10 November 2007

Belum Pahlawan

Oleh Prof.Dr. Hj. Nina Herlina Lubis, M.S.

Hari ini, 10 November 2007, bangsa Indonesia mendapat tambahan empat pahlawan nasional. Dengan demikian, sejak Abdul Muis diangkat menjadi pahlawan nasional, total 140 orang pahlawan nasional dengan 11 di antaranya berasal dari Jawa Barat.

Sedianya, Mr. Sjafruddin Prawiranegara hari ini akan diangkat menjadi pahlawan nasional ke-12 yang diusulkan dari Jawa Barat. Namun, karena suatu alasan pada seleksi tahap akhir di Jakarta, tidak diloloskan. Tahun ini, sebenarnya ada 22 calon pahlawan nasional yang diusulkan dari berbagai provinsi yang lolos persyaratan administrasi. Enam orang di antaranya dari Jawa Barat.

Setelah dinilai Tim Penilai Pusat yang dibentuk oleh Badan Pembina Pahlawan Pusat, dari 22 orang calon berhasil lolos 7 orang, salah satunya adalah Mr. Sjafruddin Prawiranegara yang diusulkan oleh Pusat Penelitian Kemasyarakatan dan Kebudayaan Lembaga Penelitian Unpad. Tentu saja, perdebatan akademis untuk meloloskan calon-calon ini berjalan "seru". Namun, keputusan akhir berada di tangan presiden. Keputusan ini lebih bersifat politis. Meskipun demikian, pada umumnya, yang sudah lolos dari Tim Penilai Pusat, biasanya lolos juga dari tangan presiden. Kekecualian kadang terjadi, seperti tahun ini.

Mohamad Toha, yang sangat diharapkan masyarakat Jawa Barat untuk diangkat menjadi pahlawan nasional, menurut surat pemberitahuan resmi dari Badan Pembina Pahlawan Pusat, cukup mendapat penghargaan Bintang Maha Putra Pratama saja (yang sudah dianugerahkan terdahulu), sesuai dengan bobot pengorbanan/perjuangannya. Riwayat perjuangan Mohamad Toha dianggap sumir, kurang jelas, sehingga tidak memenuhi kriteria pahlawan nasional.

Empat calon lainnya, K.H. Hasan Maolani, Raden Ayu Lasminingrat, K.H. Ahmad Sanusi, dan K.H. Abdul Halim, bahkan dianggap tidak layak. Nama-nama itu masih harus melengkapi tambahan data dan fakta riwayat perjuangannya di bidang sosial kemasyarakatan dan politik sebelum diajukan kembali pencalonannya tahun depan.

Dalam kurun waktu lima tahun terakhir (2002 sampai 2006) Jabar mendapat tambahan lima pahlawan nasional. Masing-masing, Iwa Kusuma Sumantri, Gatot Mangkoepradja, Maskun Sumadipraja, K.H. Noer Alie, dan R.M. Tirto Adi Soerjo. Bandingkan dengan provinsi lain. Jawa Tengah, dalam 10 tahun terakhir hanya mendapat satu pahlawan nasional (tahun ini). Jawa Timur, dalam tiga tahun terakhir, mengusulkan dua pahlawan nasional dan belum berhasil. Dari keempat pahlawan nasional yang diangkat tahun ini: A.K. Gani, Anak Agung Gde Agung, Prof. Moestopo, dan Slamet Riyadi, ada yang sudah dicalonkan cukup lama. Untuk lima pahlawan Jawa Barat yang disebut di atas, dicalonkan sekali, langsung diangkat. Kecuali Gatot Mangkupradja yang diajukan dua kali: usulan pertama dianggap kurang data dan fakta.

Dari tahun ke tahun, jumlah calon yang ditolak dari seluruh provinsi rata-rata antara 15 hingga 20 orang karena setiap tahun calon yang masuk (termasuk yang mengulang) jumlahnya antara 20 hingga 30 orang. Alasan penolakan bermacam-macam. Bisa karena data kurang lengkap (jadi pengusulan bisa diulang), alasan politis (lebih baik tidak diusul ulang karena sia-sia saja), atau mungkin ditunda untuk tidak menimbulkan kecemburuan sosial (karena ada provinsi yang hampir tiap tahun mendapat tambahan pahlawan nasional, ada yang sangat jarang).

Mr. Sjafrudin

Berikut ini penulis kenalkan apa dan bagaimana perjuangan Mr. Sjafruddin Prawiranegara, tokoh yang gagal diangkat menjadi pahlawan nasional tahun ini. Sebelumnya Mr. Sjafruddin hampir dipastikan lolos. Bahkan, sanak keluarganya sudah mendapat ucapan selamat dari beberapa tokoh penting, termasuk dari mantan menteri.

Sjafruddin adalah tokoh penting. Tanpa Sjafruddin mendirikan Pemerintah Darurat Republik Indonesia (PDRI), maka eksistensi republik ini entah masih ada atau tidak. Ketika Presiden RI Soekarno dan Wakil Presiden Mohamad Hatta ditangkap Belanda tahun 1949, Belanda menggembar-gemborkan bahwa RI sudah hancur. Sjafruddin dengan sigap mendirikan PDRI di Sumatra Barat, kemudian disiarkan ke dunia internasional sehingga di PBB bisa dibuktikan bahwa Belanda berbohong karena RI ternyata masih ada.

Ketika Soekarno Hatta dibebaskan, Sjafruddin pun menyerahkan kembali jabatannya sebagai "the acting president" kepada Soekarno dan PDRI pun dibubarkan. Inilah jasa terbesar Sjafruddin. Jasa lainnya, Sjafruddin (1911-1989) adalah menteri dalam kabinet Syahrir. Dia juga Menteri Kemakmuran dalam Kabinet presidensial Hatta dan kemudian menjadi Wakil Perdana Menteri yang berkedudukan di Kutaraja. Setelah itu menjadi Menteri Keuangan RIS dan Menteri Keuangan Kabinet RI yang pertama di bawah PM Natsir. Jabatan penting lainnya yaitu menjadi Presiden Direktur Javasche Bank yang terakhir dan Gubernur Bank Indonesia yang pertama.

Pada tanggal 22 Desember 2006, Presiden RI, menetapkan hari berdirinya PDRI sebagai Hari Bela Negara. Ini adalah keputusan yang sangat tepat karena lahirnya PDRI adalah ekspresi dari kehadiran negara yang tidak terputus meskipun ibu kota telah diduduki dan presiden serta wakil presiden telah ditangkap. PDRI adalah pertanda survival of the states. Ketika Jenderal Spoor mengatakan bahwa RI sudah tiada.

Dalam kariernya sebagai pemimpin dan tokoh masyarakat, Sjafruddin selalu lebih mengutamakan kesatuan dan persatuan daripada mempertahankan legitimasi konstitusional. Sjafruddin juga menyumbangkan gagasan pemikiran yang mengangkat harkat dan martabat bangsa. Sebagai contoh, pada 1952, ketika Javasche Bank dinasionalisasi, Sjafruddin diangkat sebagai Presiden Direktur Javasche Bank menggantikan orang Belanda, dan menjadi Gubernur BI pertama, bulan Juli 1953. Nasionalisasi itu dengan pembelian saham dari pasar saham di Negeri Belanda.

Sjafruddin dalam kehidupan kenegaraan adalah seorang yang berpikir jauh ke depan. Ketika RUU Bank Indonesia sedang dirumuskan dia memperjuangkan agar Bank Indonesia sebagai Bank Sentral tetap merupakan lembaga independen tidak di bawah dominasi pemerintah. Karena kalau kekuasaan politik mencakup kekuasaan masalah keuangan, tentu bisa membahayakan sirkulasi keuangan. Baru pada tahun 1999, gagasan Sjafruddin ini dijadikan landasan UU Bank Indonesia yang baru pada masa Kepresidenan B.J. Habibie.

Demikian sebagian kecil jasa Mr. Sjafruddin Prawiranegara. Sudah selayaknyalah beliau mendapat penghargaan tertinggi dari pemerintah RI, atas jasa-jasanya yang besar bagi bangsa dan negara ini berupa predikat pahlawan nasional.

Amendemen

Sehubungan dengan peraturan perundang-undangan tentang pahlawan nasional yang berlaku, ada baiknya pemerintah pusat melakukan amendemen terhadap perundang-undangan yang ada karena ada pasal-pasal yang sebenarnya kurang relevan atau menjadi tidak relevan lagi. Misalnya persyaratan bahwa calon harus warga negara Indonesia. Padahal umumnya calon yang berasal dari masa pergerakan atau dari masa sebelum republik berdiri jelas-jelas bukan WNI karena Indonesia belum lahir.

Harus pula ditambahkan pasal-pasal lain yang memberikan peluang kepada para calon baru, yang berjasa di bidang lain (pendidikan, ekonomi, dsb.) karena calon-calon pahlawan yang berjuang melawan penjajah Belanda atau Jepang itu sudah hampir habis.

Selain itu, pemprov ada baiknya membuat perda yang mengatur pemberian gelar pahlawan daerah atau sejenisnya untuk mengakomodasi calon-calon pahlawan nasional yang dianggap pantas oleh masyarakat Jawa Barat, namun tidak lolos dalam seleksi tingkat pusat. Misalnya seperti Mohammad Toha.

Akhirnya, kepada masyarakat Jawa Barat, jangan kecewa kalau ada tokoh-tokoh yang layak mendapat gelar pahlawan nasional, tetapi tidak bisa jadi pahlawan. Mereka akan tetap menjadi pahlawan di hati masyarakat.***

Penulis, Guru Besar Ilmu Sejarah Fak. Sastra Unpad, Kepala Pusat Penelitian Kemasyarakatan dan Kebudayaan Lemlit Unpad, Ketua Masyarakat Sejarawan Indonesia Cabang Jawa Barat.

Sumber : Pikiran Rakyat Online

Tidak ada komentar: