23 Desember 2007

Anomali Sarimin Noda Hitam Penegak Hukum

Oleh Hotman M. Siahaan

Raja monolog Butet Kartaredjasa dengan lakon Pengakuan Sarimin-nya sempat diancam akan dicekal oleh kepolisian Surabaya. Meski tak menjadi kenyataan, ancaman itu merupakan noda hitam penegak hukum terhadap wajah kesenian yang patut diberi catatan buruk pada akhir 2007. Inilah cacatan Hotman M. Siahaan.
———

Butet Kartaredjasa, sang raja monolog itu, kembali mengguncang Surabaya dalam dua malam pementasannya, 14-15 Desember 2007, dengan penonton membeludak lewat lakon Pengakuan Sarimin. Melalui Sarimin, si tandak bedhes, Butet mengoyak kenyataan betapa kejamnya hukum bagi keluguan rakyat, nurani kejujuran, bahkan nilai kemanusiaan.

Sarimin adalah representasi wong cilik yang masih punya nurani kejujuran, percaya pada kebenaran, dan mengagungkan hukum. Nasibnya menemukan KTP seorang hakim agung yang tercecer di lokalisasi, yang bagi orang kebanyakan mungkin suatu ketidakpedulian. Namun, bagi Sarimin sebaliknya, dengan kepeduliannya, dia hendak melaporkan dan menyerahkan KTP tersebut ke kantor polisi.

Tapi, itulah awal bencana nasibnya yang malang, dilindas purbasangka aparatur hukum, digencet mesin keadilan dan kebenaran yang bernama hukum, dan Sarimin tergilas tanpa sisa.

Lewat Sarimin, Butet mencabik-cabik jubah keadilan dan kebenaran serta mempertontonkannya sebagai borok yang busuk. Inilah konstruksi, hukum yang anomali, yang di dalamnya kepedulian adalah bencana, keluguan adalah prahara, dan kebenaran adalah kesalahan.

Bahkan, kebenaran Sarimin itu merupakan satu-satunya kesalahannya. Sebagai wong cilik, yang hidupnya melata di jalanan berdebu dengan segala kepapaan, di batin Sarimin masih tersisa sebongkah kepedulian sosial, kejujuran manusiawi.

Tapi, di negeri dengan hukum yang anomali, ternyata kejujuran, kepedulian, dan keluguan yang paling manusiawi sekalipun hanyalah bencana, angkara murka, justru ketika Sarimin masih memercayai hukum dan aparaturnya.

Butet "Sarimin" Kartaredjasa, lewat kepiawaian monolognya yang tak tertandingi, menyodorkan anomali hukum secara telanjang tanpa tedeng aling-aling. Inilah kisah betapa rakyat yang lugu, punya kepedulian, namun dipurbasangkai sebagai maling, sebagai pemeras.

Konstruksi aparatur hukum terhadap rakyat jelata ternyata bukanlah konstruksi sebagai empati atas keluguan dan kejujuruan rakyat, tapi justru konstruksi sebagai maling dan pemeras. Dan konstruksi itulah yang dipaksakan terhadap Sarimin, bukan saja oleh aparat suatu institusi hukum yang telah membuat Sarimin teronggok-onggok menunggu puluhan tahun, tapi juga oleh pengacaranya yang atas nama keadilan dan demi penyelamatan Sarimin memaksanya untuk mengakui kebenarannya sebagai kesalahan. Sempurnalah anomali itu.

Sarimin merupakan cermin rakyat yang tidak berdaya, mengalami keterasingan, alienated, justru karena kepercayaannya kepada hukum dan aparatnya. Dia terjerembap ketika disodori solusi yang sungguh tidak dinyana, yang makin membuat dirinya sebagai makhluk yang terjerembap dalam keterasingan. Bukan hanya ditawari melakukan suap, tapi juga mengakui kesalahan atas kebenarannya. Apa salah saya? Kata Sarimin menggerung menembus batas segala nurani kebenaran.

Kesalahanmu satu-satunya adalah karena kau benar. Itulah jawaban bagi Sarimin. Dan pernyataan itu justru dilontarkan oleh sang pengacara, yang seharusnya melakukan pembelaan kepada Sarimin.

Kalau kebenaran adalah kesalahan, hukum macam apa pula yang masih dipercaya di negeri ini? Kalau seorang rakyat miskin yang punya kepedulian sosial dan masih memiliki secuil kepercayaan kepada aparat penegak hukum, namun tiba-tiba dilindas hukum itu, ditawari solusi oleh aparat untuk melakukan penyuapan sejumlah uang yang tidak mungkin bisa dipenuhi demi kebebasannya, dipaksa pengacara untuk mengakui kesalahan demi keringanan hukuman, keadilan macam apa pula yang masih dipercaya oleh rakyat semacam Sarimin kepada hukum yang konon menjadi pilar utama bagi keadilan dan kebenaran?

Butet "Sarimin" Kartaredjasa telah mencabik-cabik realitas yang selama ini juga dimaklumi orang. Sarimin mempertontonkan kepada kita tampang yang sesungguhnya mengenai realitas hukum beserta seluruh aparatur penegaknya. Bukan hanya polisi, pengacara sekalipun dibelejeti di hadapan kita dan masya Allah… kita tidak bisa mengingkari kenyataan yang disodorkan Sarimin itu.

Penonton Sarimin riuh rendah tertawa terpingkal-pingkal, meski sesungguhnya kegetiran yang disodorkan, sekaligus kepiluan betapa wajah hukum dan aparatur hukum di negeri ini mencapai kesempurnaan anomali.

Sarimin mengalami anomie yang amat dalam. Apa yang dia yakini sebagai kebenaran ternyata di mata hukum adalah kesalahan. Untuk itu, dia harus menanggung akibatnya yang tak terperikan. Masuk bui. Sarimin mengalami alienasi ketika kepedulian sosialnya justru menjadi bencana bagi dirinya.

Secara tuntas, realitas itu disodorkan Butet kepada kita, lewat kepiawaian monolognya yang tiada tara. Sekali lagi, Butet, lewat Sarimin, makin mengukuhkan konstruksi kita tentang hukum di negeri ini, bahkan aparatur penegak hukum, apakah polisi maupun pengacara, yang ternyata hidup dalam rimba raya, siapa yang kuat dialah yang menang.

Seonggok kotoran dilemparkan Sarimin ke tampang hukum di negeri ini. Dan itulah kenyataannya. Tinggal kita menyikapi wajah penuh kotoran tersebut, mengakui ataukah tidak. Di tengah komitmen menegakkan hukum sebagai upaya memberikan keadilan bagi rakyat dan kaum tertindas, di tengah marginalisasi yang melanda rakyat yang terasing dan tidak berdaya, kita menyaksikan para petinggi dan aparatur penegak hukum yang piawai menggunakan hukum, meski tanpa rasa keadilan sekalipun.

Sarimin memang tidak paham bahwa tugas polisi amat banyak dan kesibukannya seabrek, sehingga tidak punya waktu untuk meladeni kepedulian sosialnya. Ketika aparat berpaling pada Sarimin, bukan keluguan Sarimin yang dihargai, tapi konstruksi kejahatan yang dijejalkan kepada Sarimin.

Kalau kebenaran adalah kesalahan, kalau kejujuran dan keluguan adalah bencana, kita menjadi amat maklum kalau pembalak hutan bisa bebas demi hukum. Kita juga maklum kalau pengemplang pajak bisa menumpuk kekayaan. Kita juga maklum kalau orang yang disodori kenyataan hukum yang dipahami Sarimin menjadi marah kepada Butet "Sarimin" Kartaredjasa. Apalagi karena Sarimin cuma seorang tandak bedhes. Bukankah ada peribahasa monyet buruk rupa cermin dibelah?

Prof Dr Hotman M. Siahaan, guru besar FISIP Unair, Surabaya

Sumber : Jawa Pos dotcom

Tidak ada komentar: