25 Januari 2008

Bangsa yang Diresapi Kultur Kematian

Oleh Limas Sutanto

Koran-koran di negeri ini memberitakan tragedi mobil terjun bebas dari lantai 8 Gedung Jamsostek di Jalan Gatot Subroto, Jakarta, pada 22 Januari 2008. Tragedi itu menewaskan si pengemudi mobil bernama Heryawan. Koran Jawa Pos memaparkan fakta hasil pengamatan yang penting: Di lantai parkir gedung bertingkat itu tidak terdapat beton penahan ban belakang mobil. Demi keselamatan, biasanya beton seperti itu terpasang dua buah pada jarak satu meter dari pagar tepi lantai parkir gedung bertingkat (Jawa Pos, 23 Januari 2007).

Perlu dicatat, kejadian serupa beberapa kali terjadi. Pertama, 11 Desember 2006, sebuah sedan terjun dari lantai 4 Palembang Indah Mall di Jalan Radial, Palembang. Kedua, 14 Januari 2007, sebuah mobil boks terjun dari lantai 3 area parkir Mal Pangrango, Bogor. Ketiga, 17 Mei 2007, sebuah mobil terjun bebas dari lantai 6 area parkir gedung ITC Permata Hijau, Jakarta.

Keempat, Desember 2007, di lantai 5 area parkir gedung yang sama, nyaris berlangsung kejadian serupa. Kendati mobil masih bisa direm sehingga tidak sampai terjun bebas, tembok tepi lantai parkir yang rapuh itu hancur dan reruntuhannya mengenai mobil lain (Jawa Pos, 23 Januari 2008; Suara Merdeka, 23 Januari 2008).

Catatan itu dapat mengentak kesadaran kita tentang pola mental dan perilaku kita yang lebih dekat dengan kultur kematian ketimbang kultur kehidupan. Secara sederhana namun mendasar, kultur kematian dapat dimaknai sebagai pola mental dan perilaku mendarah daging yang tidak menghargai keselamatan dan kehidupan sebagai nilai-nilai eksistensial yang sangat penting.

Kultur kematian mengakari pandangan dan perilaku yang tidak peduli kepada nyawa manusia. Ketika kehidupan kita diresapi kultur kematian, di mata kita, nyawa manusia tidak lagi berharga. Kultur kematian menggiring kita untuk menjalani kehidupan sehari-hari secara serampangan, tidak peduli pada keselamatan diri dan pihak lain, dan nekat melakukan tindakan-tindakan yang membahayakan diri dan orang-orang lain. Kultur kematian mengakari pelanggaran aturan, pengabaian standar, dan penyimpangan prosedur operasi.

Dapat dibayangkan, kultur kematian tidak hanya menjadikan nyawa gampang melayang, melainkan juga menjadikan suasana kerja dan kehidupan pada umumnya semrawut dan tidak nyaman. Ujungnya adalah kinerja yang buruk, ketertinggalan dari bangsa-bangsa lain, dan ketidakbahagiaan.

Kita makin terperanjat ketika menyadari betapa peresapan kultur kematian yang begitu mendalam (pervasive) benar-benar dikukuhkan oleh fakta-fakta kecelakaan bertubi-tubi di darat, udara, dan laut, fakta-fakta kecelakaan kerja, dan fakta-fakta "musibah" fatal seperti yang terjadi dalam pengeboran minyak bumi di Porong, yang kemudian membuahkan banjir lumpur panas amat mengerikan.

Peresapan mendalam kultur kematian dalam kehidupan kita juga ditegaskan oleh perilaku berlalu lintas yang sangat serampangan. Perilaku serampangan di jalan-jalan umum ini tidak hanya sangat membahayakan diri dan orang-orang lain, melainkan juga menerpakan kecemasan dan ketertekanan jiwani bagi banyak orang yang sehari-hari menggunakan jalan-jalan umum.

Jangan dilupakan, kultur kematian yang meresap mendalam itu juga mengejawantah dalam pelaksanaan pekerjaan yang serampangan atau asal-asalan, tanpa mempertimbangkan dampaknya terhadap kehidupan para pengguna produk atau jasa yang dihasilkan dari pekerjaan itu.

Pada perspektif ini, para perajin tahu dan tempe atau bakso merasa wajar-wajar saja mencampurkan formalin ke dalam bahan-bahan makanan yang mereka produksi. Bahkan, di negeri ini, produsen besar sampo berkelas korporasi multinasional pun tega mencampurkan formalin dalam produk samponya, dengan dalih yang sangat prokultur kematian: "Kan campuran formalinnya sangat sedikit. Dalam kadar yang sangat sedikit itu, formalin tak membahayakan kesehatan."

Pada perspektif lebih jauh dan mendalam, dapat dikhawatirkan, jika kultur kematian sedemikian meresap mendalam, jangan-jangan pelaksanaan profesi-profesi yang memiliki tradisi etis, keilmuan, dan praktikal yang sangat menjunjung tinggi kehidupan dan kultur kehidupan (lawan dari kultur kematian), semisal profesi kedokteran, juga tidak terbebas dari corak-corak kultur kematian.

Bercak-bercak malapraktik serta corak-corak sikap dan kerja dokter yang serampangan di negeri ini bisa jadi merupakan tanda-tanda peresapan kultur kematian dalam profesi tersebut.

Jika profesi kedokteran sebagai profesi yang secara tradisional memiliki kebiasaan etis, keilmuan, dan praktikal pro-kultur kehidupan paling kental juga diresapi kultur kematian, dapat dibayangkan, mungkin profesi-profesi lain pun tidak terbebas dari resapan kultur kematian yang amat mengerikan.

Seluruh bentangan perenungan itu mungkin mencukupi untuk menegaskan betapa kita perlu keluar dari resapan dan kungkungan kultur kematian, kemudian secara sadar menumbuhkembangkan kultur kehidupan, yaitu pola mental dan perilaku mendarah daging yang menghargai keselamatan dan kehidupan sebagai nilai-nilai eksistensial yang sangat penting, dan karena itu perlu dilindungi, dirawat, dan ditumbuhkembangkan.

Dapat disebutkan lima faktor perajut kultur kematian: pertama, ketidakmampuan menunda menikmati kepuasan atau kesenangan; kedua, kebiasaan menempuh jalan pintas, jalan instan, dan jalan impulsif; ketiga, kebiasaan mementingkan diri sendiri, mengabaikan tanggung jawab sosial, dan menghalalkan segala cara dalam rangka mencari keuntungan untuk diri sendiri; keempat, kebiasaan meremehkan pertanggungjawaban hukum; kelima, pandangan hidup miopik dan sempit.

Kelima faktor itu perlu diatasi dan dilampaui (ditransendensi) demi hidup yang makin diresapi kultur kehidupan dan kian meninggalkan kultur kematian.

Dr dr Limas Sutanto SpKJ (K) MPd, psikiater konsultan psikoterapi, pengajar psikoterapi pada program studi psikologi Fakultas Ilmu Pendidikan dan pengajar konseling pada Program Pascasarjana Universitas Negeri Malang

Sumber : Jawa Pos todcom

16 Muharram 1429 H

16 Januari 2008

KEDELAI DAN KEBIJAKAN PERTANIAN KITA

Oleh Yusril Ihza Mahendra

Bismillah ar-Rahman ar-Rahim,

Ketika kita masih SD, kita selalu diajari guru kita bahwa negara kita adalah negara agraris. Alasannya, sebagian besar rakyat kita menggantungkan hidup pada pertanian. Kita diajari juga bahwa negara kita adalah negara bahari.Alasannya, sebagian besar wilayah negara kita adalah laut. Luas daratan lebih kecil dibanding luas lautnya.Hanya itu saja pelajaran yang kita terima. Kita tidak didorong untuk berpikir lebih jauh: Bagaimanakita harus meningkatkan produksi pertanian dan kelautan untuk meningkatkan kesejahteraan rakyat. Saya yang sejak kecil menjadi anak hutan dan anak laut, bukan hanya berteori tentang kemiskinan petani dan nelayan. Saya mempunyai pengalaman empiris hidup dalam kemiskinan, di tengah-tengah kehidupan petani dan nelayan.

Tentu tidak ada satupun pemerintah di negara kita yang tidak memperhatikan pembangunan pertanian dan kelautan. Berbagai instutusi perguruan tinggi yang mengembangkan pendidikan dan penelitian di kedua bidang ini, telah lama kita miliki. Hasilnya belum seberapa. Sebagian besar petani kita masih bertani menggunakan cara-cara tradisional, yang kini justru mengancam kelestarian alam. Perkebunan besar dibuka, namun hanya menghasilkan buruh tani, suatu bidang pekerjaan yang merupakan bagian rakyat kita yang paling miskin. Perusahaan perikanan besar didirikan, namun juga hanya menghasilkan buruh nelayan, yang juga hidup tak kalah miskin. Petani dan nelayan yang merupakan komponen terbesar bangsa kita, belum mampu kita sejahterakan. Ketidakberhasilan kita meningkatkan taraf kesejahteraan petani dan nelayan, adalah kegagalan kita meningkatkan kesejahteraan bagian terbesar rakyat kita.

Saya tidak ingin berpanjang kalam membahas masalah di atas pada kesempatan ini. Ilmu saya juga tak dalam membahas masalah itu dengan berbagai aspeknya. Saya ingin fokus pada krisis kedelai, bahan dasar utama pembuatan tahu dan tempe, yang telah menjadi makanan utama sebagian besar rakyat di negeri kita. Meskipun kedelai sangat penting, namun produksi kedelai dalam negeri, tak pernah mampu memenuhi kebutuhan.Kita harus megimpor kedelai dari luar negeri, terutama dari Amerika Serikat. Kita bukannya tidak mampu meningkatkan produksi kedelai untuk memenuhi kebutuhan. Persoalannya terletak pada harga. Ketika harga kedelai di luar negeri lebih murah, maka kecenderungan pedagang untuk mengimpor cukup besar. Untuk mengurangi impor ini, Pemerintah menerapkan biaya masuk. Karena harga menjadi seimbang, bahkan lebih murah, maka petani dalam negeri tak terdorong untuk meningkatkan produksi. Dalam keadaan seperti ini, tanpa kita sadari kita mulai tergantung pada impor.

Ketika harga kedelai di luar negeri meningkat tajam, ditambah lagi dengan biaya masuk, maka harga kedelai impor di dalam negeri langsung melonjak. Ketika itu terjadi, kita tidak mungkin menghentikan impor, karena produksi dalam negeri tak mencukupi. Bahkan harga kedelaiproduk domestik juga akan naik. Kini, Pemerintah menghapus biaya masuk untuk sementara. Namun langkah itu takkan efektif, sebab harga pembelian impor sebelum dikenakan bea masuk sudah naik hampir dua kali lipat. Harga kedelai produk dalam negeri juga sudah terlanjur naik. Perlu waktu relatif lama untuk menstabilkan harga. Harga yang wajar hanya akan tercipta kembali kalau harga kedelai impor turun atau produksi kedelai dalam negeri meningkat. Hal yang sama, sebenarnya juga terjadi pada produk pertanian yang lain, seperti jagung, lada, cengkeh, bawang putih.

Masalah utama pertanian kita, bukanlah terletak pada mampu atau tidaknya kita meningkatkan produksi, tetapi lebih kepada stabilitas harga. Negara industri besar seperti Amerika Serikat tak pernah perduli nasib negara agraris yang miskin. Ketika saya di kabinet di bawah Presiden Megawati, kita ribut terus dengan Amerika Serikat karena memaksa agar Pemerintah mengizinkan peternak dan pedagang Amerika Serikat, untuk mengekspor sayap ayam potong ke negara kita. Kita tak mau mengizinkan, karena sayap ayam tak banyak dimakan orang di negeri itu, sementara di negeri kita banyak orang mengonsumsinya karena murah. Kalau sayap ayam dijual besar-besaran di negeri kita, produksi ayam dalam negeri akan terpukul. Rakyat sudah merasa cukup makan sayap ayam murah, daripada beli dagingnya yang lebih mahal. Amerika selalu berdalih perdagangan bebas. Dari dulu saya sangat hati-hati dengan konsep perdagangan bebas itu, termasuk lamanya saya menelaah RUU Penanaman Modal, yang membuat anggota kabinet yang lain agak jengkel dengan sikap saya. Kalau penanam modal dalam negeri dan luar negeri diberi status sama dalam segala hal, dan tidak dibatasi berapa besarnya modal yang ditanam, saya katakan bisa-bisa tukang cukur atau tukang martabak dari Bangladesh memohon izin penanaman modal untuk membuka sebuah kios cukur dan kios martabak. Ini masalah besar bagi bangsa kita.

Untuk membantu petani dan nelayan kita, saya pernah melontarkan gagasan dalam sidang kabinet, agar Pemerintah memberikan subsidi pembelian produk pertanian dan perikanan, tentu dengan konsekuensi pengurangan subsidi BBM dan listrik. Harga dasar gabah dan kedelai misalnya ditetapkan bisa lebih tinggi dari harga pasaran. Dengan demikian harga akan stabil dan gairah petani untuk menanam juga besar. Bulog membeli gabah dan kedelai dengan harga yang lebih tinggi. Pemerintah melempar ke pasar dengan selisih harga setelah dikurangi subsidi. Dengan cara itu tukang ijon juga akan berhenti beroperasi memeras petani dan nelayan. Gagasan saya itu, menurut Wapres Yusuf Kalla, sulit dilaksanakan di lapangan. Saya mengerti, gagasan ini baru ditataran permukaan. Namun kita harus menelaahnya secara rinci agar dapat dilaksanakan di lapangan. Mungkin kita uji coba pada produksi padi dan kedelai lebih dahulu, untuk kita lihat hasilnya dan melakukan evaluasi.

Saya berpendapat bahwa dampak berganda dalam pembangunan ekonomi harus dimulai dari pertanian dan kelautan. Kalau petani dan nelayan sejahtera, daya beli mereka meningkat, maka mereka akan berpikir untuk memperbaiki rumah, membeli peralatan rumah yang lebih modern, membeli kendaraan dan seterusnya. Tetapi kalau petani dan nelayan, yang merupakan bagian terbesar rakyat kita, tak mampu menjadi penggerak dampat berganda, maka pertumbuhan ekonomi kita, hanya akan menggantungkan pada investasi, belanja Pemerintah dan konsumsi masyarakat perkotaan. Padahal, Investasi belum berjalan sebagaimana kita harapkan, karena faktor-faktor non ekonomi, seperti kepastian hukum, pelayanan birokrasi yang berbelit, pungli dan situasi keamanan serta kenyamanan berusaha yang belum mendukung.

Belanja Pemerintah banyak pula yang tertunda dan tertahan karena kekhawatiran birokrasi kalau-kalau mereka dicurigai melakukan korupsi. Memberantas korupsi memang telah menjadi tekad kita bersama dan tentu harus terus digalakkan. Namun ketakutan yang berlebihan akan digunjingkan dan diperiksa kejaksaan dan KPK karena dugaan korupsi, dapat berdampak negatif pula pada penggunaan anggaran. Para pejabat ragu-ragu mengambil keputusan karena khawatir dan takut salah. Dana APBD yang cukup besar yang tak digunakan itu disimpan di bank-bank milik Pemda. Uang itu kemudian didepositokan lagi di Bank Indonesia. BI harus membayar bunganya.

Kini masalah kedelai mencuat ke permukaan. Harganya melonjak tajam. Sementara produsen tahu dan tempe, tidak mungkin serta merta menaikkan harga jual produknya. Daya beli masyarakat makin lemah. Harga bahan makanan yang lain seperti minyak goreng dan telur juga mengalami kenaikan. Akibatnya, produsen tahu tempe bukan saja mengurangi produksi, bahkan terancam bangkrut. Kebangkrutan ini serta merta berdampak pada meningkatnya pengangguran. Tahu tempe yang selama ini dianggap sebagai produk makanan murah namun bergizi, berubah menjadi barang yang mahal. Kalau rakyat tak mampu lagi membeli tahu tempe sebagai lauk pauk sehar-hari, maka apa lagi yang akan dimakan?

Langkah sungguh-sungguh untuk membenahi ekonomi kita untuk mengangkat harkat dan martabat petani dan nelayan, sungguh merupakan pekerjaan besar, berat dan sulit. Namun kita tidak mungkin mengabaikan hal ini. Kasus melonjaknya harga kedelai, kiranya menjadi pelajaran sangat berharga untuk kita lebih bersungguh-sungguh membenahi pembangunan pertanian dan perdagangan kita.***

Wallahu’alam bissawwab

Sumber : yusril.ihzamahendra.com

11 Januari 2008

Soal Soeharto, Hukum Dikalahkan Politik

Oleh Samsul Wahidin

Menjelang dan setelah sekian hari Pak Harto dirawat di rumah sakit, masalahnya berputar-putar pada angle kasus hukum yang sedang membelit beliau. Kasus perdata atas penyimpangan dana Supersemar bahkan sedang disidangkan di Pengadilan Negeri Jakarta Pusat dan dipastikan jalan untuk memenangkan perkara ini oleh negara cq Kejaksaan Agung masih panjang dan berliku.

Opini publik berkembang, apakah kasus itu dilanjutkan atau tidak. Berikutnya, bagaimana dengan kasus-kasus terdahulu, khususnya perkara pidana yang di-SP3-kan jaksa agung terdahulu. Perputaran itu telah beralih dari ranah hukum ke ranah politik, bahkan beraroma kuat dipolitisasi. Ini tecermin dari menonjolnya tokoh-tokoh politik yang berkomentar tentang itu.

Para ahli hukum kalah tempat dengan para politisi. Komentar otoritas hukum (Jaksa Agung Hendarman Supanji) juga sangat singkat: kasus perdata Yayasan Supersemar jalan terus dan ketika ditanya apa akan menjenguk Pak Harto, jawabnya belum tertarik.

Masalah Hukum

Sejauh yang disampaikan pakar hukum dan berkembang menjadi opini publik, masalah Pak Harto dapat disederhanakan dengan memilih di antara dua: kasus Pak Harto dilanjutkan atau tidak.

Jawaban atas pemasalahan itu -bagi praktisi hukum- juga sederhana dan sangat jelas. Pertama, asas penyelesaian kasus pidana di dunia ini adalah bahwa penyidikan, penuntutan, dan persidangan berhenti demi hukum ketika tersangka atau terdakwa meninggal dunia.

Pertanggungjawaban pidana hanya dapat dibebankan kepada subjek yang melakukan, turut melakukan, menyediakan sarana untuk kejahatan, atau tahu adanya kejahatan tetapi tidak melapor. Masing-masing dengan konstruksi hukum yang disertai dengan alat bukti dan keyakinan hakim.

Pada klausula khusus, penghentian kasus bisa dilakukan jika subjek hukum tidak mampu mempertanggungjawabkan perbuatannya, misalnya, karena kondisi kesehatan yang tidak memungkinkan. Ini pun harus didukung kondisi objektif dan bersifat sementara. Ketika kondisi fisik memungkinkan, proses pidana harus berjalan kembali sampai pada dijatuhkannya putusan tentang besalah atau tidaknya seseorang.

Pada kasus Pak Harto jelas, aspek pidananya tidak bisa dimintakan tanggung jawabnya kepada beliau karena sakit permanen. Nawaitu untuk tetap meneruskan perkara pidana -meskipun sekadar niat dan janji- masih tetap akan dilakukan nanti jika kesehatan Pak Harto memungkinkan.

Artinya, dalam hal ini, SP3 (Surat Perintah Penghentian Penyidikan) tidak bersifat permanen. Sewaktu-waktu masih bisa dibuka kembali kalau beliau sudah tidak sakit.

Sebagai produk administratif, sifat keputusan yang dibuat otoritas hukum itu tidak langgeng. Jika pemegang kebijakan berikutnya menilai kebijakan peng-SP3-an itu tidak tepat, bisa dicabut kembali. Maknanya, penyidikan terhadap kasus tersebut bisa dilanjutkan. Dengan catatan tidak melanggar prinsip dasar hukum pidana yang harus ditegakkan melalui fair trial.

Kedua, pada aspek perdata jelas bahwa penuntutan terhadap terjadinya wanprestasi (ingkar janji), onrechtmatigedaad (perbuatan melawan hukum), dan klausula lain yang menjadi dasar penuntutan perkara perdata tidak hapus karena meninggal atau invalidnya tergugat.

Dalam kaitan ini, boedel (harta warisan) yang diterima ahli waris meliputi aktiva dan pasiva dari pewaris. Ahli waris tidak boleh menerima aktiva dengan menghindarkan diri dari tanggung jawab terhadap utang-utang, termasuk perkara atas harta kekayaan pewaris.

Secara teknis memang melalui proses lebih panjang karena semua ahli waris harus digugat dan menyebut secara pasti siapa saja yang menerima warisan tanpa kecuali.

Kesulitannya ialah pada pemisahan harta kekayaan dari tergugat ketika meninggal. Objek gugatan itu berada pada penguasaan siapa. Dalam hal Pak Harto, meskipun suatu ketika beliau tidak ada, proses persidangan perdata tetap jalan dengan subjek tergugat baru, yaitu para ahli warisnya.

Dalam hubungannya dengan aspek perdata ini, ada dimensi lain dari penyelesaian hukum, yaitu lewat Alternative Dispute Resolution (ADR). Namun secara psikologis, khususnya bagi kubu Pak Harto, ada gambaran menurunnya bargaining jika upaya ini ditempuh. Toh dengan cara hukum konvensional ini, sulit dibuktikan terjadinya pelanggaran hukum perdata.

Jalan untuk memenangkan perkara itu bagi negara masih begitu panjang. Sementara biaya perkara yang harus dikeluarkan menjadi keharusan dan itu jumlahnya tidak sedikit.

Masalah Politik

Bahwa Pak Harto, sang smiling general itu, adalah seorang tokoh politik sentral, tak ada yang mengingkari. Namun, ujung kehidupan mantan presiden yang sedang dirundung begitu banyak kasus hukum itu hendaknya tidak lagi dipolitisasi. Hukum memang produk politik, namun kerancuan sistem pemikiran di tanah air adalah adanya pengambilan keputusan hukum oleh otoritas politik. Bahkan, otoritas politik menyampaikannya tanpa beban dan seolah sudah benar.

Kita simak, pengampunan atas berbagai kasus, atau pemilahan sebagian diampuni dan sebagian diteruskan, disampaikan oleh para politisi yang kalau mau jujur justru merupakan pelanggaran hukum.

Paling tidak, kesalahan leading sector ini menjadi tindakan yang bersifat intrutif (perembesan), bahkan campur tangan politik terhadap hukum. Betapa sulitnya menyadarkan kondisi demikian pada para politisi kita yang begitu cerdas membaca situasi untuk kepentingan politik jangka pendek.

Ketokohan politik Pak Harto pada masa lalu masih akan membekas kuat dan "layak jual". Itu seharusnya juga dijadikan sebagai media pembelajaran politik, terutama untuk tidak memolitisasi kasus tersebut secara tidak proporsional. Biarkan hukum terus berproses menyelesaikan kasus itu berdasar prinsip-prinsip litigasi dan fair. Di sepanjang sejarah, manakala intrusi politik sudah masuk ke ranah hukum, apa lagi ketika proses peradilan sudah berlangsung, senantiasa berakibat pada jatuhnya putusan yang tidak adil. Kalaulah tidak sekarang, pada suatu saat nanti sandiwara yang merekayasa kasus demi kepentingan politik akan terungkap. Betapa sulitnya kita belajar dari kondisi itu.

Samsul Wahidin, guru besar Ilmu Hukum Unmer Malang

Sumber : Jawa Pos dotcom


05 Januari 2008

Agama dalam Spiral Kekerasan

Oleh Nur Syam

Dalam salah satu seminar (15/12/07) tentang Pluralisme Agama di Era Indonesia Kontemporer: Masalah dan Pengaruhnya terhadap Masa Depan Agama dan Demokrasi oleh UIN Malang, ada pertanyaan yang dilontarkan peserta bahwa pengeboman terhadap pusat hiburan di Bali, 12 Oktober 2002 memiliki justifikasi agama. Salah satu alasannya adalah di wilayah itu sudah tidak lagi dikenali sebagai wilayah budaya Indonesia. "Mana budaya Indonesia-nya?" katanya.

Pertanyaan itu merupakan ekspresi kebencian terhadap Barat yang sudah mengakar pada banyak kalangan Islam, terutama kaum fundamentalis. Mereka menafsirkan sah-sah saja melakukan tindakan kekerasan terhadap mereka karena "keterpaksaan" religius. Tidak ada pilihan lain dalam melawan hegemoni Barat yang sudah memasuki "seluruh" kawasan kehidupan masyarakat.

Genealogi Kekerasan

Kekerasan tidak bisa dikaitkan dengan agama tertentu. Sebab, kekerasan adalah fenomena agama-agama. Secara historis, bisa dinyatakan bahwa di dalam agama terdapat potensi konflik yang disebabkan truth claimed para pemeluknya. Selain itu, ada dimensi social order yang dibangun relasi di antara para pemeluk agama-agama.

Sejarah mencatat berbagai kekerasan yang dipicu agama. Misalnya, penembakan etnis di California dan Illinois 1999, penyerangan kedutaan Amerika di Afrika 1998, pengeboman klinik aborsi di Alabama dan Georgia 1997, peledakan bom pada Olimpiade Atlanta dan penghancuran kompleks perumahan militer Amerika Serikat di Dhahran, Arab Saudi, 1996, penghancuran secara tragis bangunan Federal di Oklahoma City 1999, dan peledakan World Center di New York City 1993. Insiden dan kekerasan tersebut, oleh Marx Jurgensmeyer, memiliki keterkaitan dengan ekstremis-ekstremis keagamaan Amerika. Di antaranya milisi Kristen, gerakan Christian Identity, dan aktivis-ativis Kristen antiaborsi.

Pada 11 September 2001, dunia dikagetkan dengan peristiwa penghancuran World Trade Center (WTC). Simbol keangkuhan Amerika itu pun porak-poranda dan menyisakan duka serta derita mendalam. Dunia kembali tersentak melalui peristiwa Bali Blast, 12 Oktober 2002. Pengeboman yang meluluhlantakkan pusat hiburan di Legian, Bali, tersebut menandai bahwa dunia sedang berada dalam tekanan kekerasan yang ujung-ujungnya dilakukan gerakan fundamentalisme agama.

Di Inggris, terjadi pengeboman kereta api bawah tanah pada 7 dan 21 Juli 2005. Peristiwa itu diidentifikasi sebagai tindakan kelompok Islam garis keras sebagai akibat tindakan politik Amerika Serikat yang menginvasi Iraq.

Jika dilakukan pembacaan terhadap berbagai kekerasan dalam kurun waktu terakhir, hampir dipastikan bahwa yang menjadi sasaran kekerasan kelompok fundamentalisme adalah pusat-pusat berkembangnya budaya Barat. Hal tersebut menandakan gerakan anti-Barat itu sudah menjadi bagian dari sistem kognisi penganut Islam fundamental, meski nama dan organisasinya bervariasi.

Menurut asumsinya, berbagai kerusakan, baik fisik, lingkungan, maupun moral, adalah implikasi dari kebijakan Barat yang tidak memberikan ruang gerak bagi negara-negara berpenduduk muslim untuk bereksistensi diri. Barat telah melakukan penzaliman terstruktur terhadap masyarakat Islam. Karena itu, tindakan Barat yang meminggirkan Islam tersebut harus dilawan dengan berbagai cara seperti melakukan kekerasan tersebut.

Memang harus diakui, terdapat kenyataan hegemoni Barat, terutama Amerika Serikat, terhadap kehidupan sosial, politik, ekonomi, dan budaya. Bagaimana AS menjadi polisi dunia juga tidak diragukan keabsahannya. Sebagai polisi dunia itulah, AS melakukan berbagai tindakan yang dalam banyak hal merugikan umat Islam.

Indonesia yang mayoritas penduduknya beragama Islam juga merasakan tekanan-tekanan tersebut, misalnya dalam bentuk hegemoni budaya dan ekonomi.

Dalam bidang ekonomi ialah makin kuatnya tekanan ekonomi kapitalistik dan kegagalannya untuk memberikan kesejahteraan komunal. Dari sisi kebudayaan adalah semakin rentannya budaya lokal ketika berhadapan dengan budaya Barat di berbagai segmen kehidupan. Penetrasi dua aspek tersebut, selain aspek lain, semakin mengentalkan semangat perlawanan terhadap Barat yang dianggapnya sebagai "great satanic".

Nirkekerasan

Di Indonesia, gerakan anti-Barat makin meningkat. Ironisnya, gerakan itu justru memberikan stigma negatif dalam relasi agama-agama. Realitasnya, banyak tindakan yang bisa diidentifikasi sebagai gerakan anti-Barat yang kenyataannya adalah antiagama lain. Konflik di Indonesia Timur sering distigmakan sebagai konflik antarumat beragama, meski sesungguhnya bisa saja dipicu faktor politik atau ekonomi.

Akhir-akhir ini, juga terdapat perkembangan menarik dari kehidupan sosial, politik, dan agama pada masyarakat Indonesia. Dulu, masyarakat ini dikenal dengan budayanya yang adiluhung dan mengedepankan kerukunan, harmoni, dan selamat. Inti filsafat hidup tersebut kurang terlihat dalam praktik kehidupan masyarakat. Banyak konflik horizontal yang terjadi di mana-mana. Konflik antarsuku, desa, politik, dan agama terjadi di banyak wilayah.

Realitas empiris tersebut membenarkan berbagai survei yang mengeksplorasi tentang kecenderungan kekerasan di negeri ini. Berdasar survei bahwa 61,4 persen setuju untuk memerangi orang nonmuslim, 49 persen setuju membela perang dengan nonmuslim, 47 persen setuju pelarangan Ahmadiyah, 20 persen setuju dengan bom Bali, dan 18 persen setuju perusakan gereja.

Ketika kita membaca data itu, terdapat pertanyaan besar, benarkah tabiat masyarakat Indonesia yang sarat kelemahlembutan, kesopanan, dan penghargaan kepada yang lain sudah berubah sedemikian drastis?

Betapa besar angka 61,4 pesen untuk menyetujui memerangi orang nonmuslim dan betapa mengagetkan angka 20 persen yang menyetujui bom Bali dan 18 persen setuju perusakan gereja. Marilah angka-angka itu kita baca dengan hati nurani. Sebab, agama berurusan dengan hati nurani. Ketika mau memutuskan sesuatu, yang paling urgen adalah bertanya kepada hati nurani. Melalui hati nurani, sekurang-kurangnya akan dapat dinyatakan bahwa merusak, menghancurkan, dan membunuh bukanlah tabiat ajaran agama mana pun.

Bahkan, Nabi Muhammad SAW selalu mewanti-wanti agar dalam peperangan sekalipun, jangan membunuh perempuan, anak-anak, orang-orang yang lemah, merusak tempat tinggal, dan tempat ibadah.

Pemeluk agama apa pun menginginkan kedamaian, bukan konflik. Kedamaian adalah inti agama. Islam juga bermakna kedamaian. Karena itu, ketika seseorang beragama tetapi di dalam hatinya terdapat kecenderungan untuk melakukan kekerasan, dia telah terjauhkan dari pesan agama untuk memakmurkan kemanusiaan. Teologi agama apa pun pasti membenarkan agamanya sendiri.

Namun, jangan dilupakan bahwa manusia hidup dengan manusia lain yang memiliki pilihan-pilihan keyakinan di dalam kehidupannya. Maka, memberikan tempat lain untuk hidup adalah sebuah kewajiban. Ada sebuah kesepakatan pro-eksistensi, bukan hanya co-eksistensi.

Pada akhir-akhir ini, banyak tindakan untuk merusak, menghancurkan, dan membumihanguskan apa saja yang dianggap berlainan. Kiranya, pernyataan Masdar Farid Mas’udi (JP, 25/12/07) agar menghentikan berbagai macam kekerasan atas nama "kesesatan" dan "pengafiran" bisa direnungkan ulang. Tindakan seperti itu justru akan menghasilkan stigma yang tidak menguntungkan Islam sebagai agama yang mengusung jargon rahmatan lil’alamin. Jadi, meski kehidupan ini terasa menyesakkan, tetap masih ada ruang untuk saling berbagi. Ruang itu dinamakan teologi momot humanitas nirkekerasan. Wallahu a’lam bi al-shawab.

Prof Dr Nur Syam MSi, guru besar sosiologi IAIN Sunan Ampel

Sumber : Jawa Pos dotcom

02 Januari 2008

Equity, Equality, dan Efisiensi Pendidikan

Oleh Prof Dr H Arief Rachman MPd

Peningkatan profesionalisme guru melalui program yang terintegrasi, holistik sesuai dengan hasil pemetaan mutu guru yang jelas dan penguasaan guru terhadap teknologi informasi serta metode pembelajaran mutakhir. Dengan demikian, pemikiran bahwa guru identik dengan kapur, papan tulis, satpel dan buku sumber akan berubah karena guru akan sama dengan sarjana teknik atau komputer yang mahir menggunakan teknologi mutakhir dan menguasai bahasa asing.

Tentu saja, pekerjaan peningkatan kualitas yang berkaitan dengan profesionalisme guru itu harus beriringan dengan peningkatan kesejahteraan karena keduanya bagai dua sisi mata uang yang tidak dapat dipisahkan satu sama lain. Dengan demikian, guru akan menjadi profesi yang utuh dan terhormat, bukan lagi sebagai profesi kelas dua yang identik dengan "kekurangan" dalam konteks ekonomi dan profesionalisme.

Deretan panjang permasalahan pendidikan yang beberapa di antaranya telah dibahas dalam tulisan ini tentu sangat melelahkan. Betapa tidak, setiap tahun masyarakat Indonesia bahkan tidak hanya dihadapkan pada persoalan yang itu-itu saja, tapi ditambah berbagai persoalan baru, meskipun pada sisi lain ada hal-hal yang menggembirakan, misalnya kebijakan beberapa provinsi untuk meningkatkan tunjangan guru.

Berbagai upaya yang secara yuridis formal terimplentasi dalam berbagai produk UU rasanya tidak mempunyai kekuatan untuk menyelesaikan persoalan tersebut. Untuk itu, sehubungan dengan Peringatan Hari Guru Nasional, para guru diharapkan berbesar hati untuk tidak menggantungkan nasib pendidikan Indonesia pada pemerintah atau kebijakan karena sesungguhnya, gurulah yang menjadi ujung tombak dari keberhasilan tersebut. Sebab, guru yang paling memahami serta menguasai persoalan-persoalan riil yang ada di lapangan. Bagaimana pun idealnya kebijakan yang dikeluarkan pemerintah, jika guru tidak mempunyai good will untuk merealisasikannya, itu akan percuma. Asumsi tersebut dilandasi keyakinan bahwa seseorang yang siap dan bersedia untuk menjadi guru tentu dilandasi semangat pengabdian yang luar biasa sebagai implementasi dari tanggung jawab sosial untuk memberikan kontribusi terhadap peningkatan kualitas masyarakat Indonesia secara keseluruhan. Banggalah seorang guru yang telah berkesempatan untuk membantu orang lain mengangkat dan melepaskan diri dari kebodohan. Karena itu, guru harus mampu keluar dan melepaskan diri dari aktivitas menyalah-nyalahkan terus kebijakan yang mungkin tidak berpihak pada pendidikan.

Jika guru merasa bahwa mereka adalah ujung tombak, kelelahan itu mungkin akan sedikit terobati karena makin banyak guru yang tidak lagi terpasung sebuah aturan. Sebab, dialah yang menentukan. Tidak hanya menyiasati strategi pembelajaran dalam kondisi dan fasilitas yang mungkin minimal, tapi juga dengan semangat untuk terus meningkatkan kualitas profesional yang pada gilirannya dapat mendudukkan profesi guru sebagai profesi pilihan. Meminjam istilah apresiative inquiry, mari kita berdayakan sisi positif kita masing-masing untuk menyelamatkan pendidikan. Dengan demikian, secara perlahan, sisi negatif dunia pendidikan secara keseluruhan akan hilang dari bumi Indonesia.

Jangan Menghakimi Standar

Akses dan mutu pendidikan jika dibentang dari ujung Nanggroe Aceh Darussalam sampai Papua akan tergambar bahwa belum terjadi pemerataan mutu pendidikan dengan ukuran 8 (delapan) standar nasional pendidikan sesuai Peraturan Pemerintah Nomor 19 Tahun 2005.

Beberapa ukuran tersebut adalah sarana dan prasarana pendidikan, pendidik (guru) dan tenaga kependidikan, pembiayaan, pengelolaan, standar isi (kurikulum), proses pembelajaran, standar mutu lulusan, dan standar penilaian pendidikan.

Kebijakan penyusunan standar nasional pendidikan itu seyogianya menjadi pendorong untuk mewujudkan konsep equity, equality, dan efisiensi Pendidikan. Melalui pemetaan standar yang jelas, pemerintah secara sistematis memperbaiki berbagai standar nasional pendidikan. Jangan sampai adanya standar tersebut malah menghakimi standar yang lain seperti pada kasus ujian nasional (unas). Pemberlakuan standar penilaian tanpa memperhitungkan standar yang lainnya, yaitu mutu guru, standar mutu sarana dan parasarana, karena untuk seluruh Indonesia diberlakukan sama.

Berangkat dari kasus tersebut, menjelang 2008, pemerintah (pusat dan daerah) bersama masyarakat secara serius dan konsisten mengkaji ulang pendidikan yang bagaimanakah yang dikehendaki Undang-Undang Sistem Pendidikan Nasional. Jangan sampai kita terjebak pada kepentingan sesaat pendidikan untuk mengejar bayang-bayang mutu pendidikan, padahal mutu bangsa ini tidak berubah ke arah yang lebih baik. Penulis yakin, apa yang dibutuhkan bangsa ini sekarang sama seperti yang dicita-citakan dalam pasal 3 UU Sisdiknas. Dengan demikian, quity, equality, dan efisiensi dalam pendidikan juga dapat segera diwujudkan. Artinya, kita menginvestasikan pendidikan sesuai dengan kebutuhan bangsa dan negara ke depan.

Prof Dr H Arief Rachman MPd, analis pendidikan dan pendidik senior di Jakarta