19 Juli 2008

Implikasi Putusan MK terhadap Parpol

Oleh Samsul Wahidin

Mahkamah Konstitusi (MK) menjatuhkan putusan atas permohonan uji materiil para pemohon yang bergabung dalam parpol nonparlemen atas ketentuan pasal 316 huruf (d) UU No 10/2008 tentang Pemilihan Umum.

UU itu menjadi dasar penyelenggaraan pemilu yang rencananya dihelat 23 April 2009. Sesuai dengan Undang-Undang tentang Mahkamah Konstitusi, putusan yang dijatuhkan itu bersifat final dan mengikat semua pihak (final and binding).

Apa implikasi hukum putusan yang dijatuhkan MK tersebut? Banyak implikasi yang bersifat substantif pasca putusan itu, terutama bagi keberadaan parpol lima tahun ke depan. Bahkan dalam jangka panjang, putusan tersebut berpengaruh terhadap iklim politik di tanah air yang sedang mencari bentuk.

Secara hukum, implikasinya berkisar pada akomodasi politik atas hukum dan bagaimana pendapat MK yang bisa dipandang sebagai standar putusan hukum atas kehidupan parpol di tanah air.

Kejanggalan

Sebagai putusan terhadap UU yang kelahirannya dibidani proses panjang, implikasi yuridis atas putusan itu harus dipandang sebagai satu jenis kebijakan yang dapat dicermati untuk perbaikan "jagat perparpolan" di masa akan datang.

Atas dasar itu, hal pertama yang segera tampak dari putusan tersebut adalah kejanggalan sebagai bentuk inkonsistensi (tidak konsisten) ketika putusan itu memilah antara parpol yang mempunyai suara di dalam parlemen dan parpol nonparlemen. Bahwa ukuran yang dipakai sebagai dasar bukan electoral threshold, tetapi parliamentary threshold.

Masalahnya, pemilu ialah sarana untuk mendulang suara dalam rangka partisipasi politik rakyat menuju tata kehidupan yang demokratis (vide konsideran UU Pemilu).

Karena itu, substansi yang dijadikan sebagai ukuran atas eksistensi parpol sebagai peserta pemilu bukannya apakah mereka mempunyai wakil di parlemen atau tidak. Namun, ukuran substantifnya adalah seberapa besar parpol itu dipercaya rakyat sebagai wadah penyaluran aspirasi politik yang tecermin dengan besarnya perolehan suara baik di Pulau Jawa (sebagai tempat padat penduduk) maupun di luar Jawa (sebagai tempat tidak padat penduduk). Ukuran sebagaimana dimaksud adalah electoral threshold, bukannya parliamentary threshold.

Berdasar argumentasi di atas, pergeseran atau perubahan ukuran dari electoral threshold menjadi parliamentary threshold merupakan dasar hukum yang secara substantif tidak sesuai dengan tujuan pemilu dan eksistensi parpol. Ada kejanggalan ketika parameter digeser dari yang semestinya. Keterpengaruhan atas kekuatan parlemen sangat kental di dalam legal reasoning atas putusan tesebut.

Kedua, implikasi hukum dalam hal substansi putusan sebagai dasar yang dituju para pemohon adalah keikutsertaan pada Pemilu 2009. Berdasar penjelasan ketua MK (Jawa Pos, 12/7) putusan itu tidak mengubah jadwal pemilu yang telah ditetapkan KPU. Maknanya bahwa putusan itu hanya bisa diberlakukan pasca Pemilu 2009 atau tegasnya untuk penyelenggaraan Pemilu 2014.

Rentang waktu yang begitu lama menjadi titik lemah dalam sebuah putusan hukum. Tidak seorang pun bisa memprediksi apa yang akan terjadi pada proses pemilu pasca 2009. Sementara itu, yang ada saja belum bisa dilaksanakan, apalagi di masa yang begitu lama, di tengah ketidakpastian iklim politik dan ketatanegaraan.

Tambahan pula, masa jabatan MK hanya lima tahun. Artinya, meski pemilu diselenggarakan 5 tahun sekali, secara permanen putusan MK melampaui masa jabatan dan itu sebenarnya menjadi preseden tidak baik bagi yurisprudensi tetap oleh MK masa jabatan yang akan datang.

Berdasar hal di atas, jangka waktu putusan yang mempunyai daya ikat sampai pada penyelenggaraan Pemilu 2014 itu bersifat over judiciary (melampaui) kewenangan putusan yang semestinya berangkat dari asumsi substansial bahwa pemilu yang dimaksud adalah untuk 2009. Tidak ada kewenangan dan ikatan putusan tersebut untuk peristiwa hukum setelah pemilu yang masih belum dilaksanakan bahkan masih sangat jauh tersebut.

Keputusan MK kedaluwarsa, bahkan bisa jadi MK sudah tidak ada di tengah ketidakpastian sistem ketatanegaraan yang cenderung berubah seperti saat sekarang ini. Putusan itu juga tidak aplicable.

Ketiga, asas presumption of constitutionality (praduga konstitusional) yang dimaknai bahwa ketentuan dalam UU dinyatakan masih tetap berlaku sebelum dinyatakan bertentangan oleh UUD. Asas demikian seharusnya juga dimaknai berdasar asas dalam hukum tata negara bahwa hakikat putusan MK adalah perubahan terhadap pasal dalam UU. Padahal, sebuah UU berlaku sejak tanggal diundangkan dan mengikat setelah diletakkan dalam lembaran negara (LN).

Hal itu membawa implikasi bahwa putusan MK berlaku sejak tanggal diputuskan, yaitu 10 Juli 2008. Artinya, penyimpangan yang berwujud kualifikasi presumption of constitutionality harus dimaknai bahwa putusan yang mengubah UU itu berlaku sejak tanggal tersebut. Jadi, tidak untuk pemilu setelah itu.

Keempat, secara substansial, putusan tersebut tidak mendorong pada penyederhaan sistem kepartaian di tanah air yang begitu akomodatif terhadap aspirasi rakyat yang sejatinya tidak harus disalurkan seluruhnya.

Tema sentral yang menjadi cita-cita pengelolaan parpol di tanah air adalah menyederhanakan jumlah parpol yang pada gilirannya bisa mewujudkan keseimbangan kekuatan legislatif dan eksekutif.

Selama ini dipahami, idealnya jumlah parpol itu tidak perlu banyak seperti sekarang. Berkaca di negara maju, jumlah parpol itu dibatasi beberapa saja. Hal tersebut membawa implikasi luas dalam soal anggaran, bantuan pemerintah sebagai dana pembinaan, dan sebagainya. Implikasi paling penting dengan banyaknya parpol itu ialah sulitnya terwujud keseimbangan kekuatan dalam pengelolaan negara antara legislatif dan eksekutif.

Harus Dibatasi

Pada perspektif partisipasi politik rakyat, partisipasi tidak semata dimaknai dengan memberikan kesempatan seluas-luasnya sebagai refleksi hak kepada rakyat untuk mendirikan partai politik. Namun pada saat yang sama, jumlah parpol harus dibatasi.

Untuk itu, yang berasas sama seharusnya bisa dimerger. Adalah menjadi wewenang pemerintah untuk mengatur kehidupan rakyat agar tidak kacau. Ketika hal itu dilakukan, memang hanya ada perbedaan tipis antara mengatur dan membatasi. Namun, sepanjang semuanya demi kepentingan ketahanan nasional yang lebih mapan, penyederhanaan dengan hanya ada beberapa parpol itu, kiranya, bisa dibenarkan.

Putusan yang dijatuhkan dengan menambah kesempatan kepada parpol yang tidak lolos pada verifikasi untuk pelaksanaan Pemilu 2009 secara substansial lebih menitikberatkan pada akomodasi penyaluran aspirasi rakyat. Tidak berangkat dari pendidikan politik bagi rakyat yang idealnya direfleksikan pada jumlah parpol yang tidak sebanyak sekarang. Apalagi keputusan itu mengakomodasi penambahan jumlah parpol untuk 2014 yang masih berada di alam antah berantah. Saat para pemohon, termohon, kita semua, termasuk MK, berada di mana.

Prof Dr Samsul Wahidin SH MH , guru besar Ilmu Hukum Tata Negara Unmer Malang. (Jawa Pos Online)