27 Desember 2007

Otda Tergerus Inkonsistensi Pusat

Oleh Eko Prasojo

Sejak diimplementasikan pada 2001, UU No 22/1999 tentang Pemerintahan Daerah memberikan warna baru bagi kehidupan masyarakat. Demikian radikalnya, UU tersebut tidak hanya memberikan otonomi yang amat luas, tetapi juga mengagetkan elite lokal dan masyarakat untuk menyelenggarakannya.

Dengan berbagai macam problematikanya, UU tersebut direvisi pada 2004 melalui UU No 32/2004. Apa dan bagaimana tujuh tahun hasil otonomi daerah tersebut, berikut deskripsinya.

Tujuh tahun penyelenggaraan otonomi daerah (otda) direfleksikan oleh banyaknya inkonsistensi pemerintah pusat. Hal itu mengindikasikan belum siapnya pemerintah pusat untuk mengubah paradigma pemerintahan yang sentralistik ke arah pemerintahan yang desentralistik.

Inkonsistensi pemerintah pusat terjadi secara vertikal dan horizontal. Secara vertikal, inkonsistensi tersebut dicerminkan berbagai produk peraturan perundang-undangan yang tidak harmonis dan tidak sinkron. Sering ketentuan pengaturan dalam peraturan pemerintah mereduksi isi UU tentang Pemerintahan Daerah.

Hal itu, misalnya, terjadi dalam pengaturan PP 25/2000 tentang Pembagian Wewenang yang sangat jelas mereduksi kewenangan yang dimiliki pemerintahan daerah berdasar UU 22/2007. Demikian juga, pengambilalihan kembali bidang pertanahan yang sudah diserahkan UU 22/2007 kepada pemerintah daerah.

Pada sisi lain, berbagai macam peraturan perundang-undangan sering mengalami perubahan yang sangat cepat dan tidak memperhatikan kemampuan daerah untuk mengimplementasikannya.

Inkonsistensi secara horizontal bisa dilihat dari tidak harmonisnya ketentuan peraturan perundang-undangan antarsatu sektor dengan sektor lain. Bahkan, sebagian aparatur penyelenggara negara di Kementerian dan Lembaga Pemerintah Nondepartemen masih memiliki paradigma dan pemikiran yang sentralistik.

Hal itu, misalnya, direfleksikan dengan semakin banyaknya Unit Pelaksana Teknis (UPT), balai-balai, dan kantor-kantor regional dari Kementerian dan Lembaga Pemerintah Nondepartemen di daerah. Tujuan didirikannya berbagai lembaga teknis pusat di daerah merupakan kegamangan dan ketidakrelaan sektor di pusat terhadap kewenangan yang sudah diserahkan kepada pemerintah daerah.

Tetapi, harus diakui, ketiadaan perangkat dekonsentrasi di tingkat kabupaten/kota menyebabkan sulitnya koordinasi antara pemerintah pusat dan pemerintah daerah. Gubernur sebagai wakil pemerintah pusat di daerah tidak memiliki perangkat dekonsentrasi untuk menjalankan peran dan fungsinya tersebut.

Kedua hal itu -ketidakrelaan sektor di pusat terhadap kewenangan yang diserahkan kepada daerah dan ketiadaan perangkat dekonsentrasi- telah menyebabkan berbagai inkonsistensi dalam praktik penyelenggaraan otonomi daerah.

Dari perspektif daerah, otonomi diwarnai inkompetensi (ketidakmampuan) pemerintah daerah untuk menyelenggarakan urusan yang telah diserahkan. Banyaknya urusan yang diserahkan tidak diikuti dengan kemampuan sumber daya manusia (SDM) yang memadai.

Hal tersebut juga dipersulit dengan munculnya semangat putra daerah sehingga di sejumlah daerah terjadi overstaff (kelebihan pegawai), sedangkan di daerah-daerah lain terjadi understaff (kekurangan pegawai).

Pada awal-awal reformasi otonomi daerah, semangat kedaerahan itu sangat mengganggu mobilitas SDM antarsatu daerah dengan daerah lain sehingga otonomi daerah tidak dimaknai sebagai kewajiban untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat, tetapi lebih dalam kerangka penguatan ekslusivisme politik kedaerahan. Tentu tujuannya ialah mobilisasi politik.

Besar Pasak daripada Tiang

Selama 2001-2007 terbentuk 167 daerah otonom baru (Depdagri; November 2007). Pemekaran daerah menjadi simbol otda karena dengan pemekaran akan muncul kewenangan baru, jabatan-jabatan baru, DAU baru, dana perimbangan baru, dana dekonsentrasi baru, dan hal-hal lain sebagai konsekuensinya.

Pemekaran memang tidak boleh diharamkan, tetapi pemekaran yang tidak tepat menyebabkan inefisiensi penggunaan keuangan negara. Sebab, bagaimanapun, kekuatan keuangan negara untuk membiayai penyelenggaraan pemerintah memiliki keterbatasan.

Problem pemekaran terjadi karena kepentingan politik elite lebih menonjol daripada kepentingan kesejahteraan masyarakat. Secara politis, pemekaran juga diartikan sebagai "pembukaan" lapangan pekerjaan politik menjadi anggota DPRD dan lapangan jabatan baru lain yang muncul sebagai konsekuensi terbentuknya daerah otonom.

Pemekaran juga sekaligus membuat konfigurasi baru kekuatan partai politik di daerah yang dimekarkan yang bisa saja berbeda dengan daerah induknya. Terkait dengan implementasi kebijakan PP 129/2000, bisa dikatakan bahwa persetujuan politik pemekaran daerah sering berada "dalam ruang gelap". Ukuran persetujuan lebih sering dilakukan secara administratif oleh tim konsultan, sedangkan Dewan Pertimbangan Otonomi Daerah tidak berdaya untuk menolak pemekaran.

Persetujuan terhadap pemekaran juga sering tidak memberikan tempat yang luas untuk menganalisis apakah daerah benar-benar bisa dimekarkan atau tidak. Jika tidak terjadi komitmen politik untuk melakukan moratorium (penghentian sementara) sampai dilakukannya evaluasi menyeluruh terhadap daerah yang sudah dimekarkan, PP 78/2007 sebagai pengganti PP 129 Tahun 2000 tidak bisa efektif untuk mengerem laju tuntutan pemekaran daerah.

Terkait dengan pemekaran daerah adalah pengisian jabatan kepala daerah melalui pemilihan langsung (pilkadasung). Tujuan pilkadasung ialah meningkatkan partisipasi politik masyarakat untuk memilih secara langsung kepala daerahnya.

Partisipasi politik masyarakat itu harus dibayar mahal melalui APBD. Hal tersebut belum termasuk biaya-biaya tranksaksi ekonomi politik yang terjadi dalam proses dukung-mendukung pencalonan seorang kepala daerah dan harus dikembalikan melalui "arisan tender" dalam pengadaan barang dan jasa. Otonomi daerah pasca pemilihan langsung kepala daerah diwarnai tensi politik yang jauh lebih besar daripada tensi pelayanan publik. Birokrasi lokal menjadi tidak stabil karena dominasi intervensi politik dalam pengisian jabatan-jabatan kepala dinas, badan, dan kantor.

Best Practices Otda

Di beberapa daerah, otda memberikan wajah yang menggembirakan. Kewenangan yang diserahkan ke daerah telah mampu meningkatkan kualitas pelayanan publik dan indeks pembangunan manusia.

Pemerintah daerah yang mampu meningkatkan kesejahteraan masyarakatnya selalu ditandai kemauan politik dan kemampuan manajerial kepala daerah. Meski jumlahnya tidak terlalu banyak (misalnya, Lamongan, Sragen, Tarakan, Kebumen, Jembrana, Solok), hal itu bisa menjadi bukti bahwa otonomi daerah yang disertai dengan komitmen politik tinggi dari kepala daerah dan dukungan politik dari DPRD akan menjadi instrumen untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat.

Praktik otda yang menggembirakan tersebut harus menjadi perhatian seluruh stakeholders kehidupan bernegara bahwa penyelenggaraan otda yang bertanggung jawab, konsistensi pemerintah pusat termasuk DPR, dan kemampuan masyarakat untuk mengontrol pelaksanaan otonomi daerah akan menjadi kunci keberhasilan otda.

Keseimbangan antara sentralisasi dan desentralisasi akan mempertahankan keutuhan NKRI. Menjadi PR bagi kita agar corak pemerintahan yang desentralistik itu harus meningkatkan demokrasi dan kesejahteraan, bukan menjadi pemuas kepentingan elite belaka.

Prof Dr Eko Prasojo, guru besar FISIP UI, anggota Dewan Pertimbangan Otonomi Daerah (DPOD)

Sumber : Jawa Pos

23 Desember 2007

Anomali Sarimin Noda Hitam Penegak Hukum

Oleh Hotman M. Siahaan

Raja monolog Butet Kartaredjasa dengan lakon Pengakuan Sarimin-nya sempat diancam akan dicekal oleh kepolisian Surabaya. Meski tak menjadi kenyataan, ancaman itu merupakan noda hitam penegak hukum terhadap wajah kesenian yang patut diberi catatan buruk pada akhir 2007. Inilah cacatan Hotman M. Siahaan.
———

Butet Kartaredjasa, sang raja monolog itu, kembali mengguncang Surabaya dalam dua malam pementasannya, 14-15 Desember 2007, dengan penonton membeludak lewat lakon Pengakuan Sarimin. Melalui Sarimin, si tandak bedhes, Butet mengoyak kenyataan betapa kejamnya hukum bagi keluguan rakyat, nurani kejujuran, bahkan nilai kemanusiaan.

Sarimin adalah representasi wong cilik yang masih punya nurani kejujuran, percaya pada kebenaran, dan mengagungkan hukum. Nasibnya menemukan KTP seorang hakim agung yang tercecer di lokalisasi, yang bagi orang kebanyakan mungkin suatu ketidakpedulian. Namun, bagi Sarimin sebaliknya, dengan kepeduliannya, dia hendak melaporkan dan menyerahkan KTP tersebut ke kantor polisi.

Tapi, itulah awal bencana nasibnya yang malang, dilindas purbasangka aparatur hukum, digencet mesin keadilan dan kebenaran yang bernama hukum, dan Sarimin tergilas tanpa sisa.

Lewat Sarimin, Butet mencabik-cabik jubah keadilan dan kebenaran serta mempertontonkannya sebagai borok yang busuk. Inilah konstruksi, hukum yang anomali, yang di dalamnya kepedulian adalah bencana, keluguan adalah prahara, dan kebenaran adalah kesalahan.

Bahkan, kebenaran Sarimin itu merupakan satu-satunya kesalahannya. Sebagai wong cilik, yang hidupnya melata di jalanan berdebu dengan segala kepapaan, di batin Sarimin masih tersisa sebongkah kepedulian sosial, kejujuran manusiawi.

Tapi, di negeri dengan hukum yang anomali, ternyata kejujuran, kepedulian, dan keluguan yang paling manusiawi sekalipun hanyalah bencana, angkara murka, justru ketika Sarimin masih memercayai hukum dan aparaturnya.

Butet "Sarimin" Kartaredjasa, lewat kepiawaian monolognya yang tak tertandingi, menyodorkan anomali hukum secara telanjang tanpa tedeng aling-aling. Inilah kisah betapa rakyat yang lugu, punya kepedulian, namun dipurbasangkai sebagai maling, sebagai pemeras.

Konstruksi aparatur hukum terhadap rakyat jelata ternyata bukanlah konstruksi sebagai empati atas keluguan dan kejujuruan rakyat, tapi justru konstruksi sebagai maling dan pemeras. Dan konstruksi itulah yang dipaksakan terhadap Sarimin, bukan saja oleh aparat suatu institusi hukum yang telah membuat Sarimin teronggok-onggok menunggu puluhan tahun, tapi juga oleh pengacaranya yang atas nama keadilan dan demi penyelamatan Sarimin memaksanya untuk mengakui kebenarannya sebagai kesalahan. Sempurnalah anomali itu.

Sarimin merupakan cermin rakyat yang tidak berdaya, mengalami keterasingan, alienated, justru karena kepercayaannya kepada hukum dan aparatnya. Dia terjerembap ketika disodori solusi yang sungguh tidak dinyana, yang makin membuat dirinya sebagai makhluk yang terjerembap dalam keterasingan. Bukan hanya ditawari melakukan suap, tapi juga mengakui kesalahan atas kebenarannya. Apa salah saya? Kata Sarimin menggerung menembus batas segala nurani kebenaran.

Kesalahanmu satu-satunya adalah karena kau benar. Itulah jawaban bagi Sarimin. Dan pernyataan itu justru dilontarkan oleh sang pengacara, yang seharusnya melakukan pembelaan kepada Sarimin.

Kalau kebenaran adalah kesalahan, hukum macam apa pula yang masih dipercaya di negeri ini? Kalau seorang rakyat miskin yang punya kepedulian sosial dan masih memiliki secuil kepercayaan kepada aparat penegak hukum, namun tiba-tiba dilindas hukum itu, ditawari solusi oleh aparat untuk melakukan penyuapan sejumlah uang yang tidak mungkin bisa dipenuhi demi kebebasannya, dipaksa pengacara untuk mengakui kesalahan demi keringanan hukuman, keadilan macam apa pula yang masih dipercaya oleh rakyat semacam Sarimin kepada hukum yang konon menjadi pilar utama bagi keadilan dan kebenaran?

Butet "Sarimin" Kartaredjasa telah mencabik-cabik realitas yang selama ini juga dimaklumi orang. Sarimin mempertontonkan kepada kita tampang yang sesungguhnya mengenai realitas hukum beserta seluruh aparatur penegaknya. Bukan hanya polisi, pengacara sekalipun dibelejeti di hadapan kita dan masya Allah… kita tidak bisa mengingkari kenyataan yang disodorkan Sarimin itu.

Penonton Sarimin riuh rendah tertawa terpingkal-pingkal, meski sesungguhnya kegetiran yang disodorkan, sekaligus kepiluan betapa wajah hukum dan aparatur hukum di negeri ini mencapai kesempurnaan anomali.

Sarimin mengalami anomie yang amat dalam. Apa yang dia yakini sebagai kebenaran ternyata di mata hukum adalah kesalahan. Untuk itu, dia harus menanggung akibatnya yang tak terperikan. Masuk bui. Sarimin mengalami alienasi ketika kepedulian sosialnya justru menjadi bencana bagi dirinya.

Secara tuntas, realitas itu disodorkan Butet kepada kita, lewat kepiawaian monolognya yang tiada tara. Sekali lagi, Butet, lewat Sarimin, makin mengukuhkan konstruksi kita tentang hukum di negeri ini, bahkan aparatur penegak hukum, apakah polisi maupun pengacara, yang ternyata hidup dalam rimba raya, siapa yang kuat dialah yang menang.

Seonggok kotoran dilemparkan Sarimin ke tampang hukum di negeri ini. Dan itulah kenyataannya. Tinggal kita menyikapi wajah penuh kotoran tersebut, mengakui ataukah tidak. Di tengah komitmen menegakkan hukum sebagai upaya memberikan keadilan bagi rakyat dan kaum tertindas, di tengah marginalisasi yang melanda rakyat yang terasing dan tidak berdaya, kita menyaksikan para petinggi dan aparatur penegak hukum yang piawai menggunakan hukum, meski tanpa rasa keadilan sekalipun.

Sarimin memang tidak paham bahwa tugas polisi amat banyak dan kesibukannya seabrek, sehingga tidak punya waktu untuk meladeni kepedulian sosialnya. Ketika aparat berpaling pada Sarimin, bukan keluguan Sarimin yang dihargai, tapi konstruksi kejahatan yang dijejalkan kepada Sarimin.

Kalau kebenaran adalah kesalahan, kalau kejujuran dan keluguan adalah bencana, kita menjadi amat maklum kalau pembalak hutan bisa bebas demi hukum. Kita juga maklum kalau pengemplang pajak bisa menumpuk kekayaan. Kita juga maklum kalau orang yang disodori kenyataan hukum yang dipahami Sarimin menjadi marah kepada Butet "Sarimin" Kartaredjasa. Apalagi karena Sarimin cuma seorang tandak bedhes. Bukankah ada peribahasa monyet buruk rupa cermin dibelah?

Prof Dr Hotman M. Siahaan, guru besar FISIP Unair, Surabaya

Sumber : Jawa Pos dotcom

05 Desember 2007

Melayu; dari Kulturalisasi ke Politisasi

Oleh Sam Abede Pareno

Aneh dan menjengkelkan, sudah jelas berembel-embel "Ponorogo", reog diklaim pemerintah Malaysia sebagai kesenian Malaysia. Boleh jadi, soto Madura, pempek Palembang, dan gudeg Jogja yang juga beredar di negeri tersebut dipatenkan oleh negara yang merdeka dari tangan Inggris pada 31 Agustus 1957 itu sebagaimana juga telah mematenkan batik.

Entah apa yang mendorong Malaysia melakukan klaim dan patenisasi tersebut. Apakah ingin menunjukkan bahwa negara tetangga itu lebih memiliki keragaman budaya daripada Indonesia? Ataukah khawatir dianggap tidak punya kebudayaan "asli"?

Dalam konteks kebudayaan, seharusnya tidak perlu klaim dan patenisasi. Pemerintah Malaysia tentu mafhum, kulturalisasi antara bangsa-bangsa yang dikenal sebagai "Melayu-Polinesia" sudah berlangsung ratusan tahun. Selama itu pula tidak ada klaim, lebih-lebih patenisasi. Ratusan tahun silam, Indonesia, Malaya, Temasek (Singapura), Filipina, Thailand, Burma (Myanmar), Vietnam, Kambodia, sampai Madagaskar dan Hawaii dikenal sebagai bangsa serumpun Melayu-Polinesia.

Melayu Raya

Bahkan, dahulu para tokoh, intelektual, dan pejuang dari negeri-negeri itu mencanangkan satu negara bernama "Melayu Raya". Pada 1879, Parlemen Hawaii di Honolulu membahas kemungkinan penyatuan Dunia Melayu-Polinesia. Sepuluh tahun kemudian, Apolinario Mabini di Manila mengumumkan "Federation Malaya".

Pada 1932, tokoh mahasiswa University of Philippine bernama Wenceslao Q. Vinsons berorasi di kampusnya bahwa dirinya memimpikan kesatuan semua bangsa Melayu-Polinesia yang tergabung dalam Negara Melayu Raya. Vinsons meneruskan cita-cita pendahulunya, pencetus revolusi Filipina Jose Rizal (1861-1896) yang terkenal dengan novelnya Noli Me Tangere itu. Dalam tahun yang sama, pemuda Muhammad Yamin di Jakarta juga mengemukakan obsesinya tentang "Melayu Raya" atau "Indonesia Raya".

Gagasan "Melayu Raya" terungkap lagi ketika Indonesia-Filipina-Malaysia berencana mendirikan Maphilindo, singkatan dari Malaysia-Philipina-Indonesia di Manila pada 1963. Para presiden dari ketiga negara tersebut mengumumkan Deklarasi Manila yang menggabungkan negara mereka ke dalam Maphilindo.

Dalam pidato penutupan, Presiden Filipina Macapagal mengajak hadirin untuk mengenang kembali mimpi para nasionalis Filipina mulai Jose Rizal, Presiden Manuel Quezon, Wenceslao Vinzons, sampai Presiden Elpidio Quirino untuk menyatukan bangsa-bangsa Melayu. Macapagal menyebut Presiden Indonesia Soekarno dan Perdana Menteri Malaysia Tengku Abdul Rahman sebagai "two of the greatest sons of the Malay race".

Memudarnya Melayu Raya

Maphilindo tidak terwujud, justru berubah menjadi konfrontasi antara Indonesia dan Malaysia setelah Bung Karno mengumandangkan "Dwikora" yang pada pokoknya menyatakan bahwa Malaysia adalah proyek imperialis oleh karena itu harus di-ganyang. Apa alasan sesungguhnya di balik konfrontasi tersebut, masih merupakan misteri. Sebab, bersamaan dengan itu, kalangan TNI-AD di antaranya Ali Moertopo mengupayakan dihentikannya konfrontasi dengan Malaysia. Hubungan dua negara tetangga ini pada gilirannya mencair kembali.

Dampak konfrontasi yang dicanangkan Bung Karno itu ialah memudarnya cita-cita Melayu Raya, bahkan sudah tidak ada lagi tokoh-tokoh Indonesia, Malaysia, Filipina, Thailand, Singapura, Myanmar, Vietnam, Kambodia, dan Madagaskar yang mengungkit-ungkit sentimen Melayu. Masing-masing sibuk dengan persoalan negara dan masyarakat masing-masing.

Khusus bagi pemerintah dan rakyat Indonesia, boleh dikatakan nyaris melupakan ke-Melayu-annya karena sedang berproses menjadi Indonesia. Meskipun mayoritas secara kultural rakyat Indonesia tergolong ras Melayu-Polenesia. Hanya Papua yang mayoritas ras Melanesia, sedangkan Maluku dan pulau-pulau di Nusa Tenggara masih banyak yang Melayu kendati sudah meninggalkan ke-Melayu-annya.

Pewaris Melayu

Begitu Indonesia, begitu pula Filipina, Singapura, Thailand, Kambodia, Burma, Hawaii, dan Madagaskar. Terbentuknya Malaysia pada 1963 -sebelumnya mulai 1957 bernama Persekutuan Negara-Negara Melayu- membuat negeri tersebut menganggap diri sebagai pewaris sah kebudayaan Melayu. Nama "Malaysia" sudah lama digunakan tokoh dan pejuang yang mencita-citakan berdirinya Melayu Raya sehingga Malaysia merasa berhak atas Melayu.

Padahal, pada abad ke-7 Masehi, di Jambi (Indonesia) telah berdiri Kerajaan Melayu yang pada tahun 700 M ditaklukkan oleh Sriwijaya, namun bangkit kembali setelah Sriwijaya ambruk pada abad ke-12. Bahasa Melayu yang kemudian menjadi inti bahasa Indonesia dan bahasa resmi Malaysia bersumber di Riau (Indonesia). Siapa pewaris sejati Melayu?

Petinggi dan rakyat Malaysia bukan tidak memahami sejarah. Proses kulturalisasi di antara bangsa-bangsa Melayu telah melahirkan produk budaya mulai lagu, tari, kerajinan tangan, makanan, adat, dan sebagainya sama atau mirip di kawasan Melayu Raya, mulai Jawa sampai Madagaskar. Pemerintah dan rakyat Indonesia serta pemerintah dan rakyat lain tidak pernah mengklaim, apalagi mematenkan produk budaya tersebut. Indonesia tak mungkin mematenkan kacang China menjadi kacang Indonesia, barongsai menjadi kesenian Indonesia, jafin menjadi tari Indonesia, kendati sudah ratusan tahun hidup di Indonesia. Kita juga tak pernah menyoal klaim bahwa aktor dan penyanyi kondang P. Ramlee (1928-1973) yang lahir di Pulau Penang, Malaysia, itu orang Aceh -P di depan namanya itu adalah Puteh- karena memang tak perlu dipersoalkan. Banyak penyanyi keturunan Maluku yang tersohor di Belanda, kita pun tidak memasalahkannya, apalagi mengklaim dan mematenkannya.

Kulturalisasi jangan dipolitisasi. Biarlah reog, batik, serimpi, serampang dua belas, dan lain-lain itu menjadi milik kita yang pernah atau tetap disebut "Melayu". Biarlah pula wayang kulit dan wayang orang yang sudah berkembang di Malaysia, terutama di Johor Bahru, menjadi milik kita semua. Klaim dan patenisasi bukan ranah kebudayaan, melainkan domain politik. Jika Malaysia ingin menjadi pewaris Melayu, maka yang justru diwarisi dan dilestarikan ialah kebudayaan yang tumbuh dan berkembang di Indonesia, Singapura, Malaysia, Filipina, Thailand, Myanmar, Kambodia, Vietnam, Madagaskar, dan Hawaii. Ayo Cik!

Prof Dr H Sam Abede Pareno MM, budayawan, tinggal di Surabaya

Sumber : Jawa Pos dotcom

Proyeksi Politik Ekonomi 2008 (2-Habis)

Oleh Didik J. Rachbini

Digoyang Rivalitas Antarcapres
Pengalaman Indonesia menangani inflasi relatif bagus sehingga tidak pernah mengalami inflasi berat, seperti di Turki, Brazil, dan Peru. Tetapi, dengan kenaikan harga minyak sekarang, pemerintah dan BI akan menghadapi sesuatu yang tidak biasanya dalam hal pengendalian inflasi. Sasaran tersebut diperkirakan meleset sedikit jika kondisi terkendali dan akan lebih parah jika keadaan tidak bisa dikuasai pemerintah.

Suku bunga Sertifikat Bank Indonesia (SBI) tiga bulan 7-8 persen. Kaitan inflasi dengan suku bunga sangat erat karena dengan inflasi yang bisa ditekan di bawah 7 persen, tingkat suku bunga SBI juga tidak akan jauh berbeda dengan angka pencapaian sasaran inflasi tersebut. Pada saat ini, BI sudah mati-matian mempertahankan SBI tersebut karena dihadapkan pada faktor pendorong inflasi yang kuat.

Politik

Politik 2008 akan ditandai dinamika dan intensitas interaksi antarpartai politik yang semakin tinggi. Pada akhir 2007 saja, persaingan politik sudah relatif mengemuka dan terbuka yang ditandai oleh deklarasi tokoh-tokoh nasional dalam pencalonannya sebagai presiden.

Faktor politik yang ikut menentukan 2008 adalah faktor parlemen, yang merupakan parlemen transisi setelah reformasi 1998. Itu berarti, parlemen sekarang baru periode kedua dalam menjalankan politik demokrasi yang bebas.

Tetapi, faktor parlemen itu, tampaknya, cukup mengecewakan di hadapan rakyat, termasuk media massa, karena kiprah miringnya lebih banyak daripada kiprah positifnya.

Karena itu, dalam berbagai jajak pendapat, DPR tergolong lembaga yang tidak populer di mata rakyat. Memang ada masalah public relation yang tidak dijalankan kesekjenan. Tetapi, ada juga masalah karakter sangat mendasar yang menghambat fungsi-fungsi DPR sebenarnya. Parlemen masih perlu belajar lebih banyak untuk memenuhi tuntutan rakyat ketimbang mengurus kepentingan sendiri dan kelompoknya.

Namun, faktor penting yang akan berpengaruh pada 2008 ialah faktor presiden dan persiapan pemilihan presiden. Dari sisi rivalitas pemilihan presiden, akhir 2007 sudah mulai muncul rivalitas di pentas politik nasional. Jagat politik sudah ramai dengan penjajakan calon presiden, tetapi baru wacana, yang tentu tidak dapat dinafikan mengarah pada Pemilu 2009.

Faktor presiden ialah faktor penting yang akan menentukan ekonomi politik 2008. Kiprah dan kebijakan presiden pada 2008 akan menentukan apakah ekonomi berjalan di atas relnya dan politik bisa mendukung tercapainya cita-cita kesejahteraan rakyat. Sebagai contoh, bagaimana presiden menyiasati kenaikan harga minyak akan menentukan wajah ekonomi politik pada 2008.

Pertama, jika presiden hendak bertindak populis dengan tetap menahan harga minyak domestik seperti sekarang, APBN akan berat menahan subsidi. Bahkan, ada kemungkinan jebol karena jumlah subsidi sangat besar. Kemungkinan keadaan itu bisa terjadi karena tidak ada kebijakan-kebijakan yang berhasil dalam konversi energi dan produksi minyak dalam negeri tidak hanya tidak bisa dipertahankan, tetapi justru menurun dari tahun ke tahun.

Jika presiden memilih alternatif kebijakan kedua, tidak peduli dengan populisme tetapi mengambil jalan kebijakan yang rasional, dampak penyesuaian harga minyak akan menjalar pada kenaikan harga-harga. Itu berarti, ekonomi akan berhadapan pada tekanan, bahkan ancaman inflasi tinggi. Daya beli masyarakat akan menurun dan kemiskinan akan meningkat.

Sudah barang tentu, industri, dunia usaha, dan swasta akan menahan laju kenaikan produksinya. Yang dikorbankan tidak lain adalah tenaga kerja, baik penurunan upah atau PHK. Dalam kondisi ini, pengangguran akan semakin meningkat.

Jadi, politik dan ekonomi pada 2008 akan bertali-temali dan saling memengaruhi satu sama lain. Keadaannya tidak terlalu menguntungkan karena 2008 adalah tahun persiapan pemilu. Presiden akan bertindak hati-hati dalam kebijakan ekonomi, bahkan cenderung mengambil jalan yang tidak rasional. (habis) ***

Didik J. Rachbini, ekonom dan anggota DPR

Sumber : Jawa Pos dotcom

21 November 2007

Proyeksi Politik Ekonomi 2008 (1)

Oleh Didik J. Rachbini

Pertumbuhan Bergantung Harga Minyak
Politik sudah menghangat di penghujung 2007 ini dengan ditandai dinamika partai dan tokoh-tokoh, yang mulai menampakkan diri sebagai calon presiden pada 2009. Pada 2008, kondisi politik akan lebih hangat dari yang sudah berjalan saat ini.

Ekonomi juga memanas dengan kenaikan harga minyak internasional, yang tidak diperkirakan oleh siapa pun, dalam beberapa pekan terakhir. Harga minyak tidak sekadar naik, tetapi meroket sangat tinggi sehingga pantas disebut sebagai faktor yang dapat mengguncang ekonomi.

Politik dan ekonomi saling tali-temali sehingga masalah di bidang ekonomi dapat bertransformasi ke bidang politik. Sebaliknya, masalah di bidang politik dapat bertransformasi ke bidang ekonomi.

Ekonomi
Pada pertengahan semester kedua 2007, pemerintah sangat optimistis perekonomian nasional dapat digenjot dengan pertumbuhan ekonomi yang cukup tinggi. Bahkan, pemerintah mengajukan target pertumbuhan ekonomi kepada DPR sampai 7 persen karena yakin faktor eksternal dan internal cukup terkendali.

Tetapi, DPR tidak begitu saja setuju dengan sasaran pertumbuhan yang dianggap terlalu tinggi itu. Alasannya banyak. Pekerjaan yang mudah saja dalam mengimplementasikan anggaran yang ditetapkan DPR sulit bukan main.

Selama beberapa tahun terakhir, penyerapan anggaran hingga menjelang akhir tahun hanya separo dari anggaran yang tersedia. Baru setelah tertinggal satu atau dua bulan terakhir, penyerapan anggaran yang serampangan dilakukan tanpa melihat efektivitas hasil dari program tersebut.

Artinya, pada sisi pengeluaran, ada tiga masalah utama yang tidak mendukung tercapainya tingkat pertumbuhan tinggi seperti diprediksi pemerintah. Pertama, masalah injeksi anggaran yang tidak memadai karena banyak potensi pengeluaran pemerintah hilang akibat terjebak subsidi yang salah kaprah serta pengeluaran pembayaran utang luar negeri dan dalam negeri.

Masalah itu menjadikan APBN kita tidak dinilai sebagai faktor yang potensial mendongkrak pertumbuhan ekonomi karena sangat tidak memadai sebagai investasi publik. Kedua, faktor birokrasi, seperti dijelaskan di atas, mempunyai karakter tidak efektif dan tidak efisien dalam menjalankan ekonomi publik. Daya dorong pertumbuhan ekonomi dari injeksi pengeluaran pemerintah sangat lemah karena faktor birokrasi juga lemah.

Ketiga, birokrasi dan pemerintahan daerah yang belum pulih dari sindrom desentralisasi. Desentralisasi yang secara normatif potensial menopang pertumbuhan ekonomi daerah, tetapi karena transisi yang tidak tuntas, justru menjadi kendala ekonomi.

Pengeluaran publik di daerah kebanyakan terkuras untuk pengeluaran rutin dan tidak efektif bagi pembangunan langsung karena jumlah dan persentasenya sangat kecil. Sebenarnya, ekonomi Indonesia tergolong berkembang sehingga tetap potensial bergerak dengan pertumbuhan tinggi sampai 7 persen, seperti Tiongkok, India, Thailand, dan lainnya.

Potensi pertumbuhan ekonomi sebenarnya berada pada kisaran angka 7 persen tersebut. Karena itu, tidak terlalu aneh jika pemerintah mengajukan target pertumbuhan 2008 kepada DPR sebesar 7 persen atau setidaknya 6,9 persen.

Tetapi, sasaran tersebut kemudian dikoreksi DPR. Sebab, pada 2008 pemerintah bersama DPR menetapkan sasaran pertumbuhan ekonomi 6,5 persen, yang relatif lebih tinggi daripada perrtumbuhan tahun-tahun sebelumnya. Sasaran pertumbuhan sampai 6,9 persen sebenarnya masih diragukan karena banyak elemen pendukung pertumbuhan ekonomi tidak dimaksimalkan.

Tetapi, hasil pembahasan DPR dengan pemerintah, yang kemudian disahkan sebagai UU oleh DPR, itu kini semakin tidak realistis. Sasaran yang dibahas mendalam secara rasional tersebut kini meleset jauh dari kenyataan setelah harga minyak internasional dalam beberapa pekan ini meroket sangat tinggi.

Karena itu, patokan harga minyak, pertumbuhan ekonomi, dan berbagai indikator makro lainnya sudah tidak bisa lagi dipakai. Dengan demikian, faktor-faktor tersebut harus disesuaikan kembali agar lebih realistis dengan fakta dan kenyataan yang terjadi akhir-akhir ini.

Sasaran pertumbuhan ekonomi 6,5 persen tidak akan tercapai dengan kondisi harga minyak yang sangat tinggi. Sementara itu, APBN menetapkan patokan harga minyak berada pada kisaran USD 60 per barel. Jika harga minyak terus meningkat dan bertahan pada harga tinggi, pertumbuhan ekonomi sudah dipastikan menurun drastis.

Para analis Bank Indonesia (BI) dan beberapa lembaga riset lainnya menilai pertumbuhan ekonomi diperkirakan meluncur mendekati angka 5 persen jika harga minyak tetap bertengger tinggi di atas USD 90 per barrel.

Pertumbuhan ekonomi tidak semata-mata dipengaruhi faktor ekonomi, tetapi juga sangat bergantung pada faktor politik. Sasaran pertumbuhan ekonomi hampir 7 persen dinilai terlalu tinggi karena pada 2008 banyak faktor eksternal yang sangat berpengaruh pada ekonomi. Misalnya, persiapan pemilu, dinamika rivalitas antarpartai dan antarcalon presiden.

Tingkat inflasi diperkirakan 5,5-6,5 persen. Seperti biasa, faktor inflasi itu dinilai tidak terlalu krusial karena sasaran inflasi satu angka sering dijalani pemerintah dan teknokrat. (bersambung)

Didik J. Rachbini, ekonom, saat ini juga anggota DPR RI

15 November 2007

"Daur Ulang" Calon Presiden

Oleh Syamsuddin Haris

Setelah Megawati Soekarnoputri menyatakan kesediaan menjadi calon presiden untuk Pemilu 2009, Selasa (18/9) Abdurrahman Wahid mengemukakan pernyataan serupa. Dua mantan presiden ingin kembali menjadi calon presiden.

Selain Megawati dan Abdurrahman Wahid (Gus Dur), diduga "daur ulang" atas calon presiden (capres) juga akan dilakukan beberapa partai lain menjelang pemilu mendatang. Tokoh-tokoh politik lama amat mungkin akan beredar kembali untuk menebar pesona dan menawarkan harapan serta janji-janji politik baru. Mengapa demikian? Bagaimana kita harus membaca dan memahaminya?

Personalisasi kepemimpinan

Dalam kaitan ini, ada beberapa faktor yang saling terkait di balik fenomena "daur ulang" capres.

Pertama, fenomena "daur ulang" capres bisa jadi merupakan refleksi dari mengentalnya personalisasi kepemimpinan dan kekuasaan di internal partai-partai sehingga potensi kepemimpinan alternatif tidak pernah memiliki peluang untuk tumbuh dan berkembang di dalam partai. Konflik internal partai-partai, yang melahirkan partai baru, sebagian besar dipicu oleh berkembangnya kepemimpinan partai yang cenderung personal seperti ini. Tidak jarang sikap, pilihan, bahkan "selera" pribadi pemimpin partai menjadi "hukum" dan keputusan tertinggi yang mengalahkan kesepakatan kolektif yang telah diputuskan forum resmi partai.

Kedua, partai-partai kita cenderung terperangkap sebagai "broker" bagi pertukaran kepentingan di antara para elitenya ketimbang sebagai wadah untuk seleksi dan pembentukan pemimpin yang bertanggung jawab. Ironisnya, fenomena pertukaran kepentingan itulah yang cenderung mendominasi arena muktamar, kongres, munas, atau rapimnas, dan rakornas partai-partai politik kita. Akibatnya, agenda yang ditunggu peserta muktamar, kongres, munas, rapimnas, atau rakornas bukan resep mujarab mengatasi korupsi dan mengurangi kemiskinan dan pengangguran, misalnya, tetapi masalah klasik kekuasaan: siapa mendapat apa dan bagaimana (cara) mendapatkannya.

Ketiga, partai-partai bagaimanapun adalah miniatur masyarakat. Fenomena "daur ulang" capres bukan saja mengindikasikan realitas krisis kepemimpinan partai-partai, tetapi juga krisis kepemimpinan pada tingkat masyarakat. Tokoh-tokoh agama, tokoh adat, atau pengusaha kini kehilangan kepercayaan dari rakyat karena berbondong-bondong memilih terjun ke politik ketimbang mengabdikan hidupnya sebagai pemimpin masyarakat. Krisis yang sama terjadi di tingkat negara. Sejumlah anggota parlemen (DPR dan DPD), yang mendapat mandat sebagai wakil rakyat selama lima tahun, justru "lari" dari tanggung jawab dengan mencalonkan diri sebagai gubernur. Begitu pula sebagian anggota DPRD yang berburu jabatan bupati dan wali kota melalui pilkada.

Keempat, sebagai dampak sekaligus warisan sistem otoriter, relasi antarkelompok atau golongan masyarakat dewasa ini masih diwarnai psikopolitik saling tidak percaya satu sama lain.

Akibatnya, seorang pemimpin politik diterima dan ditolak, atau dipuja dan dibenci, bukan karena ide serta visinya tentang masa depan bangsa, tetapi karena warna dan identitas kulturalnya. Dilemanya adalah para pemimpin partai sering bersembunyi di balik jubah kultural itu sehingga hampir selalu "bias" dalam membaca realitas masyarakat.

Absurditas elite

Karena itu, pilihan partai-partai untuk men-"daur ulang" capres bagi pemimpin yang "gagal" menjadikan bangsa ini lebih baik sebenarnya merupakan langkah mundur demokrasi kita. Fenomena itu tak lebih dari konfirmasi atas sinyalemen bahwa bisnis partai politik belum berubah, yakni berkisar pada perburuan kekuasaan dalam pengertian sempit.

Masalah bagaimana kekuasaan itu dikelola secara benar, amanah, dan bertanggung jawab, relatif belum menjadi agenda serius partai-partai politik kita. Tidak mengherankan jika kesibukan para politisi menjelang pemilu presiden bukan mengevaluasi faktor-faktor kegagalan bangsa dalam mengangkat hak dan martabat, tetapi saling merangkai pasangan calon. Para elite politik yang bersaing disandingkan atas dasar kategorisasi yang kadang absurd: Islam-nasionalis, Jawa-luar Jawa, sipil-militer, dan seterusnya. Ironisnya, rasionalitas politik masyarakat pun akhirnya terperangkap ke dalam absurditas para elite politik.

Masalah kapabilitas, integritas, dan komitmen kandidat bagi perubahan menjadi nomor sekian. Visi, misi, dan platform politik kandidat akhirnya hanya menjadi proforma, sekadar pemenuhan persyaratan administratif yang ditentukan undang-undang. Akibatnya, bangsa kita tak pernah benar-benar bangkit keluar dari krisis multidimensi meski selama sewindu terakhir empat presiden pengganti Soeharto telah memimpin negeri ini.

Tanggung jawab pemimpin

Terlepas dari peluang dan kelayakan, kesediaan Megawati dan Gus Dur sebagai capres merupakan hak politik yang dijamin konstitusi. Juga menjadi hak PDI-P dan PKB untuk mengusung kembali dua mantan presiden ini menjadi capres pada pemilu mendatang.

Masalahnya, aneka problem bangsa ini mungkin tak akan pernah terselesaikan jika elite politik hanya berlomba merebut hak, tetapi lupa kewajiban dan tanggung jawab etis mereka sebagai pemimpin. Salah satu kewajiban dan tanggung jawab pemimpin seperti Megawati dan Gus Dur adalah melahirkan pemimpin-pemimpin baru melalui pelembagaan partai secara demokratis, sistem kaderisasi dan seleksi kepemimpinan yang terukur, serta pemberian kesempatan bagi generasi muda yang memiliki potensi. Selain itu, para pemimpin partai seharusnya ikut bertanggung jawab dalam mendidik dan mencerdaskan massa pendukungnya, bukan sekadar memanfaatkan, memanipulasi, dan meninabobokan mereka untuk kepentingan segelintir elite.

Jadi, tanpa harus menjadi capres atau calon wapres kembali, para elite partai sebenarnya justru bisa menjadi pemimpin besar dalam arti sebenarnya jika tanggung jawab etis lebih didahulukan ketimbang sekadar merebut hak.

SYAMSUDDIN HARIS Profesor Riset Ilmu Politik Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia

Sumber : KCM


13 November 2007

Menciptakan Profesionalisme Hakim

Oleh Nur Basuki Minarno

Salah satu yang memengaruhi tingginya indeks persepsi korupsi di Indonesia adalah sistem peradilan yang korup, terjadi mafia peradilan, aparat penegak hukum menerima suap. Semua itu menimbulkan persepsi negatif terhadap peradilan kita.

Dalam blueprint MA dinyatakan bahwa peradilan kita masih carut-marut, terjadi mafia peradilan, hakim korup, hakim tidak beretika, dan masih banyak lagi. Itu sebuah kejujuran yang dikemukakan lembaga peradilan tertinggi.

Hakim dalam melaksanakan tugasnya harus mempunyai tingkat pemahaman hukum positif yang baik serta memperhatikan Pedoman Perilaku Hakim (PPH). Ada beberapa prinsip dasar PPH. Di antaranya, hakim harus berperilaku jujur, adil, berintegritas tinggi, profesional, dan berwibawa.

Prinsip dasar inilah yang harus dijunjung hakim dalam menjalankan tugas maupun berinteraksi sosial. Jika hakim dalam melaksanakan tugasnya maupun berinteraksi sosial melanggar PPH dimaksud, menjadi tugas Komisi Disiplin untuk menegakkan aturan itu. Hakim dalam ruang sidang menggunakan HP, bermain golf dengan salah seorang pengacara yang bersengketa, menggunakan toga sambil merokok merupakan beberapa contoh perilaku menyimpang atau bertentangan dengan PPH.

PPH dibuat MA pada 2006. Jika ditelusuri ke belakang, sebetulnya PPH itu lahir atas dasar suatu kekhawatiran atau ketakutan dari MA terhadap kode etik atau PPH yang akan dibuat Komisi Yudisial (KY). Masih segar dalam ingatan kita, terjadi perseteruan antara Komisi Yudisial dan Mahkamah Agung terkait dengan penegakan kode etik hakim. Jika kode etik atau PPH itu dibuat KY, akan terjadi problematik yang sangat rumit bila dihadapkan pada suatu permasalahan tentang siapakah yang mempunyai kewenangan untuk menegakkan pelanggaran etika hakim atau PPH?

Kelahiran Komisi Yudisial yang terlepas dari MA patut menjadi pertanyaan konstitusional, meskipun dalam konstitusi/UUD 1945 diatur. Betapa tidak, KY semestinya berada dalam institusi MA, tidak berdiri sendiri.

Akan menjadi kesulitan jika menghadapi suatu persoalan tentang hakim yang melanggar kode etik/PPH, baik ringan maupun berat, apakah KY dapat memberikan sanksi? Tentu saja tidak dapat karena hakim secara struktural maupun fungsional berada di bawah MA. Jika demikian, apakah tugas dan wewenang KY?

Di Indonesia, begitu mudah membentuk suatu lembaga yang bernama komisi. Barangkali tidak dapat dihitung berapa komisi yang ada dewasa ini. Yang menjadi pertanyaan, apakah komisi-komisi tersebut dapat menjalankan tugasnya?

Banyaknya komisi itu sangat memberatkan keuangan negara karena komisi-komisi tersebut menjadi beban APBN dengan suatu tugas yang kurang jelas, apalagi jika diukur efektivitas dan efisiensinya.

Hakim Spesialis

Di pengadilan negeri, pengadilan tinggi, maupun MA, hakim dapat menangani beberapa macam kasus sesuai dengan surat penetapan ketua pengadilan/ketua MA.

Di pengadilan negeri, misalnya, seorang hakim pada hari yang sama dapat menangani perkara perdata dan perkara pidana. Demikian pula hakim agung yang berasal dari Pengadilan Agama atau Tata Usaha Negara menangani perkara kepailitan atau perkara pidana. Luar biasa hakim tersebut, tetapi bagaimana putusannya, terutama dalam ratio decidendi-nya? Itu yang memprihatikan.

Banyak kasus yang dapat diketengahkan. Misalnya, perkara kepailitan PT Dirgantara Indonesia (DI) dan PT Tempo yang diputus MA. Hakim agung yang memeriksa perkara tersebut kurang mempunyai kemampuan hukum kepailitan atau hukum pidana sehingga putusan itu menunjukkan kekurangpahaman atas norma-norma hukum yang berlaku dalam perkara tersebut.

MA perlu mencetak atau membentuk hakim-hakim spesialis, yang tidak seperti sekarang. Dalam pendidikan calon-calon hakim/hakim, MA dapat menilai kemampuan hakim/calon hakim tersebut.

Jika calon hakim/hakim itu mempunyai kemampuan dalam bidang hukum pidana, hakim tersebut diberikan tugas khusus untuk memeriksa perkara pidana saja, tidak untuk perkara lain. Jika sudah ditetapkan menjadi hakim pidana, janganlah dipindah-pindah untuk menangani kasus yang lain.

Banyak contoh yang dapat diketengahkan. Hakim PN dimutasi menjadi hakim PUTN atau sebaliknya. Hakim Pengadilan Agama dimutasi menjadi hakim PTUN atau sebaliknya. Itu akan merusak profesionalisme hakim.

MA dalam melakukan mutasi hakim harus benar-benar memperhatikan beban pengadilan dalam menangani perkara. Jika dalam pengadilan kelas I-A, misalnya, perkara pidananya lebih besar, hakim yang paling banyak ditempatkan di situ adalah hakim pidana, demikian pula seterusnya.

Demikian pula, ketua pengadilan dalam menetapkan majelis hakim harus memperhatikan kemampuan individual hakim. Putusan hakim akan mencerminkan tingkat kemampuan majelis hakim. Alangkah ironisnya jika ratio decidendi-nya tidak mencerminkan kemampuan intelektualnya.

Yang tidak kalah penting, ketua pengadilan mengupayakan majelis hakim yang tetap. Banyak sidang ditunda karena anggota majelis hakim masih mengikuti sidang dalam majelis hakim lain.

Masing-masing pengadilan hendaknya membuat jadwal sidang dan jadwal tersebut disampaikan ke penuntut umum, penggugat, serta tergugat. Hal itu dimaksudkan agar pihak yang terkait mengetahui dan terikat dengan jadwal tersebut. Ketentuan itu akan mengeliminasi persidangan yang molor.

Dr Nur Basuki Minarno SH MHum, staf pengajar pada Fakultas Hukum Unair

Sumber : Jawa Pos dotcom

12 November 2007

Menundukkan Globalisasi

Oleh : Prof A Qodri Azizy

Sehabis tadarusan di sebuah musala di kampung, bertemulah tiga orang: Pak Saleh, Umar, dan Fahmi. Mereka ngobrol dan bercerita apa yang mereka lihat di televisi mereka masing-masing yang baru saja mereka beli sehari sebelumnya. Mereka bertetangga. Dan memang telah membeli televisi bareng: mareknya sama, ukurannya sama, antenanya pun sama.

Pak Saleh kecewa berat karena begitu melihat TV, dia langsung melihat bagaimana penguasa Burma memorakporandakan orang-orang yang berdemo. Dia anggap, TV itu hanya berisi tembak-tembakan melulu. Pak Umar lebih kecewa lagi, karena begitu melihat TV, dia melihat Madonna sedang meliuk-liukkan tubuhnya sambil diiringi lagu-lagu yang menghunjam masuk ke dada. Dia merasa berdosa melihat TV yang hanya berisi hiburan keterlaluan seperti itu.

Sebaliknya, Pak Fahmi dengan bulu kuduknya berdiri serta terbata-bata dengan haru dan bangganya, dia menceritakan betapa terbawa suasana berihram mengelilingi Kakbah di Makkah. Dia menangis ketika tayangan itu selesai, kayak anak kecil yang kehabisan film kartoon di TV.

Berita atau info kekerasan, info hiburan yang melebihi ukuran adat Jawa, dan info praktik ihram menyatu di sebuah barang yang disebut TV. Semua itu info dari luar negeri, informasi global yang dapat kita saksikan dalam waktu yang sama. Saya belum tahu seandainya Pak Umar melihat hiburan tadi juga melihat acara pornografi di internet.

***

Informasi global atau yang lebih luas lagi globalisasi berisi macam-macam hal yang memang terkadang bertentangan dari segi nilai. Baik-buruk ada di situ. Masing-masing akan berpengaruh. Informasi tadi tetap ada dan akan selalu ada serta tidak bisa dilarang. Mungkin bisa dijauhi, namun tidak mungkin menjauhi secara keseluruhan. Gesekan akan terjadi, bahkan juga kompetisi.

Alat-alat komunikasi akan selalu tersedia dan akan semakin canggih. Kini dengan telepon seluler yang kecil dan dapat dibawa ke mana-mana, semua program dapat diakses. Kita mengakses, kita menerima informasi global, kita menggunakan alat dengan segala jenis dan bentuknya: ini semua berarti kita respons secara pasif.

Kita sebagai objek globalisasi. Kita sebagai sasaran globalisasi. Kita sebagai pasar globalisasi. Untuk itu, mudah. Kita harus mampu menilai dan memilah serta memilih: mana yang baik dan mana yang tidak baik.

Ketika acara TV di seluruh dunia tersedia dengan berbagai jenis dan macam dari yang ibadah sampai dengan yang maksiat, maka respons kita hanya memilih. Kita akan memilih yang baik dan ada manfaatnya dan syukur dapat pahala. Meskipun, kita sadar bahwa ada di antara kita yang akan memilih yang lainnya: hiburan, info tentang kekerasan, peperangan, dan sejenisnya.

Para ustad mudah untuk memberikan taushiyah: pilih yang ini, jangan yang itu. Pada tahap ini, sekali lagi, kita menjadi sasaran dan objek dan hanya bisa memilih. Dalam waktu bersamaan, di sini berlaku ajaran khiyar dan tanggung jawab. Qad tabayyana al-rusydu min al-ghayyi (sungguh jelas antara yang benar dan yang lacur). Meskipun sekadar pasif, namun harus bisa menerapkan ajaran tentang khiyar, pilihan dan tanggung jawab. Pada akhirnya, hasil dan konsekuensi akan kembali kepada kita masing-masing sesuai dengan pilihan apa yang kita ambil. Fa-man ya’mal mitsqala dzarratin khairay yarah; wa man ya’mal mitsqala dzarratin syarray yarah (barang siapa berbuat sekecil atom apa pun berupa kebaikan nanti akan menyaksikannya. Dan barangsiapa berbuat kejelekan sekesil atom apa pun, nanti dia akan menyaksikannya pula).

***

Yang lebih penting lagi adalah bukan respons pasif, di mana kita sebagai objek globalisasi. Namun, alangkah baiknya bila kita melakukan respons aktif, bahkan juga progresif. Yakni, kita juga sekaligus sebagai pemain globalisasi.

Globalisasi ibarat hutan belantara atau lapangan tebuka: siapa saja bisa memanfaatkannya. Tergantung siapa berbuat, dia akan dapat. Man jadda wajad. Bumi ini diciptakan oleh Allah untuk kemakmuran manusia, termasuk umat Islam di dalamnya. Huwa ansya’akum wa ista’marakum fiha. Apalagi, manusia disebut sebagai khalifah fi al-ardh, penguasa/pengelola bumi.

Ini harus dipahami bahwa umat Islam, menurut ajaran Islam, tidak sekadar menjadi objek globalisasi yang cukup dengan respons pasif. Umat Islam tidak sepantasnya seperti dalam diskripsi contoh Pak Saleh, Umar, dan Fahmi di atas. Kalau sekadar objek dan pengguna, maka bukan khalifah. Bukan subjek dalam memakmurkan bumi seisinya. Padahal, bumi dan langit itu untuk kita, umat manusia, termasuk -kalau tidak disebut dengan terutama- umat Islam.

Lebih Islami yang mana: sekadar objek dan pengguna atau sebagai subjek dan pencetus/inovator dalam globalisasi? Seharusnya, para ulama dan ustad kita berani mengatakan dan memberikan fatwa lebih Islami mereka yang menjadi inovator/pencetus informasi global, meskipun masih dikasih embel-embel ketika sama-sama umat Islam. Nah di sini, you get the point.

Ketika ustad dan mubalig kita hanya mengajarkan untuk menjadi objek kemajuan, berarti masih kurang atau salah. Kita pun hampir tidak pernah mendengarkan mubalig kita mengajarkan ajaran kompetisi. Padahal, inti globalisasi adalah kompetisi. Kompetisi yang sebenarnya yang akan menghasilkan kalah dan menang.

Bukankah ajaran kompetisi telah dihancurkan dengan model penyampaian ajaran tawakal? Bukankah ajaran inovasi telah diubah oleh gaya penyampaian ajaran qana’ah? Bukankah ajaran untuk memberikan zakat (kaya) telah dihancurkan dengan penyampaian ajaran tentang menerima zakat (miskin)? Bukankah ajaran kerja keras (amal shalih) telah dihancurkan dengan penyampaian ajaran tentang amal seikhlasnya? Bukankah ajaran menepati janji telah dihancurkan dengan penyampaian dai tentang insya Allah? Dan masih sederet kekeliruan praktik kita dalam menjalankan ajaran Islam.

Kita telah de jure ber-Islam, namun de facto masih jauh dari ajaran Islam yang sebenarnya. Selama umat Islam masih terbelenggu oleh kekeliruan penyampaian para tokoh kita, selama itu pula umat Islam masih selalu akan menjadi objek globalisasi. Padahal, ajaran Islam mengharuskan kita menjadi subjek, pelaku, dan pemain keduniaan, termasuk globalisasi. Terjadi paradoks dalam ber-Islam.

Oleh karena itu, harus ada perubahan. Harus ada perbaikan praktik beragama Islam. Ini harus dimulai dari pemahaman ajaran Islam itu sendiri. Islam mengajarkan untuk memberikan zakat, infak, sedekah, dan sejenisnya. Namun dalam praktik ajaran kita, kita ditekankan untuk menjadi penerima.

Islam mengajarkan hasanah fi al-dunya; namun kita diajarkan untuk menjadi terbelakang dan kebodohan yang diselimuti kemiskinan. Mari kita renungkan! Mari kita sadari! Mari kita bertindak dan berubah! Inna Allaha la yughayyiru ma bi-qaumin hatta yughayyiru ma bi-anfusihim.

Prof Dr A. Qodri Azizy MA, guru besar Fakultas Syari’ah IAIN Walisongo Semarang

Sumber : Jawa Pos

10 November 2007

Belum Pahlawan

Oleh Prof.Dr. Hj. Nina Herlina Lubis, M.S.

Hari ini, 10 November 2007, bangsa Indonesia mendapat tambahan empat pahlawan nasional. Dengan demikian, sejak Abdul Muis diangkat menjadi pahlawan nasional, total 140 orang pahlawan nasional dengan 11 di antaranya berasal dari Jawa Barat.

Sedianya, Mr. Sjafruddin Prawiranegara hari ini akan diangkat menjadi pahlawan nasional ke-12 yang diusulkan dari Jawa Barat. Namun, karena suatu alasan pada seleksi tahap akhir di Jakarta, tidak diloloskan. Tahun ini, sebenarnya ada 22 calon pahlawan nasional yang diusulkan dari berbagai provinsi yang lolos persyaratan administrasi. Enam orang di antaranya dari Jawa Barat.

Setelah dinilai Tim Penilai Pusat yang dibentuk oleh Badan Pembina Pahlawan Pusat, dari 22 orang calon berhasil lolos 7 orang, salah satunya adalah Mr. Sjafruddin Prawiranegara yang diusulkan oleh Pusat Penelitian Kemasyarakatan dan Kebudayaan Lembaga Penelitian Unpad. Tentu saja, perdebatan akademis untuk meloloskan calon-calon ini berjalan "seru". Namun, keputusan akhir berada di tangan presiden. Keputusan ini lebih bersifat politis. Meskipun demikian, pada umumnya, yang sudah lolos dari Tim Penilai Pusat, biasanya lolos juga dari tangan presiden. Kekecualian kadang terjadi, seperti tahun ini.

Mohamad Toha, yang sangat diharapkan masyarakat Jawa Barat untuk diangkat menjadi pahlawan nasional, menurut surat pemberitahuan resmi dari Badan Pembina Pahlawan Pusat, cukup mendapat penghargaan Bintang Maha Putra Pratama saja (yang sudah dianugerahkan terdahulu), sesuai dengan bobot pengorbanan/perjuangannya. Riwayat perjuangan Mohamad Toha dianggap sumir, kurang jelas, sehingga tidak memenuhi kriteria pahlawan nasional.

Empat calon lainnya, K.H. Hasan Maolani, Raden Ayu Lasminingrat, K.H. Ahmad Sanusi, dan K.H. Abdul Halim, bahkan dianggap tidak layak. Nama-nama itu masih harus melengkapi tambahan data dan fakta riwayat perjuangannya di bidang sosial kemasyarakatan dan politik sebelum diajukan kembali pencalonannya tahun depan.

Dalam kurun waktu lima tahun terakhir (2002 sampai 2006) Jabar mendapat tambahan lima pahlawan nasional. Masing-masing, Iwa Kusuma Sumantri, Gatot Mangkoepradja, Maskun Sumadipraja, K.H. Noer Alie, dan R.M. Tirto Adi Soerjo. Bandingkan dengan provinsi lain. Jawa Tengah, dalam 10 tahun terakhir hanya mendapat satu pahlawan nasional (tahun ini). Jawa Timur, dalam tiga tahun terakhir, mengusulkan dua pahlawan nasional dan belum berhasil. Dari keempat pahlawan nasional yang diangkat tahun ini: A.K. Gani, Anak Agung Gde Agung, Prof. Moestopo, dan Slamet Riyadi, ada yang sudah dicalonkan cukup lama. Untuk lima pahlawan Jawa Barat yang disebut di atas, dicalonkan sekali, langsung diangkat. Kecuali Gatot Mangkupradja yang diajukan dua kali: usulan pertama dianggap kurang data dan fakta.

Dari tahun ke tahun, jumlah calon yang ditolak dari seluruh provinsi rata-rata antara 15 hingga 20 orang karena setiap tahun calon yang masuk (termasuk yang mengulang) jumlahnya antara 20 hingga 30 orang. Alasan penolakan bermacam-macam. Bisa karena data kurang lengkap (jadi pengusulan bisa diulang), alasan politis (lebih baik tidak diusul ulang karena sia-sia saja), atau mungkin ditunda untuk tidak menimbulkan kecemburuan sosial (karena ada provinsi yang hampir tiap tahun mendapat tambahan pahlawan nasional, ada yang sangat jarang).

Mr. Sjafrudin

Berikut ini penulis kenalkan apa dan bagaimana perjuangan Mr. Sjafruddin Prawiranegara, tokoh yang gagal diangkat menjadi pahlawan nasional tahun ini. Sebelumnya Mr. Sjafruddin hampir dipastikan lolos. Bahkan, sanak keluarganya sudah mendapat ucapan selamat dari beberapa tokoh penting, termasuk dari mantan menteri.

Sjafruddin adalah tokoh penting. Tanpa Sjafruddin mendirikan Pemerintah Darurat Republik Indonesia (PDRI), maka eksistensi republik ini entah masih ada atau tidak. Ketika Presiden RI Soekarno dan Wakil Presiden Mohamad Hatta ditangkap Belanda tahun 1949, Belanda menggembar-gemborkan bahwa RI sudah hancur. Sjafruddin dengan sigap mendirikan PDRI di Sumatra Barat, kemudian disiarkan ke dunia internasional sehingga di PBB bisa dibuktikan bahwa Belanda berbohong karena RI ternyata masih ada.

Ketika Soekarno Hatta dibebaskan, Sjafruddin pun menyerahkan kembali jabatannya sebagai "the acting president" kepada Soekarno dan PDRI pun dibubarkan. Inilah jasa terbesar Sjafruddin. Jasa lainnya, Sjafruddin (1911-1989) adalah menteri dalam kabinet Syahrir. Dia juga Menteri Kemakmuran dalam Kabinet presidensial Hatta dan kemudian menjadi Wakil Perdana Menteri yang berkedudukan di Kutaraja. Setelah itu menjadi Menteri Keuangan RIS dan Menteri Keuangan Kabinet RI yang pertama di bawah PM Natsir. Jabatan penting lainnya yaitu menjadi Presiden Direktur Javasche Bank yang terakhir dan Gubernur Bank Indonesia yang pertama.

Pada tanggal 22 Desember 2006, Presiden RI, menetapkan hari berdirinya PDRI sebagai Hari Bela Negara. Ini adalah keputusan yang sangat tepat karena lahirnya PDRI adalah ekspresi dari kehadiran negara yang tidak terputus meskipun ibu kota telah diduduki dan presiden serta wakil presiden telah ditangkap. PDRI adalah pertanda survival of the states. Ketika Jenderal Spoor mengatakan bahwa RI sudah tiada.

Dalam kariernya sebagai pemimpin dan tokoh masyarakat, Sjafruddin selalu lebih mengutamakan kesatuan dan persatuan daripada mempertahankan legitimasi konstitusional. Sjafruddin juga menyumbangkan gagasan pemikiran yang mengangkat harkat dan martabat bangsa. Sebagai contoh, pada 1952, ketika Javasche Bank dinasionalisasi, Sjafruddin diangkat sebagai Presiden Direktur Javasche Bank menggantikan orang Belanda, dan menjadi Gubernur BI pertama, bulan Juli 1953. Nasionalisasi itu dengan pembelian saham dari pasar saham di Negeri Belanda.

Sjafruddin dalam kehidupan kenegaraan adalah seorang yang berpikir jauh ke depan. Ketika RUU Bank Indonesia sedang dirumuskan dia memperjuangkan agar Bank Indonesia sebagai Bank Sentral tetap merupakan lembaga independen tidak di bawah dominasi pemerintah. Karena kalau kekuasaan politik mencakup kekuasaan masalah keuangan, tentu bisa membahayakan sirkulasi keuangan. Baru pada tahun 1999, gagasan Sjafruddin ini dijadikan landasan UU Bank Indonesia yang baru pada masa Kepresidenan B.J. Habibie.

Demikian sebagian kecil jasa Mr. Sjafruddin Prawiranegara. Sudah selayaknyalah beliau mendapat penghargaan tertinggi dari pemerintah RI, atas jasa-jasanya yang besar bagi bangsa dan negara ini berupa predikat pahlawan nasional.

Amendemen

Sehubungan dengan peraturan perundang-undangan tentang pahlawan nasional yang berlaku, ada baiknya pemerintah pusat melakukan amendemen terhadap perundang-undangan yang ada karena ada pasal-pasal yang sebenarnya kurang relevan atau menjadi tidak relevan lagi. Misalnya persyaratan bahwa calon harus warga negara Indonesia. Padahal umumnya calon yang berasal dari masa pergerakan atau dari masa sebelum republik berdiri jelas-jelas bukan WNI karena Indonesia belum lahir.

Harus pula ditambahkan pasal-pasal lain yang memberikan peluang kepada para calon baru, yang berjasa di bidang lain (pendidikan, ekonomi, dsb.) karena calon-calon pahlawan yang berjuang melawan penjajah Belanda atau Jepang itu sudah hampir habis.

Selain itu, pemprov ada baiknya membuat perda yang mengatur pemberian gelar pahlawan daerah atau sejenisnya untuk mengakomodasi calon-calon pahlawan nasional yang dianggap pantas oleh masyarakat Jawa Barat, namun tidak lolos dalam seleksi tingkat pusat. Misalnya seperti Mohammad Toha.

Akhirnya, kepada masyarakat Jawa Barat, jangan kecewa kalau ada tokoh-tokoh yang layak mendapat gelar pahlawan nasional, tetapi tidak bisa jadi pahlawan. Mereka akan tetap menjadi pahlawan di hati masyarakat.***

Penulis, Guru Besar Ilmu Sejarah Fak. Sastra Unpad, Kepala Pusat Penelitian Kemasyarakatan dan Kebudayaan Lemlit Unpad, Ketua Masyarakat Sejarawan Indonesia Cabang Jawa Barat.

Sumber : Pikiran Rakyat Online

09 November 2007

Benua Atlantis itu (Ternyata) Indonesia


Oleh Prof. Dr. H. PRIYATNA ABDURRASYID, Ph.D.

MUSIBAH alam beruntun dialami Indonesia. Mulai dari tsunami di Aceh hingga yang mutakhir semburan lumpur panas di Jawa Timur. Hal itu mengingatkan kita pada peristiwa serupa di wilayah yang dikenal sebagai Benua Atlantis. Apakah ada hubungan antara Indonesia dan Atlantis?

Plato (427 - 347 SM) menyatakan bahwa puluhan ribu tahun lalu terjadi berbagai letusan gunung berapi secara serentak, menimbulkan gempa, pencairan es, dan banjir. Peristiwa itu mengakibatkan sebagian permukaan bumi tenggelam. Bagian itulah yang disebutnya benua yang hilang atau Atlantis.

Penelitian mutakhir yang dilakukan oleh Aryso Santos, menegaskan bahwa Atlantis itu adalah wilayah yang sekarang disebut Indonesia. Setelah melakukan penelitian selama 30 tahun, ia menghasilkan buku Atlantis, The Lost Continent Finally Found, The Definitifve Localization of Plato's Lost Civilization (2005). Santos menampilkan 33 perbandingan, seperti luas wilayah, cuaca, kekayaan alam, gunung berapi, dan cara bertani, yang akhirnya menyimpulkan bahwa Atlantis itu adalah Indonesia. Sistem terasisasi sawah yang khas Indonesia, menurutnya, ialah bentuk yang diadopsi oleh Candi Borobudur, Piramida di Mesir, dan bangunan kuno Aztec di Meksiko.

Konteks Indonesia

Bukan kebetulan ketika Indonesia pada tahun 1958, atas gagasan Prof. Dr. Mochtar Kusumaatmadja melalui UU no. 4 Perpu tahun 1960, mencetuskan Deklarasi Djoeanda. Isinya menyatakan bahwa negara Indonesia dengan perairan pedalamannya merupakan kesatuan wilayah nusantara. Fakta itu kemudian diakui oleh Konvensi Hukum Laut Internasional 1982. Merujuk penelitian Santos, pada masa puluhan ribu tahun yang lalu wilayah negara Indonesia merupakan suatu benua yang menyatu. Tidak terpecah-pecah dalam puluhan ribu pulau seperti halnya sekarang.

Santos menetapkan bahwa pada masa lalu itu Atlantis merupakan benua yang membentang dari bagian selatan India, Sri Lanka, Sumatra, Jawa, Kalimantan, terus ke arah timur dengan Indonesia (yang sekarang) sebagai pusatnya. Di wilayah itu terdapat puluhan gunung berapi yang aktif dan dikelilingi oleh samudera yang menyatu bernama Orientale, terdiri dari Samudera Hindia dan Samudera Pasifik.

Teori Plato menerangkan bahwa Atlantis merupakan benua yang hilang akibat letusan gunung berapi yang secara bersamaan meletus. Pada masa itu sebagian besar bagian dunia masih diliput oleh lapisan-lapisan es (era Pleistocene). Dengan meletusnya berpuluh-puluh gunung berapi secara bersamaan yang sebagian besar terletak di wilayah Indonesia (dulu) itu, maka tenggelamlah sebagian benua dan diliput oleh air asal dari es yang mencair. Di antaranya letusan gunung Meru di India Selatan dan gunung Semeru/Sumeru/Mahameru di Jawa Timur. Lalu letusan gunung berapi di Sumatera yang membentuk Danau Toba dengan pulau Somasir, yang merupakan puncak gunung yang meletus pada saat itu. Letusan yang paling dahsyat di kemudian hari adalah gunung Krakatau (Krakatoa) yang memecah bagian Sumatera dan Jawa dan lain-lainnya serta membentuk selat dataran Sunda.

Atlantis berasal dari bahasa Sanskrit Atala, yang berarti surga atau menara peninjauan (watch tower), Atalaia (Potugis), Atalaya (Spanyol). Plato menegaskan bahwa wilayah Atlantis pada saat itu merupakan pusat dari peradaban dunia dalam bentuk budaya, kekayaan alam, ilmu/teknologi, dan lain-lainnya. Plato menetapkan bahwa letak Atlantis itu di Samudera Atlantik sekarang. Pada masanya, ia bersikukuh bahwa bumi ini datar dan dikelilingi oleh satu samudera (ocean) secara menyeluruh.

Ocean berasal dari kata Sanskrit ashayana yang berarti mengelilingi secara menyeluruh. Pendapat itu kemudian ditentang oleh ahli-ahli di kemudian hari seperti Copernicus, Galilei-Galileo, Einstein, dan Stephen Hawking.

Santos berbeda dengan Plato mengenai lokasi Atlantis. Ilmuwan Brazil itu berargumentasi, bahwa pada saat terjadinya letusan berbagai gunung berapi itu, menyebabkan lapisan es mencair dan mengalir ke samudera sehingga luasnya bertambah. Air dan lumpur berasal dari abu gunung berapi tersebut membebani samudera dan dasarnya, mengakibatkan tekanan luar biasa kepada kulit bumi di dasar samudera, terutama pada pantai benua. Tekanan ini mengakibatkan gempa. Gempa ini diperkuat lagi oleh gunung-gunung yang meletus kemudian secara beruntun dan menimbulkan gelombang tsunami yang dahsyat. Santos menamakannya Heinrich Events.

Dalam usaha mengemukakan pendapat mendasarkan kepada sejarah dunia, tampak Plato telah melakukan dua kekhilafan, pertama mengenai bentuk/posisi bumi yang katanya datar. Kedua, mengenai letak benua Atlantis yang katanya berada di Samudera Atlantik yang ditentang oleh Santos. Penelitian militer Amerika Serikat di wilayah Atlantik terbukti tidak berhasil menemukan bekas-bekas benua yang hilang itu. Oleh karena itu tidaklah semena-mena ada peribahasa yang berkata, "Amicus Plato, sed magis amica veritas." Artinya,"Saya senang kepada Plato tetapi saya lebih senang kepada kebenaran."

Namun, ada beberapa keadaan masa kini yang antara Plato dan Santos sependapat. Yakni pertama, bahwa lokasi benua yang tenggelam itu adalah Atlantis dan oleh Santos dipastikan sebagai wilayah Republik Indonesia. Kedua, jumlah atau panjangnya mata rantai gunung berapi di Indonesia. Di antaranya ialah Kerinci, Talang, Krakatoa, Malabar, Galunggung, Pangrango, Merapi, Merbabu, Semeru, Bromo, Agung, Rinjani. Sebagian dari gunung itu telah atau sedang aktif kembali.

Ketiga, soal semburan lumpur akibat letusan gunung berapi yang abunya tercampur air laut menjadi lumpur. Endapan lumpur di laut ini kemudian meresap ke dalam tanah di daratan. Lumpur panas ini tercampur dengan gas-gas alam yang merupakan impossible barrier of mud (hambatan lumpur yang tidak bisa dilalui), atau in navigable (tidak dapat dilalui), tidak bisa ditembus atau dimasuki. Dalam kasus di Sidoarjo, pernah dilakukan remote sensing, penginderaan jauh, yang menunjukkan adanya sistim kanalisasi di wilayah tersebut. Ada kemungkinan kanalisasi itu bekas penyaluran semburan lumpur panas dari masa yang lampau.

Bahwa Indonesia adalah wilayah yang dianggap sebagai ahli waris Atlantis, tentu harus membuat kita bersyukur. Membuat kita tidak rendah diri di dalam pergaulan internasional, sebab Atlantis pada masanya ialah pusat peradaban dunia. Namun sebagai wilayah yang rawan bencana, sebagaimana telah dialami oleh Atlantis itu, sudah saatnya kita belajar dari sejarah dan memanfaatkan perkembangan ilmu pengetahuan mutakhir untuk dapat mengatasinya.***

Penulis, Direktur Kehormatan International Institute of Space Law (IISL), Paris-Prancis

Sumber : Pikiran Rakyat