02 Januari 2008

Equity, Equality, dan Efisiensi Pendidikan

Oleh Prof Dr H Arief Rachman MPd

Peningkatan profesionalisme guru melalui program yang terintegrasi, holistik sesuai dengan hasil pemetaan mutu guru yang jelas dan penguasaan guru terhadap teknologi informasi serta metode pembelajaran mutakhir. Dengan demikian, pemikiran bahwa guru identik dengan kapur, papan tulis, satpel dan buku sumber akan berubah karena guru akan sama dengan sarjana teknik atau komputer yang mahir menggunakan teknologi mutakhir dan menguasai bahasa asing.

Tentu saja, pekerjaan peningkatan kualitas yang berkaitan dengan profesionalisme guru itu harus beriringan dengan peningkatan kesejahteraan karena keduanya bagai dua sisi mata uang yang tidak dapat dipisahkan satu sama lain. Dengan demikian, guru akan menjadi profesi yang utuh dan terhormat, bukan lagi sebagai profesi kelas dua yang identik dengan "kekurangan" dalam konteks ekonomi dan profesionalisme.

Deretan panjang permasalahan pendidikan yang beberapa di antaranya telah dibahas dalam tulisan ini tentu sangat melelahkan. Betapa tidak, setiap tahun masyarakat Indonesia bahkan tidak hanya dihadapkan pada persoalan yang itu-itu saja, tapi ditambah berbagai persoalan baru, meskipun pada sisi lain ada hal-hal yang menggembirakan, misalnya kebijakan beberapa provinsi untuk meningkatkan tunjangan guru.

Berbagai upaya yang secara yuridis formal terimplentasi dalam berbagai produk UU rasanya tidak mempunyai kekuatan untuk menyelesaikan persoalan tersebut. Untuk itu, sehubungan dengan Peringatan Hari Guru Nasional, para guru diharapkan berbesar hati untuk tidak menggantungkan nasib pendidikan Indonesia pada pemerintah atau kebijakan karena sesungguhnya, gurulah yang menjadi ujung tombak dari keberhasilan tersebut. Sebab, guru yang paling memahami serta menguasai persoalan-persoalan riil yang ada di lapangan. Bagaimana pun idealnya kebijakan yang dikeluarkan pemerintah, jika guru tidak mempunyai good will untuk merealisasikannya, itu akan percuma. Asumsi tersebut dilandasi keyakinan bahwa seseorang yang siap dan bersedia untuk menjadi guru tentu dilandasi semangat pengabdian yang luar biasa sebagai implementasi dari tanggung jawab sosial untuk memberikan kontribusi terhadap peningkatan kualitas masyarakat Indonesia secara keseluruhan. Banggalah seorang guru yang telah berkesempatan untuk membantu orang lain mengangkat dan melepaskan diri dari kebodohan. Karena itu, guru harus mampu keluar dan melepaskan diri dari aktivitas menyalah-nyalahkan terus kebijakan yang mungkin tidak berpihak pada pendidikan.

Jika guru merasa bahwa mereka adalah ujung tombak, kelelahan itu mungkin akan sedikit terobati karena makin banyak guru yang tidak lagi terpasung sebuah aturan. Sebab, dialah yang menentukan. Tidak hanya menyiasati strategi pembelajaran dalam kondisi dan fasilitas yang mungkin minimal, tapi juga dengan semangat untuk terus meningkatkan kualitas profesional yang pada gilirannya dapat mendudukkan profesi guru sebagai profesi pilihan. Meminjam istilah apresiative inquiry, mari kita berdayakan sisi positif kita masing-masing untuk menyelamatkan pendidikan. Dengan demikian, secara perlahan, sisi negatif dunia pendidikan secara keseluruhan akan hilang dari bumi Indonesia.

Jangan Menghakimi Standar

Akses dan mutu pendidikan jika dibentang dari ujung Nanggroe Aceh Darussalam sampai Papua akan tergambar bahwa belum terjadi pemerataan mutu pendidikan dengan ukuran 8 (delapan) standar nasional pendidikan sesuai Peraturan Pemerintah Nomor 19 Tahun 2005.

Beberapa ukuran tersebut adalah sarana dan prasarana pendidikan, pendidik (guru) dan tenaga kependidikan, pembiayaan, pengelolaan, standar isi (kurikulum), proses pembelajaran, standar mutu lulusan, dan standar penilaian pendidikan.

Kebijakan penyusunan standar nasional pendidikan itu seyogianya menjadi pendorong untuk mewujudkan konsep equity, equality, dan efisiensi Pendidikan. Melalui pemetaan standar yang jelas, pemerintah secara sistematis memperbaiki berbagai standar nasional pendidikan. Jangan sampai adanya standar tersebut malah menghakimi standar yang lain seperti pada kasus ujian nasional (unas). Pemberlakuan standar penilaian tanpa memperhitungkan standar yang lainnya, yaitu mutu guru, standar mutu sarana dan parasarana, karena untuk seluruh Indonesia diberlakukan sama.

Berangkat dari kasus tersebut, menjelang 2008, pemerintah (pusat dan daerah) bersama masyarakat secara serius dan konsisten mengkaji ulang pendidikan yang bagaimanakah yang dikehendaki Undang-Undang Sistem Pendidikan Nasional. Jangan sampai kita terjebak pada kepentingan sesaat pendidikan untuk mengejar bayang-bayang mutu pendidikan, padahal mutu bangsa ini tidak berubah ke arah yang lebih baik. Penulis yakin, apa yang dibutuhkan bangsa ini sekarang sama seperti yang dicita-citakan dalam pasal 3 UU Sisdiknas. Dengan demikian, quity, equality, dan efisiensi dalam pendidikan juga dapat segera diwujudkan. Artinya, kita menginvestasikan pendidikan sesuai dengan kebutuhan bangsa dan negara ke depan.

Prof Dr H Arief Rachman MPd, analis pendidikan dan pendidik senior di Jakarta

Tidak ada komentar: