27 Desember 2007

Otda Tergerus Inkonsistensi Pusat

Oleh Eko Prasojo

Sejak diimplementasikan pada 2001, UU No 22/1999 tentang Pemerintahan Daerah memberikan warna baru bagi kehidupan masyarakat. Demikian radikalnya, UU tersebut tidak hanya memberikan otonomi yang amat luas, tetapi juga mengagetkan elite lokal dan masyarakat untuk menyelenggarakannya.

Dengan berbagai macam problematikanya, UU tersebut direvisi pada 2004 melalui UU No 32/2004. Apa dan bagaimana tujuh tahun hasil otonomi daerah tersebut, berikut deskripsinya.

Tujuh tahun penyelenggaraan otonomi daerah (otda) direfleksikan oleh banyaknya inkonsistensi pemerintah pusat. Hal itu mengindikasikan belum siapnya pemerintah pusat untuk mengubah paradigma pemerintahan yang sentralistik ke arah pemerintahan yang desentralistik.

Inkonsistensi pemerintah pusat terjadi secara vertikal dan horizontal. Secara vertikal, inkonsistensi tersebut dicerminkan berbagai produk peraturan perundang-undangan yang tidak harmonis dan tidak sinkron. Sering ketentuan pengaturan dalam peraturan pemerintah mereduksi isi UU tentang Pemerintahan Daerah.

Hal itu, misalnya, terjadi dalam pengaturan PP 25/2000 tentang Pembagian Wewenang yang sangat jelas mereduksi kewenangan yang dimiliki pemerintahan daerah berdasar UU 22/2007. Demikian juga, pengambilalihan kembali bidang pertanahan yang sudah diserahkan UU 22/2007 kepada pemerintah daerah.

Pada sisi lain, berbagai macam peraturan perundang-undangan sering mengalami perubahan yang sangat cepat dan tidak memperhatikan kemampuan daerah untuk mengimplementasikannya.

Inkonsistensi secara horizontal bisa dilihat dari tidak harmonisnya ketentuan peraturan perundang-undangan antarsatu sektor dengan sektor lain. Bahkan, sebagian aparatur penyelenggara negara di Kementerian dan Lembaga Pemerintah Nondepartemen masih memiliki paradigma dan pemikiran yang sentralistik.

Hal itu, misalnya, direfleksikan dengan semakin banyaknya Unit Pelaksana Teknis (UPT), balai-balai, dan kantor-kantor regional dari Kementerian dan Lembaga Pemerintah Nondepartemen di daerah. Tujuan didirikannya berbagai lembaga teknis pusat di daerah merupakan kegamangan dan ketidakrelaan sektor di pusat terhadap kewenangan yang sudah diserahkan kepada pemerintah daerah.

Tetapi, harus diakui, ketiadaan perangkat dekonsentrasi di tingkat kabupaten/kota menyebabkan sulitnya koordinasi antara pemerintah pusat dan pemerintah daerah. Gubernur sebagai wakil pemerintah pusat di daerah tidak memiliki perangkat dekonsentrasi untuk menjalankan peran dan fungsinya tersebut.

Kedua hal itu -ketidakrelaan sektor di pusat terhadap kewenangan yang diserahkan kepada daerah dan ketiadaan perangkat dekonsentrasi- telah menyebabkan berbagai inkonsistensi dalam praktik penyelenggaraan otonomi daerah.

Dari perspektif daerah, otonomi diwarnai inkompetensi (ketidakmampuan) pemerintah daerah untuk menyelenggarakan urusan yang telah diserahkan. Banyaknya urusan yang diserahkan tidak diikuti dengan kemampuan sumber daya manusia (SDM) yang memadai.

Hal tersebut juga dipersulit dengan munculnya semangat putra daerah sehingga di sejumlah daerah terjadi overstaff (kelebihan pegawai), sedangkan di daerah-daerah lain terjadi understaff (kekurangan pegawai).

Pada awal-awal reformasi otonomi daerah, semangat kedaerahan itu sangat mengganggu mobilitas SDM antarsatu daerah dengan daerah lain sehingga otonomi daerah tidak dimaknai sebagai kewajiban untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat, tetapi lebih dalam kerangka penguatan ekslusivisme politik kedaerahan. Tentu tujuannya ialah mobilisasi politik.

Besar Pasak daripada Tiang

Selama 2001-2007 terbentuk 167 daerah otonom baru (Depdagri; November 2007). Pemekaran daerah menjadi simbol otda karena dengan pemekaran akan muncul kewenangan baru, jabatan-jabatan baru, DAU baru, dana perimbangan baru, dana dekonsentrasi baru, dan hal-hal lain sebagai konsekuensinya.

Pemekaran memang tidak boleh diharamkan, tetapi pemekaran yang tidak tepat menyebabkan inefisiensi penggunaan keuangan negara. Sebab, bagaimanapun, kekuatan keuangan negara untuk membiayai penyelenggaraan pemerintah memiliki keterbatasan.

Problem pemekaran terjadi karena kepentingan politik elite lebih menonjol daripada kepentingan kesejahteraan masyarakat. Secara politis, pemekaran juga diartikan sebagai "pembukaan" lapangan pekerjaan politik menjadi anggota DPRD dan lapangan jabatan baru lain yang muncul sebagai konsekuensi terbentuknya daerah otonom.

Pemekaran juga sekaligus membuat konfigurasi baru kekuatan partai politik di daerah yang dimekarkan yang bisa saja berbeda dengan daerah induknya. Terkait dengan implementasi kebijakan PP 129/2000, bisa dikatakan bahwa persetujuan politik pemekaran daerah sering berada "dalam ruang gelap". Ukuran persetujuan lebih sering dilakukan secara administratif oleh tim konsultan, sedangkan Dewan Pertimbangan Otonomi Daerah tidak berdaya untuk menolak pemekaran.

Persetujuan terhadap pemekaran juga sering tidak memberikan tempat yang luas untuk menganalisis apakah daerah benar-benar bisa dimekarkan atau tidak. Jika tidak terjadi komitmen politik untuk melakukan moratorium (penghentian sementara) sampai dilakukannya evaluasi menyeluruh terhadap daerah yang sudah dimekarkan, PP 78/2007 sebagai pengganti PP 129 Tahun 2000 tidak bisa efektif untuk mengerem laju tuntutan pemekaran daerah.

Terkait dengan pemekaran daerah adalah pengisian jabatan kepala daerah melalui pemilihan langsung (pilkadasung). Tujuan pilkadasung ialah meningkatkan partisipasi politik masyarakat untuk memilih secara langsung kepala daerahnya.

Partisipasi politik masyarakat itu harus dibayar mahal melalui APBD. Hal tersebut belum termasuk biaya-biaya tranksaksi ekonomi politik yang terjadi dalam proses dukung-mendukung pencalonan seorang kepala daerah dan harus dikembalikan melalui "arisan tender" dalam pengadaan barang dan jasa. Otonomi daerah pasca pemilihan langsung kepala daerah diwarnai tensi politik yang jauh lebih besar daripada tensi pelayanan publik. Birokrasi lokal menjadi tidak stabil karena dominasi intervensi politik dalam pengisian jabatan-jabatan kepala dinas, badan, dan kantor.

Best Practices Otda

Di beberapa daerah, otda memberikan wajah yang menggembirakan. Kewenangan yang diserahkan ke daerah telah mampu meningkatkan kualitas pelayanan publik dan indeks pembangunan manusia.

Pemerintah daerah yang mampu meningkatkan kesejahteraan masyarakatnya selalu ditandai kemauan politik dan kemampuan manajerial kepala daerah. Meski jumlahnya tidak terlalu banyak (misalnya, Lamongan, Sragen, Tarakan, Kebumen, Jembrana, Solok), hal itu bisa menjadi bukti bahwa otonomi daerah yang disertai dengan komitmen politik tinggi dari kepala daerah dan dukungan politik dari DPRD akan menjadi instrumen untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat.

Praktik otda yang menggembirakan tersebut harus menjadi perhatian seluruh stakeholders kehidupan bernegara bahwa penyelenggaraan otda yang bertanggung jawab, konsistensi pemerintah pusat termasuk DPR, dan kemampuan masyarakat untuk mengontrol pelaksanaan otonomi daerah akan menjadi kunci keberhasilan otda.

Keseimbangan antara sentralisasi dan desentralisasi akan mempertahankan keutuhan NKRI. Menjadi PR bagi kita agar corak pemerintahan yang desentralistik itu harus meningkatkan demokrasi dan kesejahteraan, bukan menjadi pemuas kepentingan elite belaka.

Prof Dr Eko Prasojo, guru besar FISIP UI, anggota Dewan Pertimbangan Otonomi Daerah (DPOD)

Sumber : Jawa Pos

Tidak ada komentar: