05 Januari 2008

Agama dalam Spiral Kekerasan

Oleh Nur Syam

Dalam salah satu seminar (15/12/07) tentang Pluralisme Agama di Era Indonesia Kontemporer: Masalah dan Pengaruhnya terhadap Masa Depan Agama dan Demokrasi oleh UIN Malang, ada pertanyaan yang dilontarkan peserta bahwa pengeboman terhadap pusat hiburan di Bali, 12 Oktober 2002 memiliki justifikasi agama. Salah satu alasannya adalah di wilayah itu sudah tidak lagi dikenali sebagai wilayah budaya Indonesia. "Mana budaya Indonesia-nya?" katanya.

Pertanyaan itu merupakan ekspresi kebencian terhadap Barat yang sudah mengakar pada banyak kalangan Islam, terutama kaum fundamentalis. Mereka menafsirkan sah-sah saja melakukan tindakan kekerasan terhadap mereka karena "keterpaksaan" religius. Tidak ada pilihan lain dalam melawan hegemoni Barat yang sudah memasuki "seluruh" kawasan kehidupan masyarakat.

Genealogi Kekerasan

Kekerasan tidak bisa dikaitkan dengan agama tertentu. Sebab, kekerasan adalah fenomena agama-agama. Secara historis, bisa dinyatakan bahwa di dalam agama terdapat potensi konflik yang disebabkan truth claimed para pemeluknya. Selain itu, ada dimensi social order yang dibangun relasi di antara para pemeluk agama-agama.

Sejarah mencatat berbagai kekerasan yang dipicu agama. Misalnya, penembakan etnis di California dan Illinois 1999, penyerangan kedutaan Amerika di Afrika 1998, pengeboman klinik aborsi di Alabama dan Georgia 1997, peledakan bom pada Olimpiade Atlanta dan penghancuran kompleks perumahan militer Amerika Serikat di Dhahran, Arab Saudi, 1996, penghancuran secara tragis bangunan Federal di Oklahoma City 1999, dan peledakan World Center di New York City 1993. Insiden dan kekerasan tersebut, oleh Marx Jurgensmeyer, memiliki keterkaitan dengan ekstremis-ekstremis keagamaan Amerika. Di antaranya milisi Kristen, gerakan Christian Identity, dan aktivis-ativis Kristen antiaborsi.

Pada 11 September 2001, dunia dikagetkan dengan peristiwa penghancuran World Trade Center (WTC). Simbol keangkuhan Amerika itu pun porak-poranda dan menyisakan duka serta derita mendalam. Dunia kembali tersentak melalui peristiwa Bali Blast, 12 Oktober 2002. Pengeboman yang meluluhlantakkan pusat hiburan di Legian, Bali, tersebut menandai bahwa dunia sedang berada dalam tekanan kekerasan yang ujung-ujungnya dilakukan gerakan fundamentalisme agama.

Di Inggris, terjadi pengeboman kereta api bawah tanah pada 7 dan 21 Juli 2005. Peristiwa itu diidentifikasi sebagai tindakan kelompok Islam garis keras sebagai akibat tindakan politik Amerika Serikat yang menginvasi Iraq.

Jika dilakukan pembacaan terhadap berbagai kekerasan dalam kurun waktu terakhir, hampir dipastikan bahwa yang menjadi sasaran kekerasan kelompok fundamentalisme adalah pusat-pusat berkembangnya budaya Barat. Hal tersebut menandakan gerakan anti-Barat itu sudah menjadi bagian dari sistem kognisi penganut Islam fundamental, meski nama dan organisasinya bervariasi.

Menurut asumsinya, berbagai kerusakan, baik fisik, lingkungan, maupun moral, adalah implikasi dari kebijakan Barat yang tidak memberikan ruang gerak bagi negara-negara berpenduduk muslim untuk bereksistensi diri. Barat telah melakukan penzaliman terstruktur terhadap masyarakat Islam. Karena itu, tindakan Barat yang meminggirkan Islam tersebut harus dilawan dengan berbagai cara seperti melakukan kekerasan tersebut.

Memang harus diakui, terdapat kenyataan hegemoni Barat, terutama Amerika Serikat, terhadap kehidupan sosial, politik, ekonomi, dan budaya. Bagaimana AS menjadi polisi dunia juga tidak diragukan keabsahannya. Sebagai polisi dunia itulah, AS melakukan berbagai tindakan yang dalam banyak hal merugikan umat Islam.

Indonesia yang mayoritas penduduknya beragama Islam juga merasakan tekanan-tekanan tersebut, misalnya dalam bentuk hegemoni budaya dan ekonomi.

Dalam bidang ekonomi ialah makin kuatnya tekanan ekonomi kapitalistik dan kegagalannya untuk memberikan kesejahteraan komunal. Dari sisi kebudayaan adalah semakin rentannya budaya lokal ketika berhadapan dengan budaya Barat di berbagai segmen kehidupan. Penetrasi dua aspek tersebut, selain aspek lain, semakin mengentalkan semangat perlawanan terhadap Barat yang dianggapnya sebagai "great satanic".

Nirkekerasan

Di Indonesia, gerakan anti-Barat makin meningkat. Ironisnya, gerakan itu justru memberikan stigma negatif dalam relasi agama-agama. Realitasnya, banyak tindakan yang bisa diidentifikasi sebagai gerakan anti-Barat yang kenyataannya adalah antiagama lain. Konflik di Indonesia Timur sering distigmakan sebagai konflik antarumat beragama, meski sesungguhnya bisa saja dipicu faktor politik atau ekonomi.

Akhir-akhir ini, juga terdapat perkembangan menarik dari kehidupan sosial, politik, dan agama pada masyarakat Indonesia. Dulu, masyarakat ini dikenal dengan budayanya yang adiluhung dan mengedepankan kerukunan, harmoni, dan selamat. Inti filsafat hidup tersebut kurang terlihat dalam praktik kehidupan masyarakat. Banyak konflik horizontal yang terjadi di mana-mana. Konflik antarsuku, desa, politik, dan agama terjadi di banyak wilayah.

Realitas empiris tersebut membenarkan berbagai survei yang mengeksplorasi tentang kecenderungan kekerasan di negeri ini. Berdasar survei bahwa 61,4 persen setuju untuk memerangi orang nonmuslim, 49 persen setuju membela perang dengan nonmuslim, 47 persen setuju pelarangan Ahmadiyah, 20 persen setuju dengan bom Bali, dan 18 persen setuju perusakan gereja.

Ketika kita membaca data itu, terdapat pertanyaan besar, benarkah tabiat masyarakat Indonesia yang sarat kelemahlembutan, kesopanan, dan penghargaan kepada yang lain sudah berubah sedemikian drastis?

Betapa besar angka 61,4 pesen untuk menyetujui memerangi orang nonmuslim dan betapa mengagetkan angka 20 persen yang menyetujui bom Bali dan 18 persen setuju perusakan gereja. Marilah angka-angka itu kita baca dengan hati nurani. Sebab, agama berurusan dengan hati nurani. Ketika mau memutuskan sesuatu, yang paling urgen adalah bertanya kepada hati nurani. Melalui hati nurani, sekurang-kurangnya akan dapat dinyatakan bahwa merusak, menghancurkan, dan membunuh bukanlah tabiat ajaran agama mana pun.

Bahkan, Nabi Muhammad SAW selalu mewanti-wanti agar dalam peperangan sekalipun, jangan membunuh perempuan, anak-anak, orang-orang yang lemah, merusak tempat tinggal, dan tempat ibadah.

Pemeluk agama apa pun menginginkan kedamaian, bukan konflik. Kedamaian adalah inti agama. Islam juga bermakna kedamaian. Karena itu, ketika seseorang beragama tetapi di dalam hatinya terdapat kecenderungan untuk melakukan kekerasan, dia telah terjauhkan dari pesan agama untuk memakmurkan kemanusiaan. Teologi agama apa pun pasti membenarkan agamanya sendiri.

Namun, jangan dilupakan bahwa manusia hidup dengan manusia lain yang memiliki pilihan-pilihan keyakinan di dalam kehidupannya. Maka, memberikan tempat lain untuk hidup adalah sebuah kewajiban. Ada sebuah kesepakatan pro-eksistensi, bukan hanya co-eksistensi.

Pada akhir-akhir ini, banyak tindakan untuk merusak, menghancurkan, dan membumihanguskan apa saja yang dianggap berlainan. Kiranya, pernyataan Masdar Farid Mas’udi (JP, 25/12/07) agar menghentikan berbagai macam kekerasan atas nama "kesesatan" dan "pengafiran" bisa direnungkan ulang. Tindakan seperti itu justru akan menghasilkan stigma yang tidak menguntungkan Islam sebagai agama yang mengusung jargon rahmatan lil’alamin. Jadi, meski kehidupan ini terasa menyesakkan, tetap masih ada ruang untuk saling berbagi. Ruang itu dinamakan teologi momot humanitas nirkekerasan. Wallahu a’lam bi al-shawab.

Prof Dr Nur Syam MSi, guru besar sosiologi IAIN Sunan Ampel

Sumber : Jawa Pos dotcom

Tidak ada komentar: