parpol nonparlemen. Bahwa ukuran yang dipakai sebagai dasar bukan electoral threshold, tetapi parliamentary threshold.

Masalahnya, pemilu ialah sarana untuk mendulang suara dalam rangka partisipasi politik rakyat menuju tata kehidupan yang demokratis (vide konsideran UU Pemilu).

Karena itu, substansi yang dijadikan sebagai ukuran atas eksistensi parpol sebagai peserta pemilu bukannya apakah mereka mempunyai wakil di parlemen atau tidak. Namun, ukuran substantifnya adalah seberapa besar parpol itu dipercaya rakyat sebagai wadah penyaluran aspirasi politik yang tecermin dengan besarnya perolehan suara baik di Pulau Jawa (sebagai tempat padat penduduk) maupun di luar Jawa (sebagai tempat tidak padat penduduk). Ukuran sebagaimana dimaksud adalah electoral threshold, bukannya parliamentary threshold.

Berdasar argumentasi di atas, pergeseran atau perubahan ukuran dari electoral threshold menjadi parliamentary threshold merupakan dasar hukum yang secara substantif tidak sesuai dengan tujuan pemilu dan eksistensi parpol. Ada kejanggalan ketika parameter digeser dari yang semestinya. Keterpengaruhan atas kekuatan parlemen sangat kental di dalam legal reasoning atas putusan tesebut.

Kedua, implikasi hukum dalam hal substansi putusan sebagai dasar yang dituju para pemohon adalah keikutsertaan pada Pemilu 2009. Berdasar penjelasan ketua MK (Jawa Pos, 12/7) putusan itu tidak mengubah jadwal pemilu yang telah ditetapkan KPU. Maknanya bahwa putusan itu hanya bisa diberlakukan pasca Pemilu 2009 atau tegasnya untuk penyelenggaraan Pemilu 2014.

Rentang waktu yang begitu lama menjadi titik lemah dalam sebuah putusan hukum. Tidak seorang pun bisa memprediksi apa yang akan terjadi pada proses pemilu pasca 2009. Sementara itu, yang ada saja belum bisa dilaksanakan, apalagi di masa yang begitu lama, di tengah ketidakpastian iklim politik dan ketatanegaraan.

Tambahan pula, masa jabatan MK hanya lima tahun. Artinya, meski pemilu diselenggarakan 5 tahun sekali, secara permanen putusan MK melampaui masa jabatan dan itu sebenarnya menjadi preseden tidak baik bagi yurisprudensi tetap oleh MK masa jabatan yang akan datang.

Berdasar hal di atas, jangka waktu putusan yang mempunyai daya ikat sampai pada penyelenggaraan Pemilu 2014 itu bersifat over judiciary (melampaui) kewenangan putusan yang semestinya berangkat dari asumsi substansial bahwa pemilu yang dimaksud adalah untuk 2009. Tidak ada kewenangan dan ikatan putusan tersebut untuk peristiwa hukum setelah pemilu yang masih belum dilaksanakan bahkan masih sangat jauh tersebut.

Keputusan MK kedaluwarsa, bahkan bisa jadi MK sudah tidak ada di tengah ketidakpastian sistem ketatanegaraan yang cenderung berubah seperti saat sekarang ini. Putusan itu juga tidak aplicable.

Ketiga, asas presumption of constitutionality (praduga konstitusional) yang dimaknai bahwa ketentuan dalam UU dinyatakan masih tetap berlaku sebelum dinyatakan bertentangan oleh UUD. Asas demikian seharusnya juga dimaknai berdasar asas dalam hukum tata negara bahwa hakikat putusan MK adalah perubahan terhadap pasal dalam UU. Padahal, sebuah UU berlaku sejak tanggal diundangkan dan mengikat setelah diletakkan dalam lembaran negara (LN).

Hal itu membawa implikasi bahwa putusan MK berlaku sejak tanggal diputuskan, yaitu 10 Juli 2008. Artinya, penyimpangan yang berwujud kualifikasi presumption of constitutionality harus dimaknai bahwa putusan yang mengubah UU itu berlaku sejak tanggal tersebut. Jadi, tidak untuk pemilu setelah itu.

Keempat, secara substansial, putusan tersebut tidak mendorong pada penyederhaan sistem kepartaian di tanah air yang begitu akomodatif terhadap aspirasi rakyat yang sejatinya tidak harus disalurkan seluruhnya.

Tema sentral yang menjadi cita-cita pengelolaan parpol di tanah air adalah menyederhanakan jumlah parpol yang pada gilirannya bisa mewujudkan keseimbangan kekuatan legislatif dan eksekutif.

Selama ini dipahami, idealnya jumlah parpol itu tidak perlu banyak seperti sekarang. Berkaca di negara maju, jumlah parpol itu dibatasi beberapa saja. Hal tersebut membawa implikasi luas dalam soal anggaran, bantuan pemerintah sebagai dana pembinaan, dan sebagainya. Implikasi paling penting dengan banyaknya parpol itu ialah sulitnya terwujud keseimbangan kekuatan dalam pengelolaan negara antara legislatif dan eksekutif.

Harus Dibatasi

Pada perspektif partisipasi politik rakyat, partisipasi tidak semata dimaknai dengan memberikan kesempatan seluas-luasnya sebagai refleksi hak kepada rakyat untuk mendirikan partai politik. Namun pada saat yang sama, jumlah parpol harus dibatasi.

Untuk itu, yang berasas sama seharusnya bisa dimerger. Adalah menjadi wewenang pemerintah untuk mengatur kehidupan rakyat agar tidak kacau. Ketika hal itu dilakukan, memang hanya ada perbedaan tipis antara mengatur dan membatasi. Namun, sepanjang semuanya demi kepentingan ketahanan nasional yang lebih mapan, penyederhanaan dengan hanya ada beberapa parpol itu, kiranya, bisa dibenarkan.

Putusan yang dijatuhkan dengan menambah kesempatan kepada parpol yang tidak lolos pada verifikasi untuk pelaksanaan Pemilu 2009 secara substansial lebih menitikberatkan pada akomodasi penyaluran aspirasi rakyat. Tidak berangkat dari pendidikan politik bagi rakyat yang idealnya direfleksikan pada jumlah parpol yang tidak sebanyak sekarang. Apalagi keputusan itu mengakomodasi penambahan jumlah parpol untuk 2014 yang masih berada di alam antah berantah. Saat para pemohon, termohon, kita semua, termasuk MK, berada di mana.

Prof Dr Samsul Wahidin SH MH , guru besar Ilmu Hukum Tata Negara Unmer Malang. (Jawa Pos Online)

23 Juni 2008

Menyibak Topeng Kartel Seluler

Oleh Agus Suman

Komisi Pengawas Persaingan Usaha (KPPU) menemukan persekongkolan enam operator seluler untuk membentuk harga (kartel) tarif layanan pesan pendek. Hal itu membuka mata kita bahwa praktik monopoli dalam bisnis ternyata masih banyak terjadi. Tentu saja, itu sangat merugikan konsumen atau masyarakat luas.

Memang, KPPU telah menghukum mereka dengan menjatuhkan denda kepada lima perusahaan operator telepon seluler sebesar Rp 77 miliar. Perinciannya, XL dan Telkomsel masing-masing didenda Rp 25 miliar, Telkom Rp 18 miliar, Bakrie Telecom Rp 4 miliar, Mobile-8 Telecom Rp 5 miliar.

Masalahnya tidak cukup sampai di situ. Sebab, yang terpenting adalah segera menghentikan praktik tersebut agar kerugian masyarakat tidak semakin besar. Menurut catatan KPPU, kerugian sampai sekarang sudah mencapai Rp 2,8 triliun. Dari sini, tampak denda yang ditimpakan hanya secuil dari keuntungan yang telah direguk.

Denda itu relatif kecil, yakni hanya 0,3 persen dari keuntungan yang diperoleh. Jadi, denda yang hanya sebesar itu tidak membuat mereka jera atau tidak akan mengatasi masalah. Sanksi lebih berat, baik dalam besaran ganti rugi maupun pencabutan izin usaha, rasanya, perlu dipikirkan. Kalau tidak, pastilah praktik seperti itu masih akan terjadi di kemudian hari.

Bagaimanapun juga, perlindungan terhadap pelanggan penguna telepon seluler harus terus dilaksanakan mengingat begitu tingginya pertumbuhan pengguna jasa sistem telepon ini. Lihatlah, pada awal perkembangannya pada 1996, jumlah pelanggan masih 563 ribu, lalu di tahun berikutnya mencapai 916 ribu atau tumbuh 62,7 persen, dan pada 2003 mencapai 18,494 juta pelanggan, kemudian tumbuh 64 persen pada tahun 2004 menjadi 30,33 juta pemakai, dan pada 2006 lebih riuh lagi, mencapai 54,69 juta. Lantas, pada 2008 ini, jumlah nasabahnya telah meroket menjadi 80,7 juta.

Kartel yang dilakukan perusahaan seluler itu telah berlangsung cukup lama, sejak 2004 hingga 1 April 2008. Mungkin, keputusan KPPU itu terlambat. Tetapi, tindakan KPPU tersebut merupakan langkah awal yang baik dalam menciptakan bisnis sehat, sebuah usaha yang tidak mengakali dan membohongi konsumen.

Penetapan Harga

Praktik monopoli membawa akibat mekanisme pasar yang tidak sebenarnya dan saat ini perilaku monopoli secara telanjang memang sulit dilakukan, kecuali yang dilakukan oleh BUMN atas pertimbangan strategis. Maka, yang lebih mungkin dilakukan perusahaan seluler adalah monopoli berbaju kartel. Hal ini dapat dilakukan karena para pemain dalam bisnis itu relatif terbatas. Katakanlah tidak sampai 10 perusahaan.

Pada dasarnya, kartel terjadi dengan penentuan harga secara bersama-sama atas suatu produk atau jasa. Dan harga yang ditetapkan terlampau tinggi sehingga keuntungan mereka sangat besar. Konsumen dirugikan karena harus membayar lebih mahal daripada yang seharusnya. Bisnis seluler itu, khususnya untuk layanan pesan pendek, telah melahirkan kerugian konsumen (consumer lost) karena penetapan harga seperti itu.

Hal tersebut terlihat gamblang bila kita lacak lewat tarif interkoneksi dari Badan Regulasi Telekomunikasi Indonesia (BRTI), yakni Rp 75 per SMS. Sbaliknya, operator seluler seperti PT Excelcomindo Pratama Tbk (XL), PT Telkomsel, PT Telkom, PT Bakrie Telecom Tbk, PT Mobile-8 Telecom Tbk, dan PT Smart Telecom memberlakukan tarif SMS antara Rp 250 hingga Rp 350. Persengkongkolan itu telah menginjak pasal 5 UU No 5/1999 tentang Larangan Praktik Monopoli dan Persaingan Usaha Tidak Sehat.

Pasal tersebut melarang pelaku usaha membuat perjanjian dengan pelaku usaha pesaingnya untuk menetapkan harga atas suatu barang dan/atau jasa yang harus dibayar oleh konsumen pada pasar yang sama.

Momentum

Oleh sebab itu, keputusan KPPU tersebut seharusnya menjadi momen untuk merombak regulasi yang ada, khususnya yang mengatur bisnis seluler. Tidak adanya piranti hukum yang kuat, membuat keputusan KPPU hanya menjadi sanksi sesaat.

Kejadian pada bisnis seluler bisa saja terjadi pada bisnis lain. Sebab, memang kekuatan korporasi saat ini mampu melihat setiap celah dari peraturan yang ada. Longgarnya hukum perlindungan konsumen di Indonesia menjadi ladang empuk bagi korporasi dalam menjalankan bisnisnya dengan pola yang cenderung licik dan serakah.

Hausnya kita investasi sering tidak mampu melihat agenda tersembunyi dari bisnis yang dijalankan investor. Gelontoran modal kakap menjadi lipstik yang memikat.

Pemerintah harus melindungi rakyat dari berbagai permainan bisnis, jangan sampai praktik licik seperti monopoli dan kartel tidak dapat dikendalikan pemerintah.

Celakanya, sering terhadap berbagai lonjakan harga kebutuhan pokok, pemerintah tidak dapat berbuat banyak. Terhadap harga beras yang merangkak, harga minyak goreng yang mendaki atau harga tepung yang terus menari-nari, pemerintah tidak berdaya untuk mengendalikannya.

Tentu saja, optimisme harus terus kita alunkan. Semoga keputusan KPPU terhadap mahalnya tarif seluler menjadi panji yang dikibarkan pemerintah untuk terus melindungi dan menjamin kesejahteraan rakyat, yang pada gilirannya ekonomi Indonesia menjadi ekonomi yang sangat berpihak kepada rakyat, dan menurunnya daya beli karena mahalnya berbagai kebutuhan masyarakat akan tinggal menjadi kenangan.

Agus Suman PhD , Lektor kepala pada Departemen Ilmu Ekonomi, Universitas Brawijaya, Malang. [Jawa Pos Online]

23 Mei 2008

Gubernur, Wakil Pusat atau Kepala Daerah?

Oleh Sunyoto Usman

Dalam konteks otonomi daerah, gubernur (dan wakil gubernur) adalah kepala daerah untuk daerah provinsi, yang memiliki tugas dan wewenang memimpin penyelenggaraan daerah atas dasar kebijakan yang disusun dan ditetapkan bersama DPRD tingkat provinsi. Karena gubernur dipilih langsung oleh rakyat, gubernur bertanggung jawab kepada rakyat. Sebagai kepala daerah di tingkat provinsi, gubernur juga berkedudukan sebagai wakil pemerintah (pusat) di wilayah provinsi yang bersangkutan.

Karena itu, selain harus bertanggung jawab kepada rakyat, gubernur harus bertanggung jawab kepada presiden (sebagai kepala negara). Kendati begitu, gubernur bukanlah atasan bupati atau wali kota. Gubernur hanya membina, mengawasi, dan mengoordinasi penyelenggaraan pemerintahan daerah kabupaten/kota.

Karena gubernur wakil pemerintah (pusat) bukan atasan bupati atau wali kota, pernah berkembang pandangan bahwa gubernur tidak dipilih rakyat, tetapi ditunjuk presiden. Mereka bayangkan kedudukan gubernur mirip seperti menteri kabinet. Hanya perbedaannya, kalau menteri kabinet memimpin departemen atau kementerian, gubernur memimpin provinsi.

Wacana demikian menguat ketika di beberapa provinsi, pemilihan gubernur menyisakan konflik politik yang tidak hanya mengganggu penyelenggaraan pemerintahan, tetapi juga menciptakan keresahan berkepanjangan.

Pandangan tersebut menguat ketika semakin disadari bahwa kehidupan masyarakat (terutama lapisan menengah bawah) masih didera sindrom kemiskinan, kebodohan, dan gizi buruk. Karena itu, janganlah rakyat terus dibebani dengan konflik-konflik politik. Bagi mereka, rakyat kini sangat lelah menghadapi konflik-konflik politik yang terjadi bersamaan dengan pemilihan langsung anggota parlemen dan presiden/wakil presiden.

Pandangan semacam itu menarik untuk dipertimbangkan. Tetapi, sebenarnya tidak mudah dilaksanakan. Dari segi aspek legal, UU yang berlaku masih menetapkan bahwa gubernur/wakil gubernur dipilih langsung rakyat. Rakyat paling menentukan siapa yang mempunyai mandat menjadi kepala daerah untuk daerah provinsi, meski disadari peran penting yang disandangnya adalah wakil pemerintah (pusat) di wilayah provinsi yang bersangkutan.

Dengan demikian, jika ada usul agar gubernur dipilih presiden, peraturan perundangan tersebut harus diubah dulu. Kenyataannya, mengubah UU bukanlah perkara mudah, membutuhkan waktu lama, dana besar, dan mungkin juga perdebatan-perdebatan sengit.

Dari segi politik, gubernur adalah figur yang mempunyai posisi tawar politik yang cukup kuat. Benar memang, gubernur bukan atasan bupati atau wali kota. Peran gubernur juga hanya membina, mengawasi, dan mengoordinasi penyelenggaraan pemerintahan daerah kabupaten/kota. Tetapi, gubernur memiliki wewenang memimpin penyelenggaraan daerah atas dasar kebijakan yang disusun dan ditetapkan bersama DPRD provinsi.

DPRD provinsi lazim diisi politisi-politisi yang memiliki reputasi politik yang cukup baik di tingkat kabupaten/kota. Mereka adalah politisi-politisi yang cukup diperhitungkan dalam menyusun arah kebijakan partai-partai politik di tingkat kabupaten/kota.

Implikasinya adalah seorang gubernur -yang sedang memimpin penyelenggaraan pemerintah daerah atas dasar kebijakan yang disusun dan ditetapkan bersama DPRD provinsi- juga sedang memimpin penyelenggaraan daerah atas dasar sebagian besar keinginan politik para politisi di tingkat kabupaten/kota. Karena itu, wacana gubernur dipilih langsung oleh presiden mungkin sekali menghadapi resistensi dari para politisi di tingkat kabupaten/kota.

Dari segi kultural, dalam kehidupan masyarakat kita masih terpateri anggapan bahwa status dan peran gubernur lebih tinggi daripada bupati/wali kota. Selama bertahun-tahun (sampai dengan diundangkan UU 22/1999 dan 32/2004 tentang Otonomi Daerah), gubernur lebih memerankan diri sebagai atasan bupati/wali kota.

Peran tersebut menjadi kian kukuh ketika pemerintah Orde Baru mengembangkan sistem pemerintahan sentralistis dan mempraktikkan gaya otoriter dengan sempurna. Ketika itu tidak banyak bupati-wali kota yang berani melawan keinginan gubernur karena setiap perlawanan bisa dimaknai tidak loyal kepada pemerintah pusat.

Dengan demikian, pandangan gubernur dipilih langsung oleh presiden barangkali menghadapi mindset dalam masyarakat yang sudah telanjur menempatkan gubernur dalam posisi sentral di tingkat provinsi.

Pada prinsipnya, gubernur, bupati, dan wali kota adalah jabatan yang bersifat politis karena harus diusulkan partai politik dan bukan pegawai negeri. Dalam proses pilkada langsung, kandidat gubernur yang sedang menduduki jabatan di pemerintahan bisa mencuri start kampanye. Mereka bisa memanfaatkan fasilitas publik untuk kepentingan kekuatan politiknya.

Sedikitnya ada tiga hal yang bisa dilakukan untuk mencegah kecurangan tersebut. Pertama, lembaga-lembaga yang bertugas melakukan pengawasan fungsional (Irjen, Bawasda, kepolisian, dan lain-lain) harus memberikan sanksi tegas kepada kandidat yang menyalahgunakan wewenang.

Kedua, media massa, kalangan profesional, LSM, dan lembaga-lembaga sosial kemasyarakatan harus ikut mengawasi dan mengidentifikasi kegiatan-kegiatan pejabat publik itu agar tidak dipergunakan untuk kegiatan politik berselubung yang dirancang dan digerakkan untuk kepentingan kampanye.

Ketiga, petinggi politik harus melakukan sosialisasi kepada kadernya bahwa berbagai bentuk kecurangan yang dilakukan untuk kepentingan kampanye akan merugikan diri sendiri. Melukai demokratisasi yang mereka perjuangkan.

Rekonsiliasi

Seperti diungkapkan di awal tulisan ini bahwa pilkada langsung adalah kompetisi yang keras. Karena itu, mudah dipahami bila pasca pilkada langsung masyarakat bisa terkotak-kotak mengikuti afiliasi kekuatan politik yang berlaga. Kondisi demikian tentu tidak sehat dalam hidup bermasyarakat. Sedikitnya ada tiga hal yang bisa dikembangkan untuk mengatasi masalah tersebut.

Pertama, harus dilakukan pendidikan politik bahwa pilkada langsung adalah instrumen yang dipilih untuk melakukan demokratisasi. Implikasi instrumen itu, ada pihak yang kalah dan yang menang. Bagi pihak yang kalah, bukan berarti bahwa segalanya sudah berakhir. Mereka masih mempunyai kesempatan untuk memenangi kompetisi pada pilkada langsung yang akan datang.

Pihak yang menang harus disadarkan bahwa apa yang mereka capai baru langkah awal untuk melakukan pekerjaan. Kekuatan politik bisa "dihukum" rakyat bila ternyata kelak tidak mampu memenuhi janji-janji politik yang pernah disampaikannya pada kegiatan kampanye.

Kedua, perlu dilakukan kegiatan-kegiatan sosial dan budaya yang memungkinkan kekuatan-kekuatan politik yang berlaga dalam pilkada langsung melakukan afiliasi silang. Tokoh-tokoh informal mengambil peran strategis dalam menciptakan kegiatan semacam itu. Kegiatan-kegiatan sosial dan budaya tersebut dimaksudkan untuk mempertahankan dan memupuk kesadaran bahwa dimensi kehidupan masyarakat itu sangat luas, dalam arti tidak hanya untuk memenuhi kebutuhan politik, tetapi juga kebutuhan sosial, budaya, dan ekonomi.

Pilkada langsung adalah salah satu kegiatan saja, bukan satu-satunya kegiatan. Karena itu, janganlah makna hidup dan kehidupan ini menjadi rusak hanya karena pilkada langsung.

Last but not least, pemerintah baru yang kelak terpilih tidak boleh serakah dan mengembangkan kebijakan dan program yang diskriminatif. Pemerintah baru harus mampu menjadi teladan, bisa bekerja sama dengan siapa saja, kendati tidak harus kehilangan identitas. Pemerintah baru harus mampu memberi apreasi ide-ide cerdas yang mampu meningkatkan kesejahteraan daerah, kendati ide-ide tersebut datang dari kekuatan-kekuatan politik lain.

Prof Dr Sunyoto Usman, guru besar sosiologi UGM di Jogjakarta. (jawa pos dotcom)

01 Mei 2008

Wajibkah Presiden dan Wapres Incumbent Mundur?

Oleh Yusril Ihza Mahendra

Bismillah ar-Rahman ar-Rahim,

Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) kini sedang Rancangan Undang-Undang (RUU) tentang Pemilihan Umum Presiden dan Wakil Presiden untuk menggantikan Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2003. Dalam pembahasan RUU itu, kita menyimak usulan beberapa anggota DPR agar dalam Pemilu Presiden dan Wakil Presiden tahun 2009 yang akan datang, Presiden dan Wakil Presiden yang sedang menjabat (incumbent) diwajibkan untuk mundur dari jabatannya. Usulan ini didasarkan kepada ketentuan tentang pemilihan kepala daerah, yang mewajibkan pejabat incumbent untuk mundur dari jabatannya. Alasan pokok yang dikemukakan ialah, agar pemilihan Presiden dan Wakil Presiden itu berjalan dengan fair. Pasangan incumbent, atau salah satu dari mereka, yang maju ke pencalonan Presiden dan Wakil Presiden, dikhawatirkan akan menyalahgunakan jabatannya, baik fasilitas, finansial maupun pengaruh yang mereka miliki sebagai Presiden dan Wakil Presiden.

Usul di atas terlihat menarik ketika upaya memberantas penyalahgunaan jabatan memang telah menjadi keinginan bersama seluruh rakyat. Rakyat menginginkan agar Pemilihan Umum Presiden dan Wakil Presiden berjalan secara jujur, adil dan demokratis. Saya sendiri – sebagai bagian dari rakyat Indonesia secara keseluruhan – sependapat dengan keinginan itu. Apalagi, jika Allah Ta’ala mengabulkannya, saya memang telah berniat untuk maju dalam Pemilihan Presiden dan Wakil Presiden tahun 2009 nanti. Sebagai bakal calon yang memiliki kepentingan – dan kebetulan juga bukan sedang incumbent – saya juga berkeinginan agar pemilihan Presiden dan Wakil Presiden berjalan secara fair, jujur dan adil. Namun demikian, apakah saya setuju Wakil Presiden dan Wakil Presiden incumbent yang maju menjadi calon harus mengundurkan diri? Sebelum mengemukakan pendapat pribadi saya, saya ingin menganalisis permasalahan ini dari sudut hukum tata negara, dan implikasi-implikasinya bagi kehidupan bangsa dan negara.

Kalau kita membaca ketentuan konstitusi, maka jelas masalah di atas tidak diatur di dalam UUD 1945. Ketentuan Pasal 7 UUD 1945 mengatakan “Presiden dan Wakil Presiden memegang jabatan selama lima tahun, dan sesudahnya dapat dipilih kembali dalam jabatan yang sama, hanya untuk satu kali masa jabatan”. Ketika Presiden masih dipilih oleh MPR – seperti ketentuan UUD 1945 sebelum amandemen – maka rumusan pasal ini hampir tidak ada masalah. Presiden dan Wakil Presiden memegang jabatan selama lima tahun. Pada saat jabatannya itu habis, maka pada saat itu pula MPR bersidang untuk memilih Presiden dan Wakil Presiden yang baru. Mungkin saja Presiden dan Wakil Presiden yang sudah habis masa jabatannya itu terpilih kembali. Namun mereka terpilih kembali “sesudah” masa jabatan mereka itu berakhir. Apakah kata-kata “sesudahnya dapat dipilih kembali” mengisyaratkan bahwa Presiden dan Wakil Presiden yang sedang memegang jabatan, tidak dapat dipilih kembali, mengingat jabatannya belum selesai? Ataukah, pasal ini sebenarnya memberikan arah kepada pembuat undang-undang, agar Pemilihan Presiden dan Wakil Presiden dilaksanakan sesudah jabatan Presiden dan Wakil Presiden yang ada, telah selesai?

Kalau pemilihan Presiden dan Wakil Presiden dilakukan setelah jabatan Presiden dan Wakil Presiden berakhir, maka konsekuensinya tentu akan terjadi kekosongan kedua jabatan itu. Pejabat lama sudah habis masa jabatannya, sementara pejabat yang baru belum dipilih, apalagi dilantik. Belum ada aturan dan mekanisme yang mengatur jika hal ini terjadi, karena “triumvirat” Menteri Luar Negeri, Menteri Dalam Negeri dan Menteri Pertahanan yang oleh Pasal 8 ayat (3)UUD 1945 diberikan kewenangan untuk melaksanakan tugas-tugas kepresidenan juga telah berakhir masa jabatannya, bersamaan dengan berakhirnya jabatan Presiden. Negara tidak boleh berada dalam kekosongan pimpinan pemerintahan. Inilah yang nampaknya mendorong pembuat undang-undang – sebagaimana diatur dalam Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2003 – yang menentukan pemilihan Presiden dan Wakil Presiden sebelum jabatan mereka berakhir. Konsekuensi ketentuan ini adalah, kemungkinan besar terjadinya calon Presiden dan Wakil Presiden incumbent. Dari sini pulalah timbul gagasan agar mereka yang incumbent ini mengundurkan diri dari jabatannya.

Apa yang akan terjadi jika sekiranya Presiden dan Wakil Presiden Incumbent wajib mengundurkan diri? Seperti telah saya kemukakan di atas,Pasal 8 ayat (3) UUD 1945 menentukan bahwa Menlu, Mendagri dan Menhan secara bersama-sama bertindak sebagai “pelaksana tugas kepresidenan”. Mereka bertugas tidaklah lama, karena dalam waktu selambat-lambatnya tiga puluh hari, Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR) harus bersidang untuk memilih Presiden dan Wakil Presiden yang baru. Calon Presiden dan Wakil Presiden yang baru itu hanya dibolehkan dua pasangan saja. Kedua pasangan itu hanya boleh diajukan oleh partai politik atau gabungan partai politik yang “Presiden dan Wakil Presidennya meraih suara terbanyak pertama dan kedua dalam pemilihan umum sebelumnya”. Presiden dan Wakil Presiden yang baru inipun tidak akan lama menjalankan tugasnya, karena masa jabatan mereka akan berakhir bersamaan dengan berakhirnya masa jabatan Presiden dan Wakil Presiden yang mengundurkan diri karena mencalonkan diri menjadi Presiden dan Wakil Presiden tadi. Meskipun tidak lama, Presiden dan Wakil Presiden yang baru ini wajib membentuk kabinet dan mengangkat para menteri, sebagaimana diatur dalam Pasal 17 UUD 1945.

Seandainya apa yang digambarkan secara normatif di atas dilaksanakan dalam praktik, kemungkinan besar kita akan berhadapan dengan berbagai kerumitan dalam menyelenggarakan negara.Tanggal 14 Maret yang lalu, KPU telah mengumumkan jadual Pemilu 2009. Pemilu untuk DPR dan DPD akan dilaksanakan tanggal 5 April 2009. Pemilu Presiden dan Wakil Presiden tahap pertama akan dilaksanakan awal Juli 2009. Tahap kedua – jika ada tentunya — akan dilaksanakan pada pertengahan September 2009. Pelantikan anggota DPR dan DPD akan dilaksanakan pada tanggal 1 Oktober 2009. Pelantikan Presiden dan Wakil Presiden terpilih akan dilaksanakan tanggal 20 Oktober 2009. Demikianlah jadual Pemilu 2009 yang mudah-mudahan tidak terhambat dalam pelaksanaannya nanti.

Kalau jadual yang dikemukakan di atas, kita hubungkan dengan kewajiban Presiden dan Wakil Presiden Incumbent untuk mengundurkan diri, maka Presiden Susilo Bambany Yodhoyono dan Wakil Presiden Jusuf Kalla – dengan asumsi keduanya akan maju dalam Pilpres 2009 – maka mereka wajib mundur pada awal Juli 2009. Katakanlah misalnya tanggal 1 Juli. Terhitung tanggal 1 Juli itu, maka Hasan Wirayudha, Juwono Sudarsono dan Mardiyanto secara bersama-sama melaksanakan tugas kepresidenan. Selambat-lambatnya tanggal 30 Juli 2009, MPR sudah harus memilih Presiden dan Wakil Presiden yang baru. Partai politik yang hanya dibolehkan mengajukan calon Presiden dan Wakil Presiden ialah Partai Demokrat, Partai Bulan Bintang (PBB) dan Partai Keadilan dan Persatuan Indonesia (PKPI) secara bersama-sama. Sebab ketiga partai inilah yang mencalonkan SBY dan JK dan memperoleh suara terbanyak pertama dalam Pilpres 2004 yang lalu. Selain ketiga partai itu, PDIP juga dapat mengajukan calon, karena pasangan Megawati Sukarnoputri dan Kiyai Hasyim Muzadi yang mereka calonkan dalam Pilpres tahun 2004, berada pada posisi terbesar kedua.

Pasangan Presiden dan Wakil Presiden yang dipilih MPR ini akan menjalankan tugas sampai tanggal 20 Oktober 2009, saat berakhirnya masa jabatan Presiden SBY dan Wakil Presiden JK yang mereka gantikan. Dalam menjalankan tugas dan kewajibannya, Presiden dan Wakil Presiden baru ini mempunyai kewenangan, hak dan tanggungjawab yang sepenuhnya sama dengan Presiden dan Wakil Presiden sebagaimana diatur di dalam UUD 1945 dan semua peraturan perundang-undangan lainnya, walaupun mereka menjabat hanya dalam waktu kurang lebih tiga bulan saja. Dalam menjalankan tugas dan kewajibannya, mereka juga harus membentuk kabinet baru untuk menjalankan tugas-tugas pemerintahan negara dalam waktu tiga bulan itu. Mereka dapat melaksanakan semua tugas-tugas kenegaraan, karena legitimasi konstitusional yang mereka miliki adalah kuat dan sah. Kalau gagasan agar Presiden dan Wakil Presiden incumbent wajib mundur, maka peristiwa ketatanegaraan seperti ini akan terulang hampir setiap lima tahun.

Kecuali tentunya, jika ada pasangan Presiden dan Wakil Presiden yang sudah memegang jabatannya selama dua periode. Atau, kedua pasangan yang tidak ingin maju dalam pemilihan berikutnya setelah menyelesaikan satu periode jabatan. Bisa pula terjadi hal yang lain, kedua pasangan telah memegang jabatan dua periode, namun Wakil Presiden akan maju sebagai calon Presiden. Maka, Wakil Presiden ini wajib mundur pula. MPR harus menyelenggarakan sidang memilih Wakil Presiden yang baru paling lambat enampuluh hari, sebagaimana diatur dalam Pasal 8 ayat (3) UUD 1945. Bahkan kita bisa pula berandai-andai, bagaimana kalau Presiden dan Wakil Presiden yang telah memegang jabatan dua periode, bolehkah mereka maju dengan bertukar posisi, Wakil Presiden maju sebagai Presiden, dan Presiden maju sebagai Wakilnya? Secara hukum, hal itu mungkin saja terjadi dan posisi mereka tetap pula digolongkan sebagai incumbent.

Kalau seandainya DPR dan Presiden sama-sama sepakat mewajibkan Presiden dan Wakil Presiden incumbent mundur dalam pembahasan RUU Pemilihan Umum Presiden sekarang ini, maka semua ketentuan yang telah saya kemukakan di atas harus berlaku. DPR dan DPD juga harus bersiap-siap menyelenggarakan Pemilihan Presiden dan Wakil Presiden selambat-lambatnya tanggal 30 Juli 2009. Secara politik, legitimasi mereka sebenarnya sudah mulai melemah, sebab Pemilu DPR dan DPD sudah dilaksanakan pada tanggal 5 April. Hasilnya mungkin sudah diumumkan. Sebagian mereka mungkin masih terpilih, sebagiannya lagi tidak. Sementara legitimasi politik Presiden dan Wakil Presiden yang terpilih tanggal 30 Juli 2009 itu, mungkin akan lemah pula. Pertama, mereka bukan dipilih langsung oleh rakyat. Kedua, masa jabatan mereka hanya kurang dari tiga bulan. Rakyat akan melihat mereka sebagai Presiden dan Wakil Presiden transisi saja.

Kalau kita mengkaji perbandingan konstitusi, adanya pengaturan khusus keberadaan Presiden dan Wakil Presiden, kedua-duanya wafat secara bersamaan atau berhenti/diberhentikan secara bersamaan, sebenarnya dimaksudkan untuk mengatasi keadaan yang darurat. Keadaan seperti itu memang jarang terjadi, bahkan tidak pernah terjadi di negara mana saja selama seratus tahun terakhir ini. Kalau Presiden wafat atau berhenti/diberhentikan, maka Wakil Presiden otomatis akan dilantik menjadi Presiden. Untuk mengatasi keadaan darurat, ketika Presiden dan Wakil Presiden wafat atau berhenti/diberhentikan secara bersamaan itulah, maka UUD 1945 hasil amandemen mengatur keberadaan “triumvirat” seperti telah saya kemukakan di atas. Ketentuan seperti itu, mulanya diatur di dalam Ketetapan MPR Nomor VII/MPR/1973.

Berbagai negara yang menganut sistem pemerintahan presidensial juga tidak mengatur kewajiban Presiden dan Wakil Presiden incumbent untuk mengundurkan diri. UUD 1945 hasil amandemen juga tidak mengatur hal demikian. Kewajiban bagi mereka untuk mengundurkan diri, akan menciptakan suatu kedaan darurat yang disengaja. Presiden dan Wakil Presidennya mungkin saja tidak ingin masih hidup dan mereka tidak ingin mengundurkan diri. MPR juga tidak melakukan “impeachment” terhadap mereka sehingga mereka diberhentikan dari jabatannya. Mereka “terpaksa” mundur karena undang-undang mewajibkan mereka mundur, karena mereka maju mencadi calon incumbent. Kalau gagasan Presiden dan Wakil Presiden incumbent mundur, maka keadaan darurat adalah sesuatu yang dengan sengaja diciptakan. Praktek ketatanegaraan akan terlihat tidak normal. Aturan mengatasi keadaan darurat sengaja dirancang untuk menghadapi situasi yang darurat. Situasi darurat lazimnya terjadi karena ada suatu peristiwa yang terjadi di luar dugaan dan perkiraan. Keadaan darurat yang sengaja diciptakan, akan terlihat sebagai suatu yang tidak lazim.

Selain tidak lazim, mewajibkan Presiden dan Wakil Presiden incumbent untuk mundur, juga menimbulkan konsekuensi kerumitan praktek penyelenggaraan negara, dengan segala implikasinya ke bidang politik, sosial dan ekonomi. Triumvirat yang melaksanakan tugas kepresidenan selama maksimum tiga puluh hari, tanpa adanya Presiden dan Wakil Presiden, juga belum pernah terjadi dalam praktik. Wakil Presiden memang menjadi pelaksana tugas kepresidenan dalam hal Presiden berada di luar negeri. Namun, Wakil Presiden tidak dapat mengambil keputusan-keputusan yang fundamental, tanpa persetujuan Presiden. Wakil Presiden juga tidak dapat menanda-tangani surat-surat keputusan atas nama dirinya sendiri, melainkan dilakukan oleh Wakil Presiden “sebagai pelaksana tugas kepresidenan”. Surat Keputusan itupun namanya tetap Keputusan Presiden, bukan Keputusan Wakil Presiden. Kalau triumvirat melaksanakan tugas kepresidenan, apakah itu berarti segala kewenangan, hak dan kewajiban Presiden ada pada mereka? Kepada siapa mereka bertanggungjawab dalam melaksanakan tugas kepresidenan selama tiga puluh hari itu? Belum ada aturan mengenai hal ini. Pengalaman dari praktik juga belum ada.

Kita dapat pula membayangkan jika terjadi hal-hal yang darurat, seperti perang akibat serbuan negara lain, atau kerusuhan atau pemberontakan terjadi dalam waktu tiga puluh hari itu. Dapatkah triumvirat menyatakan perang dengan perseetujuan DPR? Dapatkah ketiga triumvirat itu menyatakan keadaan darurat sipil atau militer? Apa yang akan terjadi sesudah itu? Dalam keadaan darurat mereka dapat saja menunda Pemilihan Presiden oleh MPR dan menunda penyelenggaraan Pemilu Presiden dan Wakil Presiden. Melihat keadaan sekarang, hal itu memang kecil kemungkinannya akan terjadi. Namun, kita harus mengantisipasi keadaan yang paling buruk demi menjaga keutuhan dan kelangsungan kehidupan bangsa dan negara. Kita tidak boleh mengorbankan kepentingan bangsa dan negara yang sangat fundamental ini, dengan kepentingan politik sesaat. Pada hemat saya, Presiden dan Wakil Presiden incumbent tidak wajib mundur dari jabatannya, untuk mencegah terciptanya keadaan darurat yang disengaja.

Bagi saya pribadi, tidak ada kekhawatiran apapun untuk berhadapan dengan calon Presiden dan Wakil Presiden incumbent, kendatipun mereka tetap dalam jabatannya. Kalau saya maju berhadapan dengan Susilo Bambang Yudhoyono sebagai calon incumbent, Insya Allah saya akan berkompetisi dengan tenang atas dasar prinsip saling menghormati dan sama-sama menaati semua ketentuan pemilihan yang berlaku dan menjunjung etika politik setinggi-tingginya. Saya berkeyakinan, sebagai demokrat sejati, beliau juga akan bersikap demikian. Sejarah telah memberikan pelajaran kepada kita, bahwa Presiden incumbent Megawati Sukarnoputri yang dicalonkan PDIP, dikalahkan Susilo Bambang Yudhoyono yang dicalonkan Partai Demokrat, PBB dan PKPI. Dalam kasus Pilkada, calon gubernur, bupati/walikota yang incumbent, juga tidak selalu menang. Jadi, untuk apa merasa khawatir. Segalanya, akhirnya rakyat juga yang akan menentukan. Dalam kompetisi politik yang sehat, seyogianyalah setiap orang akan berpegang kepada prinsip: menang secara terhormat dan kalah secara terhormat pula. Itulah asas-asas etika politik yang harus kita junjung tinggi…

Wallahu’alam bissawwab
(Yusril.Ihzamahendra.com)

13 Maret 2008

Jangan Sakit Ginjal di Indonesia

Oleh Djoko Santoso

Hari ini, 13 Maret 2008, diperingati sebagai Hari Ginjal Sedunia. Sebagaimana kita ketahui, ginjal termasuk salah satu organ vital yang dimiliki manusia. Ada tujuh fungsi utama ginjal. Di antaranya, mengeluarkan air, racun, dan bahan yang tidak berguna serta berfungsi sebagai buffer (menetralkan kelebihan asam), mengontrol tekanan darah, membuat tubuh tidak kurang darah, serta untuk kesehatan tulang.

Karena itu, jika terjadi kegagalan pada fungsi organ ginjal, akibatnya pun bisa fatal. Itulah yang terjadi pada mantan Presiden Soeharto sebelum meninggal.

Pertanyaan yang relevan dilontarkan adalah, sudahkah kita peduli terhadap kesehatan ginjal kita? Sudah cukup layakkah pemerintah memperlakukan para pasien yang menderita gangguan ginjal, terutama mereka yang tergolong miskin?

Berdasar data yang masuk di salah satu rumah sakit di Surabaya, penderita gangguan ginjal sering datang dalam kondisi sudah terlambat, sehingga harus dilakukan cuci darah secara reguler.

Bahkan, dalam beberapa kasus, gangguan ginjal sudah merembet ke gangguan lain. Misalnya, terjadinya penyakit jantung, stroke, problem kurang darah, hingga badannya menjadi rusak akibat malnutrisi. Secara medis, NKF KDOQI membagi gangguan ginjal kronis -mulai yang paling ringan hingga paling berat- menjadi lima tahap. Tahap pertama paling ringan dan tahap kelima paling berat.

Secara berturutan, tata laksana untuk gangguan ginjal kronik tahap satu membutuhkan upaya diagnosis dan pengobatan komorbid, memperlambat progresivitas, serta menurunkan risiko kardiovaskuler. Tahap dua membutuhkan tata laksana untuk progresivitas yang terjadi. Tahap tiga untuk evaluasi dan pengobatan komplikasi yang terjadi.

Pada gangguan ginjal kronis tahap empat, mulai dilakukan persiapan untuk terapi pengganti (replacement) ginjal, selain tersebut di atas. Pada tahap lima, diperlukan terapi pengganti ginjal (termasuk cuci darah dan cangkok ginjal) untuk mengatasi komplikasi yang terjadi.

Di negara maju, angka penderita gangguan ginjal tergolong cukup tinggi. Di Amerika Serikat misalnya, angka kejadian gagal ginjal meningkat tajam dalam 10 tahun. Pada 1990, terjadi 166 ribu kasus GGT (gagal ginjal tahap akhir) dan pada 2000 menjadi 372 ribu kasus. Angka tersebut diperkirakan terus naik. Pada 2010, jumlahnya diestimasi lebih dari 650 ribu.

Selain data tersebut, 6 juta-20 juta individu di AS diperkirakan mengalami GGK (gagal ginjal kronis) fase awal. Dan itu cenderung berlanjut tanpa berhenti.

Dengan demikian, pihak penyedia jasa asuransi kelak akan menanggung biaya-biaya pasien cuci darah yang diperkirakan mencapai USD 28,3 miliar (per tahun). Meski angka kejadian terhadap gangguan ginjal tergolong tinggi, tidak terlalu berdampak pada kematian.

Di AS, semua warga negara berhak atas terapi pengganti ginjal ketika menderita GGT melalui asuransi penggantian program kesehatan. Dengan fasilitas tersebut, penderita GGT di AS akan bisa mendapatkan perawatan secara maksimal, sehingga memungkinkan bisa hidup lebih lama.

Hal yang sama terjadi di Jepang. Di Negeri Sakura itu, pada akhir 1996, ada 167 ribu penderita yang menerima terapi pengganti ginjal. Menurut data 2000, terjadi peningkatan menjadi lebih dari 200 ribu penderita. Berkat fasilitas yang tersedia dan berkat kepedulian pemerintah yang sangat tinggi, usia harapan hidup pasien dengan GGT di Jepang bisa bertahan hingga bertahun-tahun.

Bahkan, dalam beberapa kasus, pasien bisa bertahan hingga umur lebih dari 80 tahun. Angka kematian akibat GGT pun bisa ditekan menjadi 10 per 1.000 penderita. Hal tersebut sangat tidak mengejutkan karena para penderita di Jepang mendapatkan pelayanan cuci darah yang baik serta memadai.

Dari aspek ekonomi, terdapat hubungan antara pendapatan per kapita dengan jumlah penderita GGT yang harus cuci darah (Jacob, 1981). Untuk negara dengan gross national product (GNP) <>

Kita ketahui, 2/3 penduduk dunia berada di negara berkembang dengan GNP per kapita <>

Bagaimana dengan Indonesia?
Di AS dan Jepang, penderita ginjal sangat ditopang lembaga kesehatan nonpemerintah yang punya kemampuan finansial cukup. Di Indonesia, baru pada 2005 penderita GGT ditanggung negara melalui program askeskin (asuransi kesehatan masyarakat miskin). Dan itu pun sangat jauh dari standar ideal. Hanya sedikit faktor pendukung kualitas hidup bagi penderita.

Berdasar pengalaman saya, permasalahan inadequacy (suatu istilah untuk menggambarkan bahwa kondisi penderita masih mengalami keracunan karena tindakan dialisis tindak standar) menjadi sangat umum. Akibatnya, pasien sering menghadapi kemungkinan terburuk, sehingga umurnya diperkirakan bertahan dalam hitungan hari atau minggu.

Selama pasien berada pada kondisi tersebut, keadaannya akan terancam, bahkan bisa sampai pada kematian. Penyebabnya sedikitnya ada empat: kelebihan cairan, kelebihan kalium, kelebihan asam organik, serta kekurangan gizi. Khusus pasien miskin bakal mempunyai banyak comorbidas (penyulit). Sebab, mereka sedikit mempunyai akses kesehatan. Yang sering terjadi, ketika harus opname, mereka sudah dalam keadaan sangat terlambat untuk ditolong. Ketika harus melakukan cuci darah, mereka pun tak mampu membayar dan negara masih sangat terbatas dalam memberikan bantuan.

Dengan demikian, itu bisa menjadi penyumbang terbesar untuk kematian akibat GGK, sehingga penyakit GGK pada 1997 berada di posisi kedelapan. Data terbaru dari US NCHS 2007 menunjukkan, penyakit ginjal masih menduduki peringkat 10 besar sebagai penyebab kematian terbanyak.

Faktor penyulit lainnya di Indonesia bagi pasien ginjal, terutama GGK, adalah terbatasnya dokter spesialis ginjal. Sampai saat ini, jumlah ahli ginjal di Indonesia tak lebih dari 80 orang. Itu pun sebagian besar hanya terdapat di kota-kota besar yang memiliki fakultas kedokteran.

Maka, tidaklah mengherankan jika dalam pengobatan kerap faktor penyulit GGK terabaikan. Melihat situasi yang banyak terbatas itu, tiada lain yang harus kita lakukan, kecuali menjaga kesehatan ginjal.

Jadi, alangkah lebih baiknya kita jangan sampai sakit ginjal. Mari memulai pola hidup sehat. Di antaranya, berlatih fisik secara rutin, berhenti merokok, periksa kadar kolesterol, jagalah berat badan, periksa fisik tiap tahun, makan dengan komposisi berimbang, turunkan tekanan darah, serta kurangi makan garam. Pertahankan kadar gula darah yang normal bila menderita diabetes, hindari memakai obat antinyeri nonsteroid, makan protein dalam jumlah sedang, mengurangi minum jamu-jamuan, dan menghindari minuman beralkohol. Minum air putih yang cukup (dalam sehari 2-2,5 liter).

Juga, jangan terlalu sering menyantap fast food yang bisa mempermudah munculnya penyakit darah tinggi dan kencing manis. Ingat, dua penyakit itu memberikan kontribusi besar pada gagal ginjal.

dr Djoko Santoso SpPD K-GH PhD, ahli ginjal di Surabaya; menyelesaikan program PhD di Juntendo University, Tokyo, Japan

20 Februari 2008

Pemerintah di Persimpangan Jalan

Oleh Ahmad Erani Yustika

Pemerintah akhirnya merevisi target kinerja ekonomi 2008. Pertama, pertumbuhan ekonomi diturunkan dari semula 6,8 persen menjadi 6,4 persen. Revisi itu juga termasuk asumsi makroekonomi lain. Misalnya, inflasi diubah menjadi 6,5 persen (semula 6,0 persen), nilai tukar rupiah dari Rp 9.100 menjadi Rp 9.150/dolar AS, dan suku bunga SBI (Sertifikat Bank Indonesia) tetap pada angka 7,5 persen.

Kedua, harga minyak dipatok menjadi 83 dolar/barel (semula 60 dolar AS/barel) dan produksi minyak diturunkan dari 1,034 juta barel/hari menjadi 910 ribu barel/hari. Ketiga, pendapatan negara dinaikkan dari Rp 781,4 triliun menjadi Rp 839 triliun.

Dengan paralel itu, belanja negara juga meningkat dari Rp 854,6 triliun menjadi Rp 926 triliun. Hal itu membuat defisit APBN membengkak menjadi 2 persen (sekitar Rp 87 triliun dari semula Rp 73,3 triliun). Dengan portofolio perekonomian seperti itu, kira-kira bagaimana dampaknya terhadap perekonomian nasional?

Rasionalisasi Asumsi

Apresiasi pertama yang harus diberikan kepada pemerintah adalah kemauannya untuk merevisi target-target kinerja ekonomi, walau dalam beberapa aspek masih menunjukkan optimisme yang berlebihan. Target pertumbuhan ekonomi dan inflasi sudah lumayan realistis, namun masih melebihi ekspektasi yang diperkirakan oleh lembaga-lembaga kajian nasional maupun internasional (seperti IMF dan Bank Dunia).

Pertumbuhan ekonomi, akibat resesi yang terjadi di AS dan kenaikan harga minyak internasional yang sulit dikendalikan, tampaknya pada 2008 akan berada di kisaran 6,3 dengan. Bila pemerintah bisa mencapai angka tersebut, itu sudah merupakan prestasi yang bagus. Untuk inflasi, pemerintah harus meningkatkan pada kisaran 6,7-6,8 persen.

Selain dipicu kenaikan harga minyak, tingginya inflasi tersebut disebabkan krisis pangan yang belum bisa diantisipasi secara baik oleh pemerintah hingga kini.

Asumsi harga minyak sebesar 83 dolar AS/barel merupakan target yang realistis karena angka di bawah itu hampir tidak mungkin terjadi. Sebetulnya untuk kasus tersebut, pemerintah harus berani mendesain skenario yang lebih buruk dengan mematok angka 90 dolar AS/barel.

Pertimbangannya, bila tiba-tiba harga minyak rata-rata sepanjang 2008 berada di kisaran angka tersebut, pemerintah lebih siap untuk mengambil kebijakan antisipatif. Hal itu penting direncanakan mengingat setiap kenaikan harga minyak sebesar 1 dolar AS, maka subsidi BBM naik Rp 3,1 triliun dan subsidi listrik meningkat Rp 660 miliar.

Persoalan lain yang agak pelik adalah kemampuan pemerintah untuk menggenjot produksi minyak menjadi 910 ribu barel/hari. Target itu tidak mudah diperoleh mengingat hingga kini justru terdapat tendensi penurunan produksi dan realisasi peningkatan produksi Blok Cepu juga belum menunjukkan tanda-tanda tercapai.

Defisit Fiskal

Setelah perekonomian mulai stabil sejak 2000, tahun ini tampaknya bakal terjadi defisit fiskal yang paling besar, yakni mencapai 2 persen. Dengan jumlah defisit sebesar itu (Rp 87 triliun), pemerintah dipastikan akan kesulitan mencari sumber pembiayaan untuk menutupinya. Salah satu yang dilakukan pemerintah adalah mengurangi belanja lembaga/kementerian masing-masing sebesar 15 persen.

Tetapi, langkah itu jelas bukan dimaksudkan untuk menutup defisit tersebut, namun sebatas menekan pendarahan fiskal yang bakal terjadi. Di luar itu, kebijakan tersebut juga akan mengurangi daya dorong pertumbuhan ekonomi yang berasal dari sisi fiskal (government expenditure).

Dalam situasi investasi dari sektor swasta yang masih lesu seperti saat ini, sebetulnya kesempatan hanya tinggal dari pengeluaran pemerintah. Dengan demikian, jika pemerintah benar-benar merealisasikan rencana penghematan itu, kebijakan tersebut akan mengurangi target pertumbuhan ekonomi nasional.

Salah satu skenario yang bakal diupayakan pemerintah untuk menutup defisit tersebut adalah menggenjot penjualan surat utang negara (SUN) dan privatisasi. Cara itu memang paling gampang dilakukan, tetapi dalam jangka panjang akan menjadi jebakan yang mematikan.

SUN memang tidak mengandaikan adanya kompromi kebijakan (dari asing), seperti yang terjadi dalam utang luar negeri. Tetapi, SUN memiliki kerangka waktu (jatuh tempo) yang lebih pendek dengan bunga yang tinggi (ketimbang utang luar negeri).

Implikasinya, beban perekonomian yang ditanggung pemerintah sangat berat. Untuk privatisasi, agenda itu sarat dengan kepentingan pihak asing sehingga dalam jangka panjang kedaulatan ekonomi nasional berada di persimpangan jalan. Pada 2008 ini pemerintah diperkirakan akan melego sekurangnya 20 BUMN, termasuk bank milik negara. Jika langkah itu terealisasi, perekonomian nasional berada dalam zona jeratan ekonomi asing.

Jadi, momentum yang seharusnya diambil pemerintah sekarang sudah benar-benar lenyap karena pemerintah berlari mengikuti situasi eksternal yang memang kurang menguntungkan.

Selama kurun waktu 3,5 tahun, pemerintah gagal menerapkan rencana induk perekonomian sebagai arah pembangunan sehingga setiap gangguan (eskternal maupun internal) seharusnya tidak akan mengganggu tujuan besar yang ingin dicapai.

Hasilnya, indikator paling fundamental perekonomian, semacam kemiskinan dan pengangguran, muskil berkurang hingga akhir tahun ini (bahkan sampai periode kekuasaan berakhir pada 2009).

Di sinilah persimpangan jalan itu terjadi. Usaha pemerintah untuk mengubah kebijakan nyaris tidak mungkin karena situasi ekternal yang menghimpit.

Sementara itu, apabila pemerintah mempertahankan kebijakan yang sudah dibuat, soal-soal ekonomi akan bertambah parah. Hari-hari ini dan mendatang, tampaknya kita akan mendapati pemerintah yang kian salah tingkah dalam menyusuri masa depan.

Ahmad Erani Yustika PhD, ketua Program Studi Magister Ilmu Ekonomi FE Unibraw dan senior economist pada Indef di Jakarta

Sumber : Jawa Posdotcom

25 Januari 2008

Bangsa yang Diresapi Kultur Kematian

Oleh Limas Sutanto

Koran-koran di negeri ini memberitakan tragedi mobil terjun bebas dari lantai 8 Gedung Jamsostek di Jalan Gatot Subroto, Jakarta, pada 22 Januari 2008. Tragedi itu menewaskan si pengemudi mobil bernama Heryawan. Koran Jawa Pos memaparkan fakta hasil pengamatan yang penting: Di lantai parkir gedung bertingkat itu tidak terdapat beton penahan ban belakang mobil. Demi keselamatan, biasanya beton seperti itu terpasang dua buah pada jarak satu meter dari pagar tepi lantai parkir gedung bertingkat (Jawa Pos, 23 Januari 2007).

Perlu dicatat, kejadian serupa beberapa kali terjadi. Pertama, 11 Desember 2006, sebuah sedan terjun dari lantai 4 Palembang Indah Mall di Jalan Radial, Palembang. Kedua, 14 Januari 2007, sebuah mobil boks terjun dari lantai 3 area parkir Mal Pangrango, Bogor. Ketiga, 17 Mei 2007, sebuah mobil terjun bebas dari lantai 6 area parkir gedung ITC Permata Hijau, Jakarta.

Keempat, Desember 2007, di lantai 5 area parkir gedung yang sama, nyaris berlangsung kejadian serupa. Kendati mobil masih bisa direm sehingga tidak sampai terjun bebas, tembok tepi lantai parkir yang rapuh itu hancur dan reruntuhannya mengenai mobil lain (Jawa Pos, 23 Januari 2008; Suara Merdeka, 23 Januari 2008).

Catatan itu dapat mengentak kesadaran kita tentang pola mental dan perilaku kita yang lebih dekat dengan kultur kematian ketimbang kultur kehidupan. Secara sederhana namun mendasar, kultur kematian dapat dimaknai sebagai pola mental dan perilaku mendarah daging yang tidak menghargai keselamatan dan kehidupan sebagai nilai-nilai eksistensial yang sangat penting.

Kultur kematian mengakari pandangan dan perilaku yang tidak peduli kepada nyawa manusia. Ketika kehidupan kita diresapi kultur kematian, di mata kita, nyawa manusia tidak lagi berharga. Kultur kematian menggiring kita untuk menjalani kehidupan sehari-hari secara serampangan, tidak peduli pada keselamatan diri dan pihak lain, dan nekat melakukan tindakan-tindakan yang membahayakan diri dan orang-orang lain. Kultur kematian mengakari pelanggaran aturan, pengabaian standar, dan penyimpangan prosedur operasi.

Dapat dibayangkan, kultur kematian tidak hanya menjadikan nyawa gampang melayang, melainkan juga menjadikan suasana kerja dan kehidupan pada umumnya semrawut dan tidak nyaman. Ujungnya adalah kinerja yang buruk, ketertinggalan dari bangsa-bangsa lain, dan ketidakbahagiaan.

Kita makin terperanjat ketika menyadari betapa peresapan kultur kematian yang begitu mendalam (pervasive) benar-benar dikukuhkan oleh fakta-fakta kecelakaan bertubi-tubi di darat, udara, dan laut, fakta-fakta kecelakaan kerja, dan fakta-fakta "musibah" fatal seperti yang terjadi dalam pengeboran minyak bumi di Porong, yang kemudian membuahkan banjir lumpur panas amat mengerikan.

Peresapan mendalam kultur kematian dalam kehidupan kita juga ditegaskan oleh perilaku berlalu lintas yang sangat serampangan. Perilaku serampangan di jalan-jalan umum ini tidak hanya sangat membahayakan diri dan orang-orang lain, melainkan juga menerpakan kecemasan dan ketertekanan jiwani bagi banyak orang yang sehari-hari menggunakan jalan-jalan umum.

Jangan dilupakan, kultur kematian yang meresap mendalam itu juga mengejawantah dalam pelaksanaan pekerjaan yang serampangan atau asal-asalan, tanpa mempertimbangkan dampaknya terhadap kehidupan para pengguna produk atau jasa yang dihasilkan dari pekerjaan itu.

Pada perspektif ini, para perajin tahu dan tempe atau bakso merasa wajar-wajar saja mencampurkan formalin ke dalam bahan-bahan makanan yang mereka produksi. Bahkan, di negeri ini, produsen besar sampo berkelas korporasi multinasional pun tega mencampurkan formalin dalam produk samponya, dengan dalih yang sangat prokultur kematian: "Kan campuran formalinnya sangat sedikit. Dalam kadar yang sangat sedikit itu, formalin tak membahayakan kesehatan."

Pada perspektif lebih jauh dan mendalam, dapat dikhawatirkan, jika kultur kematian sedemikian meresap mendalam, jangan-jangan pelaksanaan profesi-profesi yang memiliki tradisi etis, keilmuan, dan praktikal yang sangat menjunjung tinggi kehidupan dan kultur kehidupan (lawan dari kultur kematian), semisal profesi kedokteran, juga tidak terbebas dari corak-corak kultur kematian.

Bercak-bercak malapraktik serta corak-corak sikap dan kerja dokter yang serampangan di negeri ini bisa jadi merupakan tanda-tanda peresapan kultur kematian dalam profesi tersebut.

Jika profesi kedokteran sebagai profesi yang secara tradisional memiliki kebiasaan etis, keilmuan, dan praktikal pro-kultur kehidupan paling kental juga diresapi kultur kematian, dapat dibayangkan, mungkin profesi-profesi lain pun tidak terbebas dari resapan kultur kematian yang amat mengerikan.

Seluruh bentangan perenungan itu mungkin mencukupi untuk menegaskan betapa kita perlu keluar dari resapan dan kungkungan kultur kematian, kemudian secara sadar menumbuhkembangkan kultur kehidupan, yaitu pola mental dan perilaku mendarah daging yang menghargai keselamatan dan kehidupan sebagai nilai-nilai eksistensial yang sangat penting, dan karena itu perlu dilindungi, dirawat, dan ditumbuhkembangkan.

Dapat disebutkan lima faktor perajut kultur kematian: pertama, ketidakmampuan menunda menikmati kepuasan atau kesenangan; kedua, kebiasaan menempuh jalan pintas, jalan instan, dan jalan impulsif; ketiga, kebiasaan mementingkan diri sendiri, mengabaikan tanggung jawab sosial, dan menghalalkan segala cara dalam rangka mencari keuntungan untuk diri sendiri; keempat, kebiasaan meremehkan pertanggungjawaban hukum; kelima, pandangan hidup miopik dan sempit.

Kelima faktor itu perlu diatasi dan dilampaui (ditransendensi) demi hidup yang makin diresapi kultur kehidupan dan kian meninggalkan kultur kematian.

Dr dr Limas Sutanto SpKJ (K) MPd, psikiater konsultan psikoterapi, pengajar psikoterapi pada program studi psikologi Fakultas Ilmu Pendidikan dan pengajar konseling pada Program Pascasarjana Universitas Negeri Malang

Sumber : Jawa Pos todcom

16 Muharram 1429 H