20 Februari 2008

Pemerintah di Persimpangan Jalan

Oleh Ahmad Erani Yustika

Pemerintah akhirnya merevisi target kinerja ekonomi 2008. Pertama, pertumbuhan ekonomi diturunkan dari semula 6,8 persen menjadi 6,4 persen. Revisi itu juga termasuk asumsi makroekonomi lain. Misalnya, inflasi diubah menjadi 6,5 persen (semula 6,0 persen), nilai tukar rupiah dari Rp 9.100 menjadi Rp 9.150/dolar AS, dan suku bunga SBI (Sertifikat Bank Indonesia) tetap pada angka 7,5 persen.

Kedua, harga minyak dipatok menjadi 83 dolar/barel (semula 60 dolar AS/barel) dan produksi minyak diturunkan dari 1,034 juta barel/hari menjadi 910 ribu barel/hari. Ketiga, pendapatan negara dinaikkan dari Rp 781,4 triliun menjadi Rp 839 triliun.

Dengan paralel itu, belanja negara juga meningkat dari Rp 854,6 triliun menjadi Rp 926 triliun. Hal itu membuat defisit APBN membengkak menjadi 2 persen (sekitar Rp 87 triliun dari semula Rp 73,3 triliun). Dengan portofolio perekonomian seperti itu, kira-kira bagaimana dampaknya terhadap perekonomian nasional?

Rasionalisasi Asumsi

Apresiasi pertama yang harus diberikan kepada pemerintah adalah kemauannya untuk merevisi target-target kinerja ekonomi, walau dalam beberapa aspek masih menunjukkan optimisme yang berlebihan. Target pertumbuhan ekonomi dan inflasi sudah lumayan realistis, namun masih melebihi ekspektasi yang diperkirakan oleh lembaga-lembaga kajian nasional maupun internasional (seperti IMF dan Bank Dunia).

Pertumbuhan ekonomi, akibat resesi yang terjadi di AS dan kenaikan harga minyak internasional yang sulit dikendalikan, tampaknya pada 2008 akan berada di kisaran 6,3 dengan. Bila pemerintah bisa mencapai angka tersebut, itu sudah merupakan prestasi yang bagus. Untuk inflasi, pemerintah harus meningkatkan pada kisaran 6,7-6,8 persen.

Selain dipicu kenaikan harga minyak, tingginya inflasi tersebut disebabkan krisis pangan yang belum bisa diantisipasi secara baik oleh pemerintah hingga kini.

Asumsi harga minyak sebesar 83 dolar AS/barel merupakan target yang realistis karena angka di bawah itu hampir tidak mungkin terjadi. Sebetulnya untuk kasus tersebut, pemerintah harus berani mendesain skenario yang lebih buruk dengan mematok angka 90 dolar AS/barel.

Pertimbangannya, bila tiba-tiba harga minyak rata-rata sepanjang 2008 berada di kisaran angka tersebut, pemerintah lebih siap untuk mengambil kebijakan antisipatif. Hal itu penting direncanakan mengingat setiap kenaikan harga minyak sebesar 1 dolar AS, maka subsidi BBM naik Rp 3,1 triliun dan subsidi listrik meningkat Rp 660 miliar.

Persoalan lain yang agak pelik adalah kemampuan pemerintah untuk menggenjot produksi minyak menjadi 910 ribu barel/hari. Target itu tidak mudah diperoleh mengingat hingga kini justru terdapat tendensi penurunan produksi dan realisasi peningkatan produksi Blok Cepu juga belum menunjukkan tanda-tanda tercapai.

Defisit Fiskal

Setelah perekonomian mulai stabil sejak 2000, tahun ini tampaknya bakal terjadi defisit fiskal yang paling besar, yakni mencapai 2 persen. Dengan jumlah defisit sebesar itu (Rp 87 triliun), pemerintah dipastikan akan kesulitan mencari sumber pembiayaan untuk menutupinya. Salah satu yang dilakukan pemerintah adalah mengurangi belanja lembaga/kementerian masing-masing sebesar 15 persen.

Tetapi, langkah itu jelas bukan dimaksudkan untuk menutup defisit tersebut, namun sebatas menekan pendarahan fiskal yang bakal terjadi. Di luar itu, kebijakan tersebut juga akan mengurangi daya dorong pertumbuhan ekonomi yang berasal dari sisi fiskal (government expenditure).

Dalam situasi investasi dari sektor swasta yang masih lesu seperti saat ini, sebetulnya kesempatan hanya tinggal dari pengeluaran pemerintah. Dengan demikian, jika pemerintah benar-benar merealisasikan rencana penghematan itu, kebijakan tersebut akan mengurangi target pertumbuhan ekonomi nasional.

Salah satu skenario yang bakal diupayakan pemerintah untuk menutup defisit tersebut adalah menggenjot penjualan surat utang negara (SUN) dan privatisasi. Cara itu memang paling gampang dilakukan, tetapi dalam jangka panjang akan menjadi jebakan yang mematikan.

SUN memang tidak mengandaikan adanya kompromi kebijakan (dari asing), seperti yang terjadi dalam utang luar negeri. Tetapi, SUN memiliki kerangka waktu (jatuh tempo) yang lebih pendek dengan bunga yang tinggi (ketimbang utang luar negeri).

Implikasinya, beban perekonomian yang ditanggung pemerintah sangat berat. Untuk privatisasi, agenda itu sarat dengan kepentingan pihak asing sehingga dalam jangka panjang kedaulatan ekonomi nasional berada di persimpangan jalan. Pada 2008 ini pemerintah diperkirakan akan melego sekurangnya 20 BUMN, termasuk bank milik negara. Jika langkah itu terealisasi, perekonomian nasional berada dalam zona jeratan ekonomi asing.

Jadi, momentum yang seharusnya diambil pemerintah sekarang sudah benar-benar lenyap karena pemerintah berlari mengikuti situasi eksternal yang memang kurang menguntungkan.

Selama kurun waktu 3,5 tahun, pemerintah gagal menerapkan rencana induk perekonomian sebagai arah pembangunan sehingga setiap gangguan (eskternal maupun internal) seharusnya tidak akan mengganggu tujuan besar yang ingin dicapai.

Hasilnya, indikator paling fundamental perekonomian, semacam kemiskinan dan pengangguran, muskil berkurang hingga akhir tahun ini (bahkan sampai periode kekuasaan berakhir pada 2009).

Di sinilah persimpangan jalan itu terjadi. Usaha pemerintah untuk mengubah kebijakan nyaris tidak mungkin karena situasi ekternal yang menghimpit.

Sementara itu, apabila pemerintah mempertahankan kebijakan yang sudah dibuat, soal-soal ekonomi akan bertambah parah. Hari-hari ini dan mendatang, tampaknya kita akan mendapati pemerintah yang kian salah tingkah dalam menyusuri masa depan.

Ahmad Erani Yustika PhD, ketua Program Studi Magister Ilmu Ekonomi FE Unibraw dan senior economist pada Indef di Jakarta

Sumber : Jawa Posdotcom