05 Desember 2007

Melayu; dari Kulturalisasi ke Politisasi

Oleh Sam Abede Pareno

Aneh dan menjengkelkan, sudah jelas berembel-embel "Ponorogo", reog diklaim pemerintah Malaysia sebagai kesenian Malaysia. Boleh jadi, soto Madura, pempek Palembang, dan gudeg Jogja yang juga beredar di negeri tersebut dipatenkan oleh negara yang merdeka dari tangan Inggris pada 31 Agustus 1957 itu sebagaimana juga telah mematenkan batik.

Entah apa yang mendorong Malaysia melakukan klaim dan patenisasi tersebut. Apakah ingin menunjukkan bahwa negara tetangga itu lebih memiliki keragaman budaya daripada Indonesia? Ataukah khawatir dianggap tidak punya kebudayaan "asli"?

Dalam konteks kebudayaan, seharusnya tidak perlu klaim dan patenisasi. Pemerintah Malaysia tentu mafhum, kulturalisasi antara bangsa-bangsa yang dikenal sebagai "Melayu-Polinesia" sudah berlangsung ratusan tahun. Selama itu pula tidak ada klaim, lebih-lebih patenisasi. Ratusan tahun silam, Indonesia, Malaya, Temasek (Singapura), Filipina, Thailand, Burma (Myanmar), Vietnam, Kambodia, sampai Madagaskar dan Hawaii dikenal sebagai bangsa serumpun Melayu-Polinesia.

Melayu Raya

Bahkan, dahulu para tokoh, intelektual, dan pejuang dari negeri-negeri itu mencanangkan satu negara bernama "Melayu Raya". Pada 1879, Parlemen Hawaii di Honolulu membahas kemungkinan penyatuan Dunia Melayu-Polinesia. Sepuluh tahun kemudian, Apolinario Mabini di Manila mengumumkan "Federation Malaya".

Pada 1932, tokoh mahasiswa University of Philippine bernama Wenceslao Q. Vinsons berorasi di kampusnya bahwa dirinya memimpikan kesatuan semua bangsa Melayu-Polinesia yang tergabung dalam Negara Melayu Raya. Vinsons meneruskan cita-cita pendahulunya, pencetus revolusi Filipina Jose Rizal (1861-1896) yang terkenal dengan novelnya Noli Me Tangere itu. Dalam tahun yang sama, pemuda Muhammad Yamin di Jakarta juga mengemukakan obsesinya tentang "Melayu Raya" atau "Indonesia Raya".

Gagasan "Melayu Raya" terungkap lagi ketika Indonesia-Filipina-Malaysia berencana mendirikan Maphilindo, singkatan dari Malaysia-Philipina-Indonesia di Manila pada 1963. Para presiden dari ketiga negara tersebut mengumumkan Deklarasi Manila yang menggabungkan negara mereka ke dalam Maphilindo.

Dalam pidato penutupan, Presiden Filipina Macapagal mengajak hadirin untuk mengenang kembali mimpi para nasionalis Filipina mulai Jose Rizal, Presiden Manuel Quezon, Wenceslao Vinzons, sampai Presiden Elpidio Quirino untuk menyatukan bangsa-bangsa Melayu. Macapagal menyebut Presiden Indonesia Soekarno dan Perdana Menteri Malaysia Tengku Abdul Rahman sebagai "two of the greatest sons of the Malay race".

Memudarnya Melayu Raya

Maphilindo tidak terwujud, justru berubah menjadi konfrontasi antara Indonesia dan Malaysia setelah Bung Karno mengumandangkan "Dwikora" yang pada pokoknya menyatakan bahwa Malaysia adalah proyek imperialis oleh karena itu harus di-ganyang. Apa alasan sesungguhnya di balik konfrontasi tersebut, masih merupakan misteri. Sebab, bersamaan dengan itu, kalangan TNI-AD di antaranya Ali Moertopo mengupayakan dihentikannya konfrontasi dengan Malaysia. Hubungan dua negara tetangga ini pada gilirannya mencair kembali.

Dampak konfrontasi yang dicanangkan Bung Karno itu ialah memudarnya cita-cita Melayu Raya, bahkan sudah tidak ada lagi tokoh-tokoh Indonesia, Malaysia, Filipina, Thailand, Singapura, Myanmar, Vietnam, Kambodia, dan Madagaskar yang mengungkit-ungkit sentimen Melayu. Masing-masing sibuk dengan persoalan negara dan masyarakat masing-masing.

Khusus bagi pemerintah dan rakyat Indonesia, boleh dikatakan nyaris melupakan ke-Melayu-annya karena sedang berproses menjadi Indonesia. Meskipun mayoritas secara kultural rakyat Indonesia tergolong ras Melayu-Polenesia. Hanya Papua yang mayoritas ras Melanesia, sedangkan Maluku dan pulau-pulau di Nusa Tenggara masih banyak yang Melayu kendati sudah meninggalkan ke-Melayu-annya.

Pewaris Melayu

Begitu Indonesia, begitu pula Filipina, Singapura, Thailand, Kambodia, Burma, Hawaii, dan Madagaskar. Terbentuknya Malaysia pada 1963 -sebelumnya mulai 1957 bernama Persekutuan Negara-Negara Melayu- membuat negeri tersebut menganggap diri sebagai pewaris sah kebudayaan Melayu. Nama "Malaysia" sudah lama digunakan tokoh dan pejuang yang mencita-citakan berdirinya Melayu Raya sehingga Malaysia merasa berhak atas Melayu.

Padahal, pada abad ke-7 Masehi, di Jambi (Indonesia) telah berdiri Kerajaan Melayu yang pada tahun 700 M ditaklukkan oleh Sriwijaya, namun bangkit kembali setelah Sriwijaya ambruk pada abad ke-12. Bahasa Melayu yang kemudian menjadi inti bahasa Indonesia dan bahasa resmi Malaysia bersumber di Riau (Indonesia). Siapa pewaris sejati Melayu?

Petinggi dan rakyat Malaysia bukan tidak memahami sejarah. Proses kulturalisasi di antara bangsa-bangsa Melayu telah melahirkan produk budaya mulai lagu, tari, kerajinan tangan, makanan, adat, dan sebagainya sama atau mirip di kawasan Melayu Raya, mulai Jawa sampai Madagaskar. Pemerintah dan rakyat Indonesia serta pemerintah dan rakyat lain tidak pernah mengklaim, apalagi mematenkan produk budaya tersebut. Indonesia tak mungkin mematenkan kacang China menjadi kacang Indonesia, barongsai menjadi kesenian Indonesia, jafin menjadi tari Indonesia, kendati sudah ratusan tahun hidup di Indonesia. Kita juga tak pernah menyoal klaim bahwa aktor dan penyanyi kondang P. Ramlee (1928-1973) yang lahir di Pulau Penang, Malaysia, itu orang Aceh -P di depan namanya itu adalah Puteh- karena memang tak perlu dipersoalkan. Banyak penyanyi keturunan Maluku yang tersohor di Belanda, kita pun tidak memasalahkannya, apalagi mengklaim dan mematenkannya.

Kulturalisasi jangan dipolitisasi. Biarlah reog, batik, serimpi, serampang dua belas, dan lain-lain itu menjadi milik kita yang pernah atau tetap disebut "Melayu". Biarlah pula wayang kulit dan wayang orang yang sudah berkembang di Malaysia, terutama di Johor Bahru, menjadi milik kita semua. Klaim dan patenisasi bukan ranah kebudayaan, melainkan domain politik. Jika Malaysia ingin menjadi pewaris Melayu, maka yang justru diwarisi dan dilestarikan ialah kebudayaan yang tumbuh dan berkembang di Indonesia, Singapura, Malaysia, Filipina, Thailand, Myanmar, Kambodia, Vietnam, Madagaskar, dan Hawaii. Ayo Cik!

Prof Dr H Sam Abede Pareno MM, budayawan, tinggal di Surabaya

Sumber : Jawa Pos dotcom

Tidak ada komentar: