27 Desember 2007

Otda Tergerus Inkonsistensi Pusat

Oleh Eko Prasojo

Sejak diimplementasikan pada 2001, UU No 22/1999 tentang Pemerintahan Daerah memberikan warna baru bagi kehidupan masyarakat. Demikian radikalnya, UU tersebut tidak hanya memberikan otonomi yang amat luas, tetapi juga mengagetkan elite lokal dan masyarakat untuk menyelenggarakannya.

Dengan berbagai macam problematikanya, UU tersebut direvisi pada 2004 melalui UU No 32/2004. Apa dan bagaimana tujuh tahun hasil otonomi daerah tersebut, berikut deskripsinya.

Tujuh tahun penyelenggaraan otonomi daerah (otda) direfleksikan oleh banyaknya inkonsistensi pemerintah pusat. Hal itu mengindikasikan belum siapnya pemerintah pusat untuk mengubah paradigma pemerintahan yang sentralistik ke arah pemerintahan yang desentralistik.

Inkonsistensi pemerintah pusat terjadi secara vertikal dan horizontal. Secara vertikal, inkonsistensi tersebut dicerminkan berbagai produk peraturan perundang-undangan yang tidak harmonis dan tidak sinkron. Sering ketentuan pengaturan dalam peraturan pemerintah mereduksi isi UU tentang Pemerintahan Daerah.

Hal itu, misalnya, terjadi dalam pengaturan PP 25/2000 tentang Pembagian Wewenang yang sangat jelas mereduksi kewenangan yang dimiliki pemerintahan daerah berdasar UU 22/2007. Demikian juga, pengambilalihan kembali bidang pertanahan yang sudah diserahkan UU 22/2007 kepada pemerintah daerah.

Pada sisi lain, berbagai macam peraturan perundang-undangan sering mengalami perubahan yang sangat cepat dan tidak memperhatikan kemampuan daerah untuk mengimplementasikannya.

Inkonsistensi secara horizontal bisa dilihat dari tidak harmonisnya ketentuan peraturan perundang-undangan antarsatu sektor dengan sektor lain. Bahkan, sebagian aparatur penyelenggara negara di Kementerian dan Lembaga Pemerintah Nondepartemen masih memiliki paradigma dan pemikiran yang sentralistik.

Hal itu, misalnya, direfleksikan dengan semakin banyaknya Unit Pelaksana Teknis (UPT), balai-balai, dan kantor-kantor regional dari Kementerian dan Lembaga Pemerintah Nondepartemen di daerah. Tujuan didirikannya berbagai lembaga teknis pusat di daerah merupakan kegamangan dan ketidakrelaan sektor di pusat terhadap kewenangan yang sudah diserahkan kepada pemerintah daerah.

Tetapi, harus diakui, ketiadaan perangkat dekonsentrasi di tingkat kabupaten/kota menyebabkan sulitnya koordinasi antara pemerintah pusat dan pemerintah daerah. Gubernur sebagai wakil pemerintah pusat di daerah tidak memiliki perangkat dekonsentrasi untuk menjalankan peran dan fungsinya tersebut.

Kedua hal itu -ketidakrelaan sektor di pusat terhadap kewenangan yang diserahkan kepada daerah dan ketiadaan perangkat dekonsentrasi- telah menyebabkan berbagai inkonsistensi dalam praktik penyelenggaraan otonomi daerah.

Dari perspektif daerah, otonomi diwarnai inkompetensi (ketidakmampuan) pemerintah daerah untuk menyelenggarakan urusan yang telah diserahkan. Banyaknya urusan yang diserahkan tidak diikuti dengan kemampuan sumber daya manusia (SDM) yang memadai.

Hal tersebut juga dipersulit dengan munculnya semangat putra daerah sehingga di sejumlah daerah terjadi overstaff (kelebihan pegawai), sedangkan di daerah-daerah lain terjadi understaff (kekurangan pegawai).

Pada awal-awal reformasi otonomi daerah, semangat kedaerahan itu sangat mengganggu mobilitas SDM antarsatu daerah dengan daerah lain sehingga otonomi daerah tidak dimaknai sebagai kewajiban untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat, tetapi lebih dalam kerangka penguatan ekslusivisme politik kedaerahan. Tentu tujuannya ialah mobilisasi politik.

Besar Pasak daripada Tiang

Selama 2001-2007 terbentuk 167 daerah otonom baru (Depdagri; November 2007). Pemekaran daerah menjadi simbol otda karena dengan pemekaran akan muncul kewenangan baru, jabatan-jabatan baru, DAU baru, dana perimbangan baru, dana dekonsentrasi baru, dan hal-hal lain sebagai konsekuensinya.

Pemekaran memang tidak boleh diharamkan, tetapi pemekaran yang tidak tepat menyebabkan inefisiensi penggunaan keuangan negara. Sebab, bagaimanapun, kekuatan keuangan negara untuk membiayai penyelenggaraan pemerintah memiliki keterbatasan.

Problem pemekaran terjadi karena kepentingan politik elite lebih menonjol daripada kepentingan kesejahteraan masyarakat. Secara politis, pemekaran juga diartikan sebagai "pembukaan" lapangan pekerjaan politik menjadi anggota DPRD dan lapangan jabatan baru lain yang muncul sebagai konsekuensi terbentuknya daerah otonom.

Pemekaran juga sekaligus membuat konfigurasi baru kekuatan partai politik di daerah yang dimekarkan yang bisa saja berbeda dengan daerah induknya. Terkait dengan implementasi kebijakan PP 129/2000, bisa dikatakan bahwa persetujuan politik pemekaran daerah sering berada "dalam ruang gelap". Ukuran persetujuan lebih sering dilakukan secara administratif oleh tim konsultan, sedangkan Dewan Pertimbangan Otonomi Daerah tidak berdaya untuk menolak pemekaran.

Persetujuan terhadap pemekaran juga sering tidak memberikan tempat yang luas untuk menganalisis apakah daerah benar-benar bisa dimekarkan atau tidak. Jika tidak terjadi komitmen politik untuk melakukan moratorium (penghentian sementara) sampai dilakukannya evaluasi menyeluruh terhadap daerah yang sudah dimekarkan, PP 78/2007 sebagai pengganti PP 129 Tahun 2000 tidak bisa efektif untuk mengerem laju tuntutan pemekaran daerah.

Terkait dengan pemekaran daerah adalah pengisian jabatan kepala daerah melalui pemilihan langsung (pilkadasung). Tujuan pilkadasung ialah meningkatkan partisipasi politik masyarakat untuk memilih secara langsung kepala daerahnya.

Partisipasi politik masyarakat itu harus dibayar mahal melalui APBD. Hal tersebut belum termasuk biaya-biaya tranksaksi ekonomi politik yang terjadi dalam proses dukung-mendukung pencalonan seorang kepala daerah dan harus dikembalikan melalui "arisan tender" dalam pengadaan barang dan jasa. Otonomi daerah pasca pemilihan langsung kepala daerah diwarnai tensi politik yang jauh lebih besar daripada tensi pelayanan publik. Birokrasi lokal menjadi tidak stabil karena dominasi intervensi politik dalam pengisian jabatan-jabatan kepala dinas, badan, dan kantor.

Best Practices Otda

Di beberapa daerah, otda memberikan wajah yang menggembirakan. Kewenangan yang diserahkan ke daerah telah mampu meningkatkan kualitas pelayanan publik dan indeks pembangunan manusia.

Pemerintah daerah yang mampu meningkatkan kesejahteraan masyarakatnya selalu ditandai kemauan politik dan kemampuan manajerial kepala daerah. Meski jumlahnya tidak terlalu banyak (misalnya, Lamongan, Sragen, Tarakan, Kebumen, Jembrana, Solok), hal itu bisa menjadi bukti bahwa otonomi daerah yang disertai dengan komitmen politik tinggi dari kepala daerah dan dukungan politik dari DPRD akan menjadi instrumen untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat.

Praktik otda yang menggembirakan tersebut harus menjadi perhatian seluruh stakeholders kehidupan bernegara bahwa penyelenggaraan otda yang bertanggung jawab, konsistensi pemerintah pusat termasuk DPR, dan kemampuan masyarakat untuk mengontrol pelaksanaan otonomi daerah akan menjadi kunci keberhasilan otda.

Keseimbangan antara sentralisasi dan desentralisasi akan mempertahankan keutuhan NKRI. Menjadi PR bagi kita agar corak pemerintahan yang desentralistik itu harus meningkatkan demokrasi dan kesejahteraan, bukan menjadi pemuas kepentingan elite belaka.

Prof Dr Eko Prasojo, guru besar FISIP UI, anggota Dewan Pertimbangan Otonomi Daerah (DPOD)

Sumber : Jawa Pos

23 Desember 2007

Anomali Sarimin Noda Hitam Penegak Hukum

Oleh Hotman M. Siahaan

Raja monolog Butet Kartaredjasa dengan lakon Pengakuan Sarimin-nya sempat diancam akan dicekal oleh kepolisian Surabaya. Meski tak menjadi kenyataan, ancaman itu merupakan noda hitam penegak hukum terhadap wajah kesenian yang patut diberi catatan buruk pada akhir 2007. Inilah cacatan Hotman M. Siahaan.
———

Butet Kartaredjasa, sang raja monolog itu, kembali mengguncang Surabaya dalam dua malam pementasannya, 14-15 Desember 2007, dengan penonton membeludak lewat lakon Pengakuan Sarimin. Melalui Sarimin, si tandak bedhes, Butet mengoyak kenyataan betapa kejamnya hukum bagi keluguan rakyat, nurani kejujuran, bahkan nilai kemanusiaan.

Sarimin adalah representasi wong cilik yang masih punya nurani kejujuran, percaya pada kebenaran, dan mengagungkan hukum. Nasibnya menemukan KTP seorang hakim agung yang tercecer di lokalisasi, yang bagi orang kebanyakan mungkin suatu ketidakpedulian. Namun, bagi Sarimin sebaliknya, dengan kepeduliannya, dia hendak melaporkan dan menyerahkan KTP tersebut ke kantor polisi.

Tapi, itulah awal bencana nasibnya yang malang, dilindas purbasangka aparatur hukum, digencet mesin keadilan dan kebenaran yang bernama hukum, dan Sarimin tergilas tanpa sisa.

Lewat Sarimin, Butet mencabik-cabik jubah keadilan dan kebenaran serta mempertontonkannya sebagai borok yang busuk. Inilah konstruksi, hukum yang anomali, yang di dalamnya kepedulian adalah bencana, keluguan adalah prahara, dan kebenaran adalah kesalahan.

Bahkan, kebenaran Sarimin itu merupakan satu-satunya kesalahannya. Sebagai wong cilik, yang hidupnya melata di jalanan berdebu dengan segala kepapaan, di batin Sarimin masih tersisa sebongkah kepedulian sosial, kejujuran manusiawi.

Tapi, di negeri dengan hukum yang anomali, ternyata kejujuran, kepedulian, dan keluguan yang paling manusiawi sekalipun hanyalah bencana, angkara murka, justru ketika Sarimin masih memercayai hukum dan aparaturnya.

Butet "Sarimin" Kartaredjasa, lewat kepiawaian monolognya yang tak tertandingi, menyodorkan anomali hukum secara telanjang tanpa tedeng aling-aling. Inilah kisah betapa rakyat yang lugu, punya kepedulian, namun dipurbasangkai sebagai maling, sebagai pemeras.

Konstruksi aparatur hukum terhadap rakyat jelata ternyata bukanlah konstruksi sebagai empati atas keluguan dan kejujuruan rakyat, tapi justru konstruksi sebagai maling dan pemeras. Dan konstruksi itulah yang dipaksakan terhadap Sarimin, bukan saja oleh aparat suatu institusi hukum yang telah membuat Sarimin teronggok-onggok menunggu puluhan tahun, tapi juga oleh pengacaranya yang atas nama keadilan dan demi penyelamatan Sarimin memaksanya untuk mengakui kebenarannya sebagai kesalahan. Sempurnalah anomali itu.

Sarimin merupakan cermin rakyat yang tidak berdaya, mengalami keterasingan, alienated, justru karena kepercayaannya kepada hukum dan aparatnya. Dia terjerembap ketika disodori solusi yang sungguh tidak dinyana, yang makin membuat dirinya sebagai makhluk yang terjerembap dalam keterasingan. Bukan hanya ditawari melakukan suap, tapi juga mengakui kesalahan atas kebenarannya. Apa salah saya? Kata Sarimin menggerung menembus batas segala nurani kebenaran.

Kesalahanmu satu-satunya adalah karena kau benar. Itulah jawaban bagi Sarimin. Dan pernyataan itu justru dilontarkan oleh sang pengacara, yang seharusnya melakukan pembelaan kepada Sarimin.

Kalau kebenaran adalah kesalahan, hukum macam apa pula yang masih dipercaya di negeri ini? Kalau seorang rakyat miskin yang punya kepedulian sosial dan masih memiliki secuil kepercayaan kepada aparat penegak hukum, namun tiba-tiba dilindas hukum itu, ditawari solusi oleh aparat untuk melakukan penyuapan sejumlah uang yang tidak mungkin bisa dipenuhi demi kebebasannya, dipaksa pengacara untuk mengakui kesalahan demi keringanan hukuman, keadilan macam apa pula yang masih dipercaya oleh rakyat semacam Sarimin kepada hukum yang konon menjadi pilar utama bagi keadilan dan kebenaran?

Butet "Sarimin" Kartaredjasa telah mencabik-cabik realitas yang selama ini juga dimaklumi orang. Sarimin mempertontonkan kepada kita tampang yang sesungguhnya mengenai realitas hukum beserta seluruh aparatur penegaknya. Bukan hanya polisi, pengacara sekalipun dibelejeti di hadapan kita dan masya Allah… kita tidak bisa mengingkari kenyataan yang disodorkan Sarimin itu.

Penonton Sarimin riuh rendah tertawa terpingkal-pingkal, meski sesungguhnya kegetiran yang disodorkan, sekaligus kepiluan betapa wajah hukum dan aparatur hukum di negeri ini mencapai kesempurnaan anomali.

Sarimin mengalami anomie yang amat dalam. Apa yang dia yakini sebagai kebenaran ternyata di mata hukum adalah kesalahan. Untuk itu, dia harus menanggung akibatnya yang tak terperikan. Masuk bui. Sarimin mengalami alienasi ketika kepedulian sosialnya justru menjadi bencana bagi dirinya.

Secara tuntas, realitas itu disodorkan Butet kepada kita, lewat kepiawaian monolognya yang tiada tara. Sekali lagi, Butet, lewat Sarimin, makin mengukuhkan konstruksi kita tentang hukum di negeri ini, bahkan aparatur penegak hukum, apakah polisi maupun pengacara, yang ternyata hidup dalam rimba raya, siapa yang kuat dialah yang menang.

Seonggok kotoran dilemparkan Sarimin ke tampang hukum di negeri ini. Dan itulah kenyataannya. Tinggal kita menyikapi wajah penuh kotoran tersebut, mengakui ataukah tidak. Di tengah komitmen menegakkan hukum sebagai upaya memberikan keadilan bagi rakyat dan kaum tertindas, di tengah marginalisasi yang melanda rakyat yang terasing dan tidak berdaya, kita menyaksikan para petinggi dan aparatur penegak hukum yang piawai menggunakan hukum, meski tanpa rasa keadilan sekalipun.

Sarimin memang tidak paham bahwa tugas polisi amat banyak dan kesibukannya seabrek, sehingga tidak punya waktu untuk meladeni kepedulian sosialnya. Ketika aparat berpaling pada Sarimin, bukan keluguan Sarimin yang dihargai, tapi konstruksi kejahatan yang dijejalkan kepada Sarimin.

Kalau kebenaran adalah kesalahan, kalau kejujuran dan keluguan adalah bencana, kita menjadi amat maklum kalau pembalak hutan bisa bebas demi hukum. Kita juga maklum kalau pengemplang pajak bisa menumpuk kekayaan. Kita juga maklum kalau orang yang disodori kenyataan hukum yang dipahami Sarimin menjadi marah kepada Butet "Sarimin" Kartaredjasa. Apalagi karena Sarimin cuma seorang tandak bedhes. Bukankah ada peribahasa monyet buruk rupa cermin dibelah?

Prof Dr Hotman M. Siahaan, guru besar FISIP Unair, Surabaya

Sumber : Jawa Pos dotcom

05 Desember 2007

Melayu; dari Kulturalisasi ke Politisasi

Oleh Sam Abede Pareno

Aneh dan menjengkelkan, sudah jelas berembel-embel "Ponorogo", reog diklaim pemerintah Malaysia sebagai kesenian Malaysia. Boleh jadi, soto Madura, pempek Palembang, dan gudeg Jogja yang juga beredar di negeri tersebut dipatenkan oleh negara yang merdeka dari tangan Inggris pada 31 Agustus 1957 itu sebagaimana juga telah mematenkan batik.

Entah apa yang mendorong Malaysia melakukan klaim dan patenisasi tersebut. Apakah ingin menunjukkan bahwa negara tetangga itu lebih memiliki keragaman budaya daripada Indonesia? Ataukah khawatir dianggap tidak punya kebudayaan "asli"?

Dalam konteks kebudayaan, seharusnya tidak perlu klaim dan patenisasi. Pemerintah Malaysia tentu mafhum, kulturalisasi antara bangsa-bangsa yang dikenal sebagai "Melayu-Polinesia" sudah berlangsung ratusan tahun. Selama itu pula tidak ada klaim, lebih-lebih patenisasi. Ratusan tahun silam, Indonesia, Malaya, Temasek (Singapura), Filipina, Thailand, Burma (Myanmar), Vietnam, Kambodia, sampai Madagaskar dan Hawaii dikenal sebagai bangsa serumpun Melayu-Polinesia.

Melayu Raya

Bahkan, dahulu para tokoh, intelektual, dan pejuang dari negeri-negeri itu mencanangkan satu negara bernama "Melayu Raya". Pada 1879, Parlemen Hawaii di Honolulu membahas kemungkinan penyatuan Dunia Melayu-Polinesia. Sepuluh tahun kemudian, Apolinario Mabini di Manila mengumumkan "Federation Malaya".

Pada 1932, tokoh mahasiswa University of Philippine bernama Wenceslao Q. Vinsons berorasi di kampusnya bahwa dirinya memimpikan kesatuan semua bangsa Melayu-Polinesia yang tergabung dalam Negara Melayu Raya. Vinsons meneruskan cita-cita pendahulunya, pencetus revolusi Filipina Jose Rizal (1861-1896) yang terkenal dengan novelnya Noli Me Tangere itu. Dalam tahun yang sama, pemuda Muhammad Yamin di Jakarta juga mengemukakan obsesinya tentang "Melayu Raya" atau "Indonesia Raya".

Gagasan "Melayu Raya" terungkap lagi ketika Indonesia-Filipina-Malaysia berencana mendirikan Maphilindo, singkatan dari Malaysia-Philipina-Indonesia di Manila pada 1963. Para presiden dari ketiga negara tersebut mengumumkan Deklarasi Manila yang menggabungkan negara mereka ke dalam Maphilindo.

Dalam pidato penutupan, Presiden Filipina Macapagal mengajak hadirin untuk mengenang kembali mimpi para nasionalis Filipina mulai Jose Rizal, Presiden Manuel Quezon, Wenceslao Vinzons, sampai Presiden Elpidio Quirino untuk menyatukan bangsa-bangsa Melayu. Macapagal menyebut Presiden Indonesia Soekarno dan Perdana Menteri Malaysia Tengku Abdul Rahman sebagai "two of the greatest sons of the Malay race".

Memudarnya Melayu Raya

Maphilindo tidak terwujud, justru berubah menjadi konfrontasi antara Indonesia dan Malaysia setelah Bung Karno mengumandangkan "Dwikora" yang pada pokoknya menyatakan bahwa Malaysia adalah proyek imperialis oleh karena itu harus di-ganyang. Apa alasan sesungguhnya di balik konfrontasi tersebut, masih merupakan misteri. Sebab, bersamaan dengan itu, kalangan TNI-AD di antaranya Ali Moertopo mengupayakan dihentikannya konfrontasi dengan Malaysia. Hubungan dua negara tetangga ini pada gilirannya mencair kembali.

Dampak konfrontasi yang dicanangkan Bung Karno itu ialah memudarnya cita-cita Melayu Raya, bahkan sudah tidak ada lagi tokoh-tokoh Indonesia, Malaysia, Filipina, Thailand, Singapura, Myanmar, Vietnam, Kambodia, dan Madagaskar yang mengungkit-ungkit sentimen Melayu. Masing-masing sibuk dengan persoalan negara dan masyarakat masing-masing.

Khusus bagi pemerintah dan rakyat Indonesia, boleh dikatakan nyaris melupakan ke-Melayu-annya karena sedang berproses menjadi Indonesia. Meskipun mayoritas secara kultural rakyat Indonesia tergolong ras Melayu-Polenesia. Hanya Papua yang mayoritas ras Melanesia, sedangkan Maluku dan pulau-pulau di Nusa Tenggara masih banyak yang Melayu kendati sudah meninggalkan ke-Melayu-annya.

Pewaris Melayu

Begitu Indonesia, begitu pula Filipina, Singapura, Thailand, Kambodia, Burma, Hawaii, dan Madagaskar. Terbentuknya Malaysia pada 1963 -sebelumnya mulai 1957 bernama Persekutuan Negara-Negara Melayu- membuat negeri tersebut menganggap diri sebagai pewaris sah kebudayaan Melayu. Nama "Malaysia" sudah lama digunakan tokoh dan pejuang yang mencita-citakan berdirinya Melayu Raya sehingga Malaysia merasa berhak atas Melayu.

Padahal, pada abad ke-7 Masehi, di Jambi (Indonesia) telah berdiri Kerajaan Melayu yang pada tahun 700 M ditaklukkan oleh Sriwijaya, namun bangkit kembali setelah Sriwijaya ambruk pada abad ke-12. Bahasa Melayu yang kemudian menjadi inti bahasa Indonesia dan bahasa resmi Malaysia bersumber di Riau (Indonesia). Siapa pewaris sejati Melayu?

Petinggi dan rakyat Malaysia bukan tidak memahami sejarah. Proses kulturalisasi di antara bangsa-bangsa Melayu telah melahirkan produk budaya mulai lagu, tari, kerajinan tangan, makanan, adat, dan sebagainya sama atau mirip di kawasan Melayu Raya, mulai Jawa sampai Madagaskar. Pemerintah dan rakyat Indonesia serta pemerintah dan rakyat lain tidak pernah mengklaim, apalagi mematenkan produk budaya tersebut. Indonesia tak mungkin mematenkan kacang China menjadi kacang Indonesia, barongsai menjadi kesenian Indonesia, jafin menjadi tari Indonesia, kendati sudah ratusan tahun hidup di Indonesia. Kita juga tak pernah menyoal klaim bahwa aktor dan penyanyi kondang P. Ramlee (1928-1973) yang lahir di Pulau Penang, Malaysia, itu orang Aceh -P di depan namanya itu adalah Puteh- karena memang tak perlu dipersoalkan. Banyak penyanyi keturunan Maluku yang tersohor di Belanda, kita pun tidak memasalahkannya, apalagi mengklaim dan mematenkannya.

Kulturalisasi jangan dipolitisasi. Biarlah reog, batik, serimpi, serampang dua belas, dan lain-lain itu menjadi milik kita yang pernah atau tetap disebut "Melayu". Biarlah pula wayang kulit dan wayang orang yang sudah berkembang di Malaysia, terutama di Johor Bahru, menjadi milik kita semua. Klaim dan patenisasi bukan ranah kebudayaan, melainkan domain politik. Jika Malaysia ingin menjadi pewaris Melayu, maka yang justru diwarisi dan dilestarikan ialah kebudayaan yang tumbuh dan berkembang di Indonesia, Singapura, Malaysia, Filipina, Thailand, Myanmar, Kambodia, Vietnam, Madagaskar, dan Hawaii. Ayo Cik!

Prof Dr H Sam Abede Pareno MM, budayawan, tinggal di Surabaya

Sumber : Jawa Pos dotcom

Proyeksi Politik Ekonomi 2008 (2-Habis)

Oleh Didik J. Rachbini

Digoyang Rivalitas Antarcapres
Pengalaman Indonesia menangani inflasi relatif bagus sehingga tidak pernah mengalami inflasi berat, seperti di Turki, Brazil, dan Peru. Tetapi, dengan kenaikan harga minyak sekarang, pemerintah dan BI akan menghadapi sesuatu yang tidak biasanya dalam hal pengendalian inflasi. Sasaran tersebut diperkirakan meleset sedikit jika kondisi terkendali dan akan lebih parah jika keadaan tidak bisa dikuasai pemerintah.

Suku bunga Sertifikat Bank Indonesia (SBI) tiga bulan 7-8 persen. Kaitan inflasi dengan suku bunga sangat erat karena dengan inflasi yang bisa ditekan di bawah 7 persen, tingkat suku bunga SBI juga tidak akan jauh berbeda dengan angka pencapaian sasaran inflasi tersebut. Pada saat ini, BI sudah mati-matian mempertahankan SBI tersebut karena dihadapkan pada faktor pendorong inflasi yang kuat.

Politik

Politik 2008 akan ditandai dinamika dan intensitas interaksi antarpartai politik yang semakin tinggi. Pada akhir 2007 saja, persaingan politik sudah relatif mengemuka dan terbuka yang ditandai oleh deklarasi tokoh-tokoh nasional dalam pencalonannya sebagai presiden.

Faktor politik yang ikut menentukan 2008 adalah faktor parlemen, yang merupakan parlemen transisi setelah reformasi 1998. Itu berarti, parlemen sekarang baru periode kedua dalam menjalankan politik demokrasi yang bebas.

Tetapi, faktor parlemen itu, tampaknya, cukup mengecewakan di hadapan rakyat, termasuk media massa, karena kiprah miringnya lebih banyak daripada kiprah positifnya.

Karena itu, dalam berbagai jajak pendapat, DPR tergolong lembaga yang tidak populer di mata rakyat. Memang ada masalah public relation yang tidak dijalankan kesekjenan. Tetapi, ada juga masalah karakter sangat mendasar yang menghambat fungsi-fungsi DPR sebenarnya. Parlemen masih perlu belajar lebih banyak untuk memenuhi tuntutan rakyat ketimbang mengurus kepentingan sendiri dan kelompoknya.

Namun, faktor penting yang akan berpengaruh pada 2008 ialah faktor presiden dan persiapan pemilihan presiden. Dari sisi rivalitas pemilihan presiden, akhir 2007 sudah mulai muncul rivalitas di pentas politik nasional. Jagat politik sudah ramai dengan penjajakan calon presiden, tetapi baru wacana, yang tentu tidak dapat dinafikan mengarah pada Pemilu 2009.

Faktor presiden ialah faktor penting yang akan menentukan ekonomi politik 2008. Kiprah dan kebijakan presiden pada 2008 akan menentukan apakah ekonomi berjalan di atas relnya dan politik bisa mendukung tercapainya cita-cita kesejahteraan rakyat. Sebagai contoh, bagaimana presiden menyiasati kenaikan harga minyak akan menentukan wajah ekonomi politik pada 2008.

Pertama, jika presiden hendak bertindak populis dengan tetap menahan harga minyak domestik seperti sekarang, APBN akan berat menahan subsidi. Bahkan, ada kemungkinan jebol karena jumlah subsidi sangat besar. Kemungkinan keadaan itu bisa terjadi karena tidak ada kebijakan-kebijakan yang berhasil dalam konversi energi dan produksi minyak dalam negeri tidak hanya tidak bisa dipertahankan, tetapi justru menurun dari tahun ke tahun.

Jika presiden memilih alternatif kebijakan kedua, tidak peduli dengan populisme tetapi mengambil jalan kebijakan yang rasional, dampak penyesuaian harga minyak akan menjalar pada kenaikan harga-harga. Itu berarti, ekonomi akan berhadapan pada tekanan, bahkan ancaman inflasi tinggi. Daya beli masyarakat akan menurun dan kemiskinan akan meningkat.

Sudah barang tentu, industri, dunia usaha, dan swasta akan menahan laju kenaikan produksinya. Yang dikorbankan tidak lain adalah tenaga kerja, baik penurunan upah atau PHK. Dalam kondisi ini, pengangguran akan semakin meningkat.

Jadi, politik dan ekonomi pada 2008 akan bertali-temali dan saling memengaruhi satu sama lain. Keadaannya tidak terlalu menguntungkan karena 2008 adalah tahun persiapan pemilu. Presiden akan bertindak hati-hati dalam kebijakan ekonomi, bahkan cenderung mengambil jalan yang tidak rasional. (habis) ***

Didik J. Rachbini, ekonom dan anggota DPR

Sumber : Jawa Pos dotcom