23 Mei 2008

Gubernur, Wakil Pusat atau Kepala Daerah?

Oleh Sunyoto Usman

Dalam konteks otonomi daerah, gubernur (dan wakil gubernur) adalah kepala daerah untuk daerah provinsi, yang memiliki tugas dan wewenang memimpin penyelenggaraan daerah atas dasar kebijakan yang disusun dan ditetapkan bersama DPRD tingkat provinsi. Karena gubernur dipilih langsung oleh rakyat, gubernur bertanggung jawab kepada rakyat. Sebagai kepala daerah di tingkat provinsi, gubernur juga berkedudukan sebagai wakil pemerintah (pusat) di wilayah provinsi yang bersangkutan.

Karena itu, selain harus bertanggung jawab kepada rakyat, gubernur harus bertanggung jawab kepada presiden (sebagai kepala negara). Kendati begitu, gubernur bukanlah atasan bupati atau wali kota. Gubernur hanya membina, mengawasi, dan mengoordinasi penyelenggaraan pemerintahan daerah kabupaten/kota.

Karena gubernur wakil pemerintah (pusat) bukan atasan bupati atau wali kota, pernah berkembang pandangan bahwa gubernur tidak dipilih rakyat, tetapi ditunjuk presiden. Mereka bayangkan kedudukan gubernur mirip seperti menteri kabinet. Hanya perbedaannya, kalau menteri kabinet memimpin departemen atau kementerian, gubernur memimpin provinsi.

Wacana demikian menguat ketika di beberapa provinsi, pemilihan gubernur menyisakan konflik politik yang tidak hanya mengganggu penyelenggaraan pemerintahan, tetapi juga menciptakan keresahan berkepanjangan.

Pandangan tersebut menguat ketika semakin disadari bahwa kehidupan masyarakat (terutama lapisan menengah bawah) masih didera sindrom kemiskinan, kebodohan, dan gizi buruk. Karena itu, janganlah rakyat terus dibebani dengan konflik-konflik politik. Bagi mereka, rakyat kini sangat lelah menghadapi konflik-konflik politik yang terjadi bersamaan dengan pemilihan langsung anggota parlemen dan presiden/wakil presiden.

Pandangan semacam itu menarik untuk dipertimbangkan. Tetapi, sebenarnya tidak mudah dilaksanakan. Dari segi aspek legal, UU yang berlaku masih menetapkan bahwa gubernur/wakil gubernur dipilih langsung rakyat. Rakyat paling menentukan siapa yang mempunyai mandat menjadi kepala daerah untuk daerah provinsi, meski disadari peran penting yang disandangnya adalah wakil pemerintah (pusat) di wilayah provinsi yang bersangkutan.

Dengan demikian, jika ada usul agar gubernur dipilih presiden, peraturan perundangan tersebut harus diubah dulu. Kenyataannya, mengubah UU bukanlah perkara mudah, membutuhkan waktu lama, dana besar, dan mungkin juga perdebatan-perdebatan sengit.

Dari segi politik, gubernur adalah figur yang mempunyai posisi tawar politik yang cukup kuat. Benar memang, gubernur bukan atasan bupati atau wali kota. Peran gubernur juga hanya membina, mengawasi, dan mengoordinasi penyelenggaraan pemerintahan daerah kabupaten/kota. Tetapi, gubernur memiliki wewenang memimpin penyelenggaraan daerah atas dasar kebijakan yang disusun dan ditetapkan bersama DPRD provinsi.

DPRD provinsi lazim diisi politisi-politisi yang memiliki reputasi politik yang cukup baik di tingkat kabupaten/kota. Mereka adalah politisi-politisi yang cukup diperhitungkan dalam menyusun arah kebijakan partai-partai politik di tingkat kabupaten/kota.

Implikasinya adalah seorang gubernur -yang sedang memimpin penyelenggaraan pemerintah daerah atas dasar kebijakan yang disusun dan ditetapkan bersama DPRD provinsi- juga sedang memimpin penyelenggaraan daerah atas dasar sebagian besar keinginan politik para politisi di tingkat kabupaten/kota. Karena itu, wacana gubernur dipilih langsung oleh presiden mungkin sekali menghadapi resistensi dari para politisi di tingkat kabupaten/kota.

Dari segi kultural, dalam kehidupan masyarakat kita masih terpateri anggapan bahwa status dan peran gubernur lebih tinggi daripada bupati/wali kota. Selama bertahun-tahun (sampai dengan diundangkan UU 22/1999 dan 32/2004 tentang Otonomi Daerah), gubernur lebih memerankan diri sebagai atasan bupati/wali kota.

Peran tersebut menjadi kian kukuh ketika pemerintah Orde Baru mengembangkan sistem pemerintahan sentralistis dan mempraktikkan gaya otoriter dengan sempurna. Ketika itu tidak banyak bupati-wali kota yang berani melawan keinginan gubernur karena setiap perlawanan bisa dimaknai tidak loyal kepada pemerintah pusat.

Dengan demikian, pandangan gubernur dipilih langsung oleh presiden barangkali menghadapi mindset dalam masyarakat yang sudah telanjur menempatkan gubernur dalam posisi sentral di tingkat provinsi.

Pada prinsipnya, gubernur, bupati, dan wali kota adalah jabatan yang bersifat politis karena harus diusulkan partai politik dan bukan pegawai negeri. Dalam proses pilkada langsung, kandidat gubernur yang sedang menduduki jabatan di pemerintahan bisa mencuri start kampanye. Mereka bisa memanfaatkan fasilitas publik untuk kepentingan kekuatan politiknya.

Sedikitnya ada tiga hal yang bisa dilakukan untuk mencegah kecurangan tersebut. Pertama, lembaga-lembaga yang bertugas melakukan pengawasan fungsional (Irjen, Bawasda, kepolisian, dan lain-lain) harus memberikan sanksi tegas kepada kandidat yang menyalahgunakan wewenang.

Kedua, media massa, kalangan profesional, LSM, dan lembaga-lembaga sosial kemasyarakatan harus ikut mengawasi dan mengidentifikasi kegiatan-kegiatan pejabat publik itu agar tidak dipergunakan untuk kegiatan politik berselubung yang dirancang dan digerakkan untuk kepentingan kampanye.

Ketiga, petinggi politik harus melakukan sosialisasi kepada kadernya bahwa berbagai bentuk kecurangan yang dilakukan untuk kepentingan kampanye akan merugikan diri sendiri. Melukai demokratisasi yang mereka perjuangkan.

Rekonsiliasi

Seperti diungkapkan di awal tulisan ini bahwa pilkada langsung adalah kompetisi yang keras. Karena itu, mudah dipahami bila pasca pilkada langsung masyarakat bisa terkotak-kotak mengikuti afiliasi kekuatan politik yang berlaga. Kondisi demikian tentu tidak sehat dalam hidup bermasyarakat. Sedikitnya ada tiga hal yang bisa dikembangkan untuk mengatasi masalah tersebut.

Pertama, harus dilakukan pendidikan politik bahwa pilkada langsung adalah instrumen yang dipilih untuk melakukan demokratisasi. Implikasi instrumen itu, ada pihak yang kalah dan yang menang. Bagi pihak yang kalah, bukan berarti bahwa segalanya sudah berakhir. Mereka masih mempunyai kesempatan untuk memenangi kompetisi pada pilkada langsung yang akan datang.

Pihak yang menang harus disadarkan bahwa apa yang mereka capai baru langkah awal untuk melakukan pekerjaan. Kekuatan politik bisa "dihukum" rakyat bila ternyata kelak tidak mampu memenuhi janji-janji politik yang pernah disampaikannya pada kegiatan kampanye.

Kedua, perlu dilakukan kegiatan-kegiatan sosial dan budaya yang memungkinkan kekuatan-kekuatan politik yang berlaga dalam pilkada langsung melakukan afiliasi silang. Tokoh-tokoh informal mengambil peran strategis dalam menciptakan kegiatan semacam itu. Kegiatan-kegiatan sosial dan budaya tersebut dimaksudkan untuk mempertahankan dan memupuk kesadaran bahwa dimensi kehidupan masyarakat itu sangat luas, dalam arti tidak hanya untuk memenuhi kebutuhan politik, tetapi juga kebutuhan sosial, budaya, dan ekonomi.

Pilkada langsung adalah salah satu kegiatan saja, bukan satu-satunya kegiatan. Karena itu, janganlah makna hidup dan kehidupan ini menjadi rusak hanya karena pilkada langsung.

Last but not least, pemerintah baru yang kelak terpilih tidak boleh serakah dan mengembangkan kebijakan dan program yang diskriminatif. Pemerintah baru harus mampu menjadi teladan, bisa bekerja sama dengan siapa saja, kendati tidak harus kehilangan identitas. Pemerintah baru harus mampu memberi apreasi ide-ide cerdas yang mampu meningkatkan kesejahteraan daerah, kendati ide-ide tersebut datang dari kekuatan-kekuatan politik lain.

Prof Dr Sunyoto Usman, guru besar sosiologi UGM di Jogjakarta. (jawa pos dotcom)

Tidak ada komentar: