23 Mei 2008

Gubernur, Wakil Pusat atau Kepala Daerah?

Oleh Sunyoto Usman

Dalam konteks otonomi daerah, gubernur (dan wakil gubernur) adalah kepala daerah untuk daerah provinsi, yang memiliki tugas dan wewenang memimpin penyelenggaraan daerah atas dasar kebijakan yang disusun dan ditetapkan bersama DPRD tingkat provinsi. Karena gubernur dipilih langsung oleh rakyat, gubernur bertanggung jawab kepada rakyat. Sebagai kepala daerah di tingkat provinsi, gubernur juga berkedudukan sebagai wakil pemerintah (pusat) di wilayah provinsi yang bersangkutan.

Karena itu, selain harus bertanggung jawab kepada rakyat, gubernur harus bertanggung jawab kepada presiden (sebagai kepala negara). Kendati begitu, gubernur bukanlah atasan bupati atau wali kota. Gubernur hanya membina, mengawasi, dan mengoordinasi penyelenggaraan pemerintahan daerah kabupaten/kota.

Karena gubernur wakil pemerintah (pusat) bukan atasan bupati atau wali kota, pernah berkembang pandangan bahwa gubernur tidak dipilih rakyat, tetapi ditunjuk presiden. Mereka bayangkan kedudukan gubernur mirip seperti menteri kabinet. Hanya perbedaannya, kalau menteri kabinet memimpin departemen atau kementerian, gubernur memimpin provinsi.

Wacana demikian menguat ketika di beberapa provinsi, pemilihan gubernur menyisakan konflik politik yang tidak hanya mengganggu penyelenggaraan pemerintahan, tetapi juga menciptakan keresahan berkepanjangan.

Pandangan tersebut menguat ketika semakin disadari bahwa kehidupan masyarakat (terutama lapisan menengah bawah) masih didera sindrom kemiskinan, kebodohan, dan gizi buruk. Karena itu, janganlah rakyat terus dibebani dengan konflik-konflik politik. Bagi mereka, rakyat kini sangat lelah menghadapi konflik-konflik politik yang terjadi bersamaan dengan pemilihan langsung anggota parlemen dan presiden/wakil presiden.

Pandangan semacam itu menarik untuk dipertimbangkan. Tetapi, sebenarnya tidak mudah dilaksanakan. Dari segi aspek legal, UU yang berlaku masih menetapkan bahwa gubernur/wakil gubernur dipilih langsung rakyat. Rakyat paling menentukan siapa yang mempunyai mandat menjadi kepala daerah untuk daerah provinsi, meski disadari peran penting yang disandangnya adalah wakil pemerintah (pusat) di wilayah provinsi yang bersangkutan.

Dengan demikian, jika ada usul agar gubernur dipilih presiden, peraturan perundangan tersebut harus diubah dulu. Kenyataannya, mengubah UU bukanlah perkara mudah, membutuhkan waktu lama, dana besar, dan mungkin juga perdebatan-perdebatan sengit.

Dari segi politik, gubernur adalah figur yang mempunyai posisi tawar politik yang cukup kuat. Benar memang, gubernur bukan atasan bupati atau wali kota. Peran gubernur juga hanya membina, mengawasi, dan mengoordinasi penyelenggaraan pemerintahan daerah kabupaten/kota. Tetapi, gubernur memiliki wewenang memimpin penyelenggaraan daerah atas dasar kebijakan yang disusun dan ditetapkan bersama DPRD provinsi.

DPRD provinsi lazim diisi politisi-politisi yang memiliki reputasi politik yang cukup baik di tingkat kabupaten/kota. Mereka adalah politisi-politisi yang cukup diperhitungkan dalam menyusun arah kebijakan partai-partai politik di tingkat kabupaten/kota.

Implikasinya adalah seorang gubernur -yang sedang memimpin penyelenggaraan pemerintah daerah atas dasar kebijakan yang disusun dan ditetapkan bersama DPRD provinsi- juga sedang memimpin penyelenggaraan daerah atas dasar sebagian besar keinginan politik para politisi di tingkat kabupaten/kota. Karena itu, wacana gubernur dipilih langsung oleh presiden mungkin sekali menghadapi resistensi dari para politisi di tingkat kabupaten/kota.

Dari segi kultural, dalam kehidupan masyarakat kita masih terpateri anggapan bahwa status dan peran gubernur lebih tinggi daripada bupati/wali kota. Selama bertahun-tahun (sampai dengan diundangkan UU 22/1999 dan 32/2004 tentang Otonomi Daerah), gubernur lebih memerankan diri sebagai atasan bupati/wali kota.

Peran tersebut menjadi kian kukuh ketika pemerintah Orde Baru mengembangkan sistem pemerintahan sentralistis dan mempraktikkan gaya otoriter dengan sempurna. Ketika itu tidak banyak bupati-wali kota yang berani melawan keinginan gubernur karena setiap perlawanan bisa dimaknai tidak loyal kepada pemerintah pusat.

Dengan demikian, pandangan gubernur dipilih langsung oleh presiden barangkali menghadapi mindset dalam masyarakat yang sudah telanjur menempatkan gubernur dalam posisi sentral di tingkat provinsi.

Pada prinsipnya, gubernur, bupati, dan wali kota adalah jabatan yang bersifat politis karena harus diusulkan partai politik dan bukan pegawai negeri. Dalam proses pilkada langsung, kandidat gubernur yang sedang menduduki jabatan di pemerintahan bisa mencuri start kampanye. Mereka bisa memanfaatkan fasilitas publik untuk kepentingan kekuatan politiknya.

Sedikitnya ada tiga hal yang bisa dilakukan untuk mencegah kecurangan tersebut. Pertama, lembaga-lembaga yang bertugas melakukan pengawasan fungsional (Irjen, Bawasda, kepolisian, dan lain-lain) harus memberikan sanksi tegas kepada kandidat yang menyalahgunakan wewenang.

Kedua, media massa, kalangan profesional, LSM, dan lembaga-lembaga sosial kemasyarakatan harus ikut mengawasi dan mengidentifikasi kegiatan-kegiatan pejabat publik itu agar tidak dipergunakan untuk kegiatan politik berselubung yang dirancang dan digerakkan untuk kepentingan kampanye.

Ketiga, petinggi politik harus melakukan sosialisasi kepada kadernya bahwa berbagai bentuk kecurangan yang dilakukan untuk kepentingan kampanye akan merugikan diri sendiri. Melukai demokratisasi yang mereka perjuangkan.

Rekonsiliasi

Seperti diungkapkan di awal tulisan ini bahwa pilkada langsung adalah kompetisi yang keras. Karena itu, mudah dipahami bila pasca pilkada langsung masyarakat bisa terkotak-kotak mengikuti afiliasi kekuatan politik yang berlaga. Kondisi demikian tentu tidak sehat dalam hidup bermasyarakat. Sedikitnya ada tiga hal yang bisa dikembangkan untuk mengatasi masalah tersebut.

Pertama, harus dilakukan pendidikan politik bahwa pilkada langsung adalah instrumen yang dipilih untuk melakukan demokratisasi. Implikasi instrumen itu, ada pihak yang kalah dan yang menang. Bagi pihak yang kalah, bukan berarti bahwa segalanya sudah berakhir. Mereka masih mempunyai kesempatan untuk memenangi kompetisi pada pilkada langsung yang akan datang.

Pihak yang menang harus disadarkan bahwa apa yang mereka capai baru langkah awal untuk melakukan pekerjaan. Kekuatan politik bisa "dihukum" rakyat bila ternyata kelak tidak mampu memenuhi janji-janji politik yang pernah disampaikannya pada kegiatan kampanye.

Kedua, perlu dilakukan kegiatan-kegiatan sosial dan budaya yang memungkinkan kekuatan-kekuatan politik yang berlaga dalam pilkada langsung melakukan afiliasi silang. Tokoh-tokoh informal mengambil peran strategis dalam menciptakan kegiatan semacam itu. Kegiatan-kegiatan sosial dan budaya tersebut dimaksudkan untuk mempertahankan dan memupuk kesadaran bahwa dimensi kehidupan masyarakat itu sangat luas, dalam arti tidak hanya untuk memenuhi kebutuhan politik, tetapi juga kebutuhan sosial, budaya, dan ekonomi.

Pilkada langsung adalah salah satu kegiatan saja, bukan satu-satunya kegiatan. Karena itu, janganlah makna hidup dan kehidupan ini menjadi rusak hanya karena pilkada langsung.

Last but not least, pemerintah baru yang kelak terpilih tidak boleh serakah dan mengembangkan kebijakan dan program yang diskriminatif. Pemerintah baru harus mampu menjadi teladan, bisa bekerja sama dengan siapa saja, kendati tidak harus kehilangan identitas. Pemerintah baru harus mampu memberi apreasi ide-ide cerdas yang mampu meningkatkan kesejahteraan daerah, kendati ide-ide tersebut datang dari kekuatan-kekuatan politik lain.

Prof Dr Sunyoto Usman, guru besar sosiologi UGM di Jogjakarta. (jawa pos dotcom)

01 Mei 2008

Wajibkah Presiden dan Wapres Incumbent Mundur?

Oleh Yusril Ihza Mahendra

Bismillah ar-Rahman ar-Rahim,

Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) kini sedang Rancangan Undang-Undang (RUU) tentang Pemilihan Umum Presiden dan Wakil Presiden untuk menggantikan Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2003. Dalam pembahasan RUU itu, kita menyimak usulan beberapa anggota DPR agar dalam Pemilu Presiden dan Wakil Presiden tahun 2009 yang akan datang, Presiden dan Wakil Presiden yang sedang menjabat (incumbent) diwajibkan untuk mundur dari jabatannya. Usulan ini didasarkan kepada ketentuan tentang pemilihan kepala daerah, yang mewajibkan pejabat incumbent untuk mundur dari jabatannya. Alasan pokok yang dikemukakan ialah, agar pemilihan Presiden dan Wakil Presiden itu berjalan dengan fair. Pasangan incumbent, atau salah satu dari mereka, yang maju ke pencalonan Presiden dan Wakil Presiden, dikhawatirkan akan menyalahgunakan jabatannya, baik fasilitas, finansial maupun pengaruh yang mereka miliki sebagai Presiden dan Wakil Presiden.

Usul di atas terlihat menarik ketika upaya memberantas penyalahgunaan jabatan memang telah menjadi keinginan bersama seluruh rakyat. Rakyat menginginkan agar Pemilihan Umum Presiden dan Wakil Presiden berjalan secara jujur, adil dan demokratis. Saya sendiri – sebagai bagian dari rakyat Indonesia secara keseluruhan – sependapat dengan keinginan itu. Apalagi, jika Allah Ta’ala mengabulkannya, saya memang telah berniat untuk maju dalam Pemilihan Presiden dan Wakil Presiden tahun 2009 nanti. Sebagai bakal calon yang memiliki kepentingan – dan kebetulan juga bukan sedang incumbent – saya juga berkeinginan agar pemilihan Presiden dan Wakil Presiden berjalan secara fair, jujur dan adil. Namun demikian, apakah saya setuju Wakil Presiden dan Wakil Presiden incumbent yang maju menjadi calon harus mengundurkan diri? Sebelum mengemukakan pendapat pribadi saya, saya ingin menganalisis permasalahan ini dari sudut hukum tata negara, dan implikasi-implikasinya bagi kehidupan bangsa dan negara.

Kalau kita membaca ketentuan konstitusi, maka jelas masalah di atas tidak diatur di dalam UUD 1945. Ketentuan Pasal 7 UUD 1945 mengatakan “Presiden dan Wakil Presiden memegang jabatan selama lima tahun, dan sesudahnya dapat dipilih kembali dalam jabatan yang sama, hanya untuk satu kali masa jabatan”. Ketika Presiden masih dipilih oleh MPR – seperti ketentuan UUD 1945 sebelum amandemen – maka rumusan pasal ini hampir tidak ada masalah. Presiden dan Wakil Presiden memegang jabatan selama lima tahun. Pada saat jabatannya itu habis, maka pada saat itu pula MPR bersidang untuk memilih Presiden dan Wakil Presiden yang baru. Mungkin saja Presiden dan Wakil Presiden yang sudah habis masa jabatannya itu terpilih kembali. Namun mereka terpilih kembali “sesudah” masa jabatan mereka itu berakhir. Apakah kata-kata “sesudahnya dapat dipilih kembali” mengisyaratkan bahwa Presiden dan Wakil Presiden yang sedang memegang jabatan, tidak dapat dipilih kembali, mengingat jabatannya belum selesai? Ataukah, pasal ini sebenarnya memberikan arah kepada pembuat undang-undang, agar Pemilihan Presiden dan Wakil Presiden dilaksanakan sesudah jabatan Presiden dan Wakil Presiden yang ada, telah selesai?

Kalau pemilihan Presiden dan Wakil Presiden dilakukan setelah jabatan Presiden dan Wakil Presiden berakhir, maka konsekuensinya tentu akan terjadi kekosongan kedua jabatan itu. Pejabat lama sudah habis masa jabatannya, sementara pejabat yang baru belum dipilih, apalagi dilantik. Belum ada aturan dan mekanisme yang mengatur jika hal ini terjadi, karena “triumvirat” Menteri Luar Negeri, Menteri Dalam Negeri dan Menteri Pertahanan yang oleh Pasal 8 ayat (3)UUD 1945 diberikan kewenangan untuk melaksanakan tugas-tugas kepresidenan juga telah berakhir masa jabatannya, bersamaan dengan berakhirnya jabatan Presiden. Negara tidak boleh berada dalam kekosongan pimpinan pemerintahan. Inilah yang nampaknya mendorong pembuat undang-undang – sebagaimana diatur dalam Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2003 – yang menentukan pemilihan Presiden dan Wakil Presiden sebelum jabatan mereka berakhir. Konsekuensi ketentuan ini adalah, kemungkinan besar terjadinya calon Presiden dan Wakil Presiden incumbent. Dari sini pulalah timbul gagasan agar mereka yang incumbent ini mengundurkan diri dari jabatannya.

Apa yang akan terjadi jika sekiranya Presiden dan Wakil Presiden Incumbent wajib mengundurkan diri? Seperti telah saya kemukakan di atas,Pasal 8 ayat (3) UUD 1945 menentukan bahwa Menlu, Mendagri dan Menhan secara bersama-sama bertindak sebagai “pelaksana tugas kepresidenan”. Mereka bertugas tidaklah lama, karena dalam waktu selambat-lambatnya tiga puluh hari, Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR) harus bersidang untuk memilih Presiden dan Wakil Presiden yang baru. Calon Presiden dan Wakil Presiden yang baru itu hanya dibolehkan dua pasangan saja. Kedua pasangan itu hanya boleh diajukan oleh partai politik atau gabungan partai politik yang “Presiden dan Wakil Presidennya meraih suara terbanyak pertama dan kedua dalam pemilihan umum sebelumnya”. Presiden dan Wakil Presiden yang baru inipun tidak akan lama menjalankan tugasnya, karena masa jabatan mereka akan berakhir bersamaan dengan berakhirnya masa jabatan Presiden dan Wakil Presiden yang mengundurkan diri karena mencalonkan diri menjadi Presiden dan Wakil Presiden tadi. Meskipun tidak lama, Presiden dan Wakil Presiden yang baru ini wajib membentuk kabinet dan mengangkat para menteri, sebagaimana diatur dalam Pasal 17 UUD 1945.

Seandainya apa yang digambarkan secara normatif di atas dilaksanakan dalam praktik, kemungkinan besar kita akan berhadapan dengan berbagai kerumitan dalam menyelenggarakan negara.Tanggal 14 Maret yang lalu, KPU telah mengumumkan jadual Pemilu 2009. Pemilu untuk DPR dan DPD akan dilaksanakan tanggal 5 April 2009. Pemilu Presiden dan Wakil Presiden tahap pertama akan dilaksanakan awal Juli 2009. Tahap kedua – jika ada tentunya — akan dilaksanakan pada pertengahan September 2009. Pelantikan anggota DPR dan DPD akan dilaksanakan pada tanggal 1 Oktober 2009. Pelantikan Presiden dan Wakil Presiden terpilih akan dilaksanakan tanggal 20 Oktober 2009. Demikianlah jadual Pemilu 2009 yang mudah-mudahan tidak terhambat dalam pelaksanaannya nanti.

Kalau jadual yang dikemukakan di atas, kita hubungkan dengan kewajiban Presiden dan Wakil Presiden Incumbent untuk mengundurkan diri, maka Presiden Susilo Bambany Yodhoyono dan Wakil Presiden Jusuf Kalla – dengan asumsi keduanya akan maju dalam Pilpres 2009 – maka mereka wajib mundur pada awal Juli 2009. Katakanlah misalnya tanggal 1 Juli. Terhitung tanggal 1 Juli itu, maka Hasan Wirayudha, Juwono Sudarsono dan Mardiyanto secara bersama-sama melaksanakan tugas kepresidenan. Selambat-lambatnya tanggal 30 Juli 2009, MPR sudah harus memilih Presiden dan Wakil Presiden yang baru. Partai politik yang hanya dibolehkan mengajukan calon Presiden dan Wakil Presiden ialah Partai Demokrat, Partai Bulan Bintang (PBB) dan Partai Keadilan dan Persatuan Indonesia (PKPI) secara bersama-sama. Sebab ketiga partai inilah yang mencalonkan SBY dan JK dan memperoleh suara terbanyak pertama dalam Pilpres 2004 yang lalu. Selain ketiga partai itu, PDIP juga dapat mengajukan calon, karena pasangan Megawati Sukarnoputri dan Kiyai Hasyim Muzadi yang mereka calonkan dalam Pilpres tahun 2004, berada pada posisi terbesar kedua.

Pasangan Presiden dan Wakil Presiden yang dipilih MPR ini akan menjalankan tugas sampai tanggal 20 Oktober 2009, saat berakhirnya masa jabatan Presiden SBY dan Wakil Presiden JK yang mereka gantikan. Dalam menjalankan tugas dan kewajibannya, Presiden dan Wakil Presiden baru ini mempunyai kewenangan, hak dan tanggungjawab yang sepenuhnya sama dengan Presiden dan Wakil Presiden sebagaimana diatur di dalam UUD 1945 dan semua peraturan perundang-undangan lainnya, walaupun mereka menjabat hanya dalam waktu kurang lebih tiga bulan saja. Dalam menjalankan tugas dan kewajibannya, mereka juga harus membentuk kabinet baru untuk menjalankan tugas-tugas pemerintahan negara dalam waktu tiga bulan itu. Mereka dapat melaksanakan semua tugas-tugas kenegaraan, karena legitimasi konstitusional yang mereka miliki adalah kuat dan sah. Kalau gagasan agar Presiden dan Wakil Presiden incumbent wajib mundur, maka peristiwa ketatanegaraan seperti ini akan terulang hampir setiap lima tahun.

Kecuali tentunya, jika ada pasangan Presiden dan Wakil Presiden yang sudah memegang jabatannya selama dua periode. Atau, kedua pasangan yang tidak ingin maju dalam pemilihan berikutnya setelah menyelesaikan satu periode jabatan. Bisa pula terjadi hal yang lain, kedua pasangan telah memegang jabatan dua periode, namun Wakil Presiden akan maju sebagai calon Presiden. Maka, Wakil Presiden ini wajib mundur pula. MPR harus menyelenggarakan sidang memilih Wakil Presiden yang baru paling lambat enampuluh hari, sebagaimana diatur dalam Pasal 8 ayat (3) UUD 1945. Bahkan kita bisa pula berandai-andai, bagaimana kalau Presiden dan Wakil Presiden yang telah memegang jabatan dua periode, bolehkah mereka maju dengan bertukar posisi, Wakil Presiden maju sebagai Presiden, dan Presiden maju sebagai Wakilnya? Secara hukum, hal itu mungkin saja terjadi dan posisi mereka tetap pula digolongkan sebagai incumbent.

Kalau seandainya DPR dan Presiden sama-sama sepakat mewajibkan Presiden dan Wakil Presiden incumbent mundur dalam pembahasan RUU Pemilihan Umum Presiden sekarang ini, maka semua ketentuan yang telah saya kemukakan di atas harus berlaku. DPR dan DPD juga harus bersiap-siap menyelenggarakan Pemilihan Presiden dan Wakil Presiden selambat-lambatnya tanggal 30 Juli 2009. Secara politik, legitimasi mereka sebenarnya sudah mulai melemah, sebab Pemilu DPR dan DPD sudah dilaksanakan pada tanggal 5 April. Hasilnya mungkin sudah diumumkan. Sebagian mereka mungkin masih terpilih, sebagiannya lagi tidak. Sementara legitimasi politik Presiden dan Wakil Presiden yang terpilih tanggal 30 Juli 2009 itu, mungkin akan lemah pula. Pertama, mereka bukan dipilih langsung oleh rakyat. Kedua, masa jabatan mereka hanya kurang dari tiga bulan. Rakyat akan melihat mereka sebagai Presiden dan Wakil Presiden transisi saja.

Kalau kita mengkaji perbandingan konstitusi, adanya pengaturan khusus keberadaan Presiden dan Wakil Presiden, kedua-duanya wafat secara bersamaan atau berhenti/diberhentikan secara bersamaan, sebenarnya dimaksudkan untuk mengatasi keadaan yang darurat. Keadaan seperti itu memang jarang terjadi, bahkan tidak pernah terjadi di negara mana saja selama seratus tahun terakhir ini. Kalau Presiden wafat atau berhenti/diberhentikan, maka Wakil Presiden otomatis akan dilantik menjadi Presiden. Untuk mengatasi keadaan darurat, ketika Presiden dan Wakil Presiden wafat atau berhenti/diberhentikan secara bersamaan itulah, maka UUD 1945 hasil amandemen mengatur keberadaan “triumvirat” seperti telah saya kemukakan di atas. Ketentuan seperti itu, mulanya diatur di dalam Ketetapan MPR Nomor VII/MPR/1973.

Berbagai negara yang menganut sistem pemerintahan presidensial juga tidak mengatur kewajiban Presiden dan Wakil Presiden incumbent untuk mengundurkan diri. UUD 1945 hasil amandemen juga tidak mengatur hal demikian. Kewajiban bagi mereka untuk mengundurkan diri, akan menciptakan suatu kedaan darurat yang disengaja. Presiden dan Wakil Presidennya mungkin saja tidak ingin masih hidup dan mereka tidak ingin mengundurkan diri. MPR juga tidak melakukan “impeachment” terhadap mereka sehingga mereka diberhentikan dari jabatannya. Mereka “terpaksa” mundur karena undang-undang mewajibkan mereka mundur, karena mereka maju mencadi calon incumbent. Kalau gagasan Presiden dan Wakil Presiden incumbent mundur, maka keadaan darurat adalah sesuatu yang dengan sengaja diciptakan. Praktek ketatanegaraan akan terlihat tidak normal. Aturan mengatasi keadaan darurat sengaja dirancang untuk menghadapi situasi yang darurat. Situasi darurat lazimnya terjadi karena ada suatu peristiwa yang terjadi di luar dugaan dan perkiraan. Keadaan darurat yang sengaja diciptakan, akan terlihat sebagai suatu yang tidak lazim.

Selain tidak lazim, mewajibkan Presiden dan Wakil Presiden incumbent untuk mundur, juga menimbulkan konsekuensi kerumitan praktek penyelenggaraan negara, dengan segala implikasinya ke bidang politik, sosial dan ekonomi. Triumvirat yang melaksanakan tugas kepresidenan selama maksimum tiga puluh hari, tanpa adanya Presiden dan Wakil Presiden, juga belum pernah terjadi dalam praktik. Wakil Presiden memang menjadi pelaksana tugas kepresidenan dalam hal Presiden berada di luar negeri. Namun, Wakil Presiden tidak dapat mengambil keputusan-keputusan yang fundamental, tanpa persetujuan Presiden. Wakil Presiden juga tidak dapat menanda-tangani surat-surat keputusan atas nama dirinya sendiri, melainkan dilakukan oleh Wakil Presiden “sebagai pelaksana tugas kepresidenan”. Surat Keputusan itupun namanya tetap Keputusan Presiden, bukan Keputusan Wakil Presiden. Kalau triumvirat melaksanakan tugas kepresidenan, apakah itu berarti segala kewenangan, hak dan kewajiban Presiden ada pada mereka? Kepada siapa mereka bertanggungjawab dalam melaksanakan tugas kepresidenan selama tiga puluh hari itu? Belum ada aturan mengenai hal ini. Pengalaman dari praktik juga belum ada.

Kita dapat pula membayangkan jika terjadi hal-hal yang darurat, seperti perang akibat serbuan negara lain, atau kerusuhan atau pemberontakan terjadi dalam waktu tiga puluh hari itu. Dapatkah triumvirat menyatakan perang dengan perseetujuan DPR? Dapatkah ketiga triumvirat itu menyatakan keadaan darurat sipil atau militer? Apa yang akan terjadi sesudah itu? Dalam keadaan darurat mereka dapat saja menunda Pemilihan Presiden oleh MPR dan menunda penyelenggaraan Pemilu Presiden dan Wakil Presiden. Melihat keadaan sekarang, hal itu memang kecil kemungkinannya akan terjadi. Namun, kita harus mengantisipasi keadaan yang paling buruk demi menjaga keutuhan dan kelangsungan kehidupan bangsa dan negara. Kita tidak boleh mengorbankan kepentingan bangsa dan negara yang sangat fundamental ini, dengan kepentingan politik sesaat. Pada hemat saya, Presiden dan Wakil Presiden incumbent tidak wajib mundur dari jabatannya, untuk mencegah terciptanya keadaan darurat yang disengaja.

Bagi saya pribadi, tidak ada kekhawatiran apapun untuk berhadapan dengan calon Presiden dan Wakil Presiden incumbent, kendatipun mereka tetap dalam jabatannya. Kalau saya maju berhadapan dengan Susilo Bambang Yudhoyono sebagai calon incumbent, Insya Allah saya akan berkompetisi dengan tenang atas dasar prinsip saling menghormati dan sama-sama menaati semua ketentuan pemilihan yang berlaku dan menjunjung etika politik setinggi-tingginya. Saya berkeyakinan, sebagai demokrat sejati, beliau juga akan bersikap demikian. Sejarah telah memberikan pelajaran kepada kita, bahwa Presiden incumbent Megawati Sukarnoputri yang dicalonkan PDIP, dikalahkan Susilo Bambang Yudhoyono yang dicalonkan Partai Demokrat, PBB dan PKPI. Dalam kasus Pilkada, calon gubernur, bupati/walikota yang incumbent, juga tidak selalu menang. Jadi, untuk apa merasa khawatir. Segalanya, akhirnya rakyat juga yang akan menentukan. Dalam kompetisi politik yang sehat, seyogianyalah setiap orang akan berpegang kepada prinsip: menang secara terhormat dan kalah secara terhormat pula. Itulah asas-asas etika politik yang harus kita junjung tinggi…

Wallahu’alam bissawwab
(Yusril.Ihzamahendra.com)