12 November 2007

Menundukkan Globalisasi

Oleh : Prof A Qodri Azizy

Sehabis tadarusan di sebuah musala di kampung, bertemulah tiga orang: Pak Saleh, Umar, dan Fahmi. Mereka ngobrol dan bercerita apa yang mereka lihat di televisi mereka masing-masing yang baru saja mereka beli sehari sebelumnya. Mereka bertetangga. Dan memang telah membeli televisi bareng: mareknya sama, ukurannya sama, antenanya pun sama.

Pak Saleh kecewa berat karena begitu melihat TV, dia langsung melihat bagaimana penguasa Burma memorakporandakan orang-orang yang berdemo. Dia anggap, TV itu hanya berisi tembak-tembakan melulu. Pak Umar lebih kecewa lagi, karena begitu melihat TV, dia melihat Madonna sedang meliuk-liukkan tubuhnya sambil diiringi lagu-lagu yang menghunjam masuk ke dada. Dia merasa berdosa melihat TV yang hanya berisi hiburan keterlaluan seperti itu.

Sebaliknya, Pak Fahmi dengan bulu kuduknya berdiri serta terbata-bata dengan haru dan bangganya, dia menceritakan betapa terbawa suasana berihram mengelilingi Kakbah di Makkah. Dia menangis ketika tayangan itu selesai, kayak anak kecil yang kehabisan film kartoon di TV.

Berita atau info kekerasan, info hiburan yang melebihi ukuran adat Jawa, dan info praktik ihram menyatu di sebuah barang yang disebut TV. Semua itu info dari luar negeri, informasi global yang dapat kita saksikan dalam waktu yang sama. Saya belum tahu seandainya Pak Umar melihat hiburan tadi juga melihat acara pornografi di internet.

***

Informasi global atau yang lebih luas lagi globalisasi berisi macam-macam hal yang memang terkadang bertentangan dari segi nilai. Baik-buruk ada di situ. Masing-masing akan berpengaruh. Informasi tadi tetap ada dan akan selalu ada serta tidak bisa dilarang. Mungkin bisa dijauhi, namun tidak mungkin menjauhi secara keseluruhan. Gesekan akan terjadi, bahkan juga kompetisi.

Alat-alat komunikasi akan selalu tersedia dan akan semakin canggih. Kini dengan telepon seluler yang kecil dan dapat dibawa ke mana-mana, semua program dapat diakses. Kita mengakses, kita menerima informasi global, kita menggunakan alat dengan segala jenis dan bentuknya: ini semua berarti kita respons secara pasif.

Kita sebagai objek globalisasi. Kita sebagai sasaran globalisasi. Kita sebagai pasar globalisasi. Untuk itu, mudah. Kita harus mampu menilai dan memilah serta memilih: mana yang baik dan mana yang tidak baik.

Ketika acara TV di seluruh dunia tersedia dengan berbagai jenis dan macam dari yang ibadah sampai dengan yang maksiat, maka respons kita hanya memilih. Kita akan memilih yang baik dan ada manfaatnya dan syukur dapat pahala. Meskipun, kita sadar bahwa ada di antara kita yang akan memilih yang lainnya: hiburan, info tentang kekerasan, peperangan, dan sejenisnya.

Para ustad mudah untuk memberikan taushiyah: pilih yang ini, jangan yang itu. Pada tahap ini, sekali lagi, kita menjadi sasaran dan objek dan hanya bisa memilih. Dalam waktu bersamaan, di sini berlaku ajaran khiyar dan tanggung jawab. Qad tabayyana al-rusydu min al-ghayyi (sungguh jelas antara yang benar dan yang lacur). Meskipun sekadar pasif, namun harus bisa menerapkan ajaran tentang khiyar, pilihan dan tanggung jawab. Pada akhirnya, hasil dan konsekuensi akan kembali kepada kita masing-masing sesuai dengan pilihan apa yang kita ambil. Fa-man ya’mal mitsqala dzarratin khairay yarah; wa man ya’mal mitsqala dzarratin syarray yarah (barang siapa berbuat sekecil atom apa pun berupa kebaikan nanti akan menyaksikannya. Dan barangsiapa berbuat kejelekan sekesil atom apa pun, nanti dia akan menyaksikannya pula).

***

Yang lebih penting lagi adalah bukan respons pasif, di mana kita sebagai objek globalisasi. Namun, alangkah baiknya bila kita melakukan respons aktif, bahkan juga progresif. Yakni, kita juga sekaligus sebagai pemain globalisasi.

Globalisasi ibarat hutan belantara atau lapangan tebuka: siapa saja bisa memanfaatkannya. Tergantung siapa berbuat, dia akan dapat. Man jadda wajad. Bumi ini diciptakan oleh Allah untuk kemakmuran manusia, termasuk umat Islam di dalamnya. Huwa ansya’akum wa ista’marakum fiha. Apalagi, manusia disebut sebagai khalifah fi al-ardh, penguasa/pengelola bumi.

Ini harus dipahami bahwa umat Islam, menurut ajaran Islam, tidak sekadar menjadi objek globalisasi yang cukup dengan respons pasif. Umat Islam tidak sepantasnya seperti dalam diskripsi contoh Pak Saleh, Umar, dan Fahmi di atas. Kalau sekadar objek dan pengguna, maka bukan khalifah. Bukan subjek dalam memakmurkan bumi seisinya. Padahal, bumi dan langit itu untuk kita, umat manusia, termasuk -kalau tidak disebut dengan terutama- umat Islam.

Lebih Islami yang mana: sekadar objek dan pengguna atau sebagai subjek dan pencetus/inovator dalam globalisasi? Seharusnya, para ulama dan ustad kita berani mengatakan dan memberikan fatwa lebih Islami mereka yang menjadi inovator/pencetus informasi global, meskipun masih dikasih embel-embel ketika sama-sama umat Islam. Nah di sini, you get the point.

Ketika ustad dan mubalig kita hanya mengajarkan untuk menjadi objek kemajuan, berarti masih kurang atau salah. Kita pun hampir tidak pernah mendengarkan mubalig kita mengajarkan ajaran kompetisi. Padahal, inti globalisasi adalah kompetisi. Kompetisi yang sebenarnya yang akan menghasilkan kalah dan menang.

Bukankah ajaran kompetisi telah dihancurkan dengan model penyampaian ajaran tawakal? Bukankah ajaran inovasi telah diubah oleh gaya penyampaian ajaran qana’ah? Bukankah ajaran untuk memberikan zakat (kaya) telah dihancurkan dengan penyampaian ajaran tentang menerima zakat (miskin)? Bukankah ajaran kerja keras (amal shalih) telah dihancurkan dengan penyampaian ajaran tentang amal seikhlasnya? Bukankah ajaran menepati janji telah dihancurkan dengan penyampaian dai tentang insya Allah? Dan masih sederet kekeliruan praktik kita dalam menjalankan ajaran Islam.

Kita telah de jure ber-Islam, namun de facto masih jauh dari ajaran Islam yang sebenarnya. Selama umat Islam masih terbelenggu oleh kekeliruan penyampaian para tokoh kita, selama itu pula umat Islam masih selalu akan menjadi objek globalisasi. Padahal, ajaran Islam mengharuskan kita menjadi subjek, pelaku, dan pemain keduniaan, termasuk globalisasi. Terjadi paradoks dalam ber-Islam.

Oleh karena itu, harus ada perubahan. Harus ada perbaikan praktik beragama Islam. Ini harus dimulai dari pemahaman ajaran Islam itu sendiri. Islam mengajarkan untuk memberikan zakat, infak, sedekah, dan sejenisnya. Namun dalam praktik ajaran kita, kita ditekankan untuk menjadi penerima.

Islam mengajarkan hasanah fi al-dunya; namun kita diajarkan untuk menjadi terbelakang dan kebodohan yang diselimuti kemiskinan. Mari kita renungkan! Mari kita sadari! Mari kita bertindak dan berubah! Inna Allaha la yughayyiru ma bi-qaumin hatta yughayyiru ma bi-anfusihim.

Prof Dr A. Qodri Azizy MA, guru besar Fakultas Syari’ah IAIN Walisongo Semarang

Sumber : Jawa Pos

Tidak ada komentar: