13 November 2007

Menciptakan Profesionalisme Hakim

Oleh Nur Basuki Minarno

Salah satu yang memengaruhi tingginya indeks persepsi korupsi di Indonesia adalah sistem peradilan yang korup, terjadi mafia peradilan, aparat penegak hukum menerima suap. Semua itu menimbulkan persepsi negatif terhadap peradilan kita.

Dalam blueprint MA dinyatakan bahwa peradilan kita masih carut-marut, terjadi mafia peradilan, hakim korup, hakim tidak beretika, dan masih banyak lagi. Itu sebuah kejujuran yang dikemukakan lembaga peradilan tertinggi.

Hakim dalam melaksanakan tugasnya harus mempunyai tingkat pemahaman hukum positif yang baik serta memperhatikan Pedoman Perilaku Hakim (PPH). Ada beberapa prinsip dasar PPH. Di antaranya, hakim harus berperilaku jujur, adil, berintegritas tinggi, profesional, dan berwibawa.

Prinsip dasar inilah yang harus dijunjung hakim dalam menjalankan tugas maupun berinteraksi sosial. Jika hakim dalam melaksanakan tugasnya maupun berinteraksi sosial melanggar PPH dimaksud, menjadi tugas Komisi Disiplin untuk menegakkan aturan itu. Hakim dalam ruang sidang menggunakan HP, bermain golf dengan salah seorang pengacara yang bersengketa, menggunakan toga sambil merokok merupakan beberapa contoh perilaku menyimpang atau bertentangan dengan PPH.

PPH dibuat MA pada 2006. Jika ditelusuri ke belakang, sebetulnya PPH itu lahir atas dasar suatu kekhawatiran atau ketakutan dari MA terhadap kode etik atau PPH yang akan dibuat Komisi Yudisial (KY). Masih segar dalam ingatan kita, terjadi perseteruan antara Komisi Yudisial dan Mahkamah Agung terkait dengan penegakan kode etik hakim. Jika kode etik atau PPH itu dibuat KY, akan terjadi problematik yang sangat rumit bila dihadapkan pada suatu permasalahan tentang siapakah yang mempunyai kewenangan untuk menegakkan pelanggaran etika hakim atau PPH?

Kelahiran Komisi Yudisial yang terlepas dari MA patut menjadi pertanyaan konstitusional, meskipun dalam konstitusi/UUD 1945 diatur. Betapa tidak, KY semestinya berada dalam institusi MA, tidak berdiri sendiri.

Akan menjadi kesulitan jika menghadapi suatu persoalan tentang hakim yang melanggar kode etik/PPH, baik ringan maupun berat, apakah KY dapat memberikan sanksi? Tentu saja tidak dapat karena hakim secara struktural maupun fungsional berada di bawah MA. Jika demikian, apakah tugas dan wewenang KY?

Di Indonesia, begitu mudah membentuk suatu lembaga yang bernama komisi. Barangkali tidak dapat dihitung berapa komisi yang ada dewasa ini. Yang menjadi pertanyaan, apakah komisi-komisi tersebut dapat menjalankan tugasnya?

Banyaknya komisi itu sangat memberatkan keuangan negara karena komisi-komisi tersebut menjadi beban APBN dengan suatu tugas yang kurang jelas, apalagi jika diukur efektivitas dan efisiensinya.

Hakim Spesialis

Di pengadilan negeri, pengadilan tinggi, maupun MA, hakim dapat menangani beberapa macam kasus sesuai dengan surat penetapan ketua pengadilan/ketua MA.

Di pengadilan negeri, misalnya, seorang hakim pada hari yang sama dapat menangani perkara perdata dan perkara pidana. Demikian pula hakim agung yang berasal dari Pengadilan Agama atau Tata Usaha Negara menangani perkara kepailitan atau perkara pidana. Luar biasa hakim tersebut, tetapi bagaimana putusannya, terutama dalam ratio decidendi-nya? Itu yang memprihatikan.

Banyak kasus yang dapat diketengahkan. Misalnya, perkara kepailitan PT Dirgantara Indonesia (DI) dan PT Tempo yang diputus MA. Hakim agung yang memeriksa perkara tersebut kurang mempunyai kemampuan hukum kepailitan atau hukum pidana sehingga putusan itu menunjukkan kekurangpahaman atas norma-norma hukum yang berlaku dalam perkara tersebut.

MA perlu mencetak atau membentuk hakim-hakim spesialis, yang tidak seperti sekarang. Dalam pendidikan calon-calon hakim/hakim, MA dapat menilai kemampuan hakim/calon hakim tersebut.

Jika calon hakim/hakim itu mempunyai kemampuan dalam bidang hukum pidana, hakim tersebut diberikan tugas khusus untuk memeriksa perkara pidana saja, tidak untuk perkara lain. Jika sudah ditetapkan menjadi hakim pidana, janganlah dipindah-pindah untuk menangani kasus yang lain.

Banyak contoh yang dapat diketengahkan. Hakim PN dimutasi menjadi hakim PUTN atau sebaliknya. Hakim Pengadilan Agama dimutasi menjadi hakim PTUN atau sebaliknya. Itu akan merusak profesionalisme hakim.

MA dalam melakukan mutasi hakim harus benar-benar memperhatikan beban pengadilan dalam menangani perkara. Jika dalam pengadilan kelas I-A, misalnya, perkara pidananya lebih besar, hakim yang paling banyak ditempatkan di situ adalah hakim pidana, demikian pula seterusnya.

Demikian pula, ketua pengadilan dalam menetapkan majelis hakim harus memperhatikan kemampuan individual hakim. Putusan hakim akan mencerminkan tingkat kemampuan majelis hakim. Alangkah ironisnya jika ratio decidendi-nya tidak mencerminkan kemampuan intelektualnya.

Yang tidak kalah penting, ketua pengadilan mengupayakan majelis hakim yang tetap. Banyak sidang ditunda karena anggota majelis hakim masih mengikuti sidang dalam majelis hakim lain.

Masing-masing pengadilan hendaknya membuat jadwal sidang dan jadwal tersebut disampaikan ke penuntut umum, penggugat, serta tergugat. Hal itu dimaksudkan agar pihak yang terkait mengetahui dan terikat dengan jadwal tersebut. Ketentuan itu akan mengeliminasi persidangan yang molor.

Dr Nur Basuki Minarno SH MHum, staf pengajar pada Fakultas Hukum Unair

Sumber : Jawa Pos dotcom

Tidak ada komentar: