15 November 2007

"Daur Ulang" Calon Presiden

Oleh Syamsuddin Haris

Setelah Megawati Soekarnoputri menyatakan kesediaan menjadi calon presiden untuk Pemilu 2009, Selasa (18/9) Abdurrahman Wahid mengemukakan pernyataan serupa. Dua mantan presiden ingin kembali menjadi calon presiden.

Selain Megawati dan Abdurrahman Wahid (Gus Dur), diduga "daur ulang" atas calon presiden (capres) juga akan dilakukan beberapa partai lain menjelang pemilu mendatang. Tokoh-tokoh politik lama amat mungkin akan beredar kembali untuk menebar pesona dan menawarkan harapan serta janji-janji politik baru. Mengapa demikian? Bagaimana kita harus membaca dan memahaminya?

Personalisasi kepemimpinan

Dalam kaitan ini, ada beberapa faktor yang saling terkait di balik fenomena "daur ulang" capres.

Pertama, fenomena "daur ulang" capres bisa jadi merupakan refleksi dari mengentalnya personalisasi kepemimpinan dan kekuasaan di internal partai-partai sehingga potensi kepemimpinan alternatif tidak pernah memiliki peluang untuk tumbuh dan berkembang di dalam partai. Konflik internal partai-partai, yang melahirkan partai baru, sebagian besar dipicu oleh berkembangnya kepemimpinan partai yang cenderung personal seperti ini. Tidak jarang sikap, pilihan, bahkan "selera" pribadi pemimpin partai menjadi "hukum" dan keputusan tertinggi yang mengalahkan kesepakatan kolektif yang telah diputuskan forum resmi partai.

Kedua, partai-partai kita cenderung terperangkap sebagai "broker" bagi pertukaran kepentingan di antara para elitenya ketimbang sebagai wadah untuk seleksi dan pembentukan pemimpin yang bertanggung jawab. Ironisnya, fenomena pertukaran kepentingan itulah yang cenderung mendominasi arena muktamar, kongres, munas, atau rapimnas, dan rakornas partai-partai politik kita. Akibatnya, agenda yang ditunggu peserta muktamar, kongres, munas, rapimnas, atau rakornas bukan resep mujarab mengatasi korupsi dan mengurangi kemiskinan dan pengangguran, misalnya, tetapi masalah klasik kekuasaan: siapa mendapat apa dan bagaimana (cara) mendapatkannya.

Ketiga, partai-partai bagaimanapun adalah miniatur masyarakat. Fenomena "daur ulang" capres bukan saja mengindikasikan realitas krisis kepemimpinan partai-partai, tetapi juga krisis kepemimpinan pada tingkat masyarakat. Tokoh-tokoh agama, tokoh adat, atau pengusaha kini kehilangan kepercayaan dari rakyat karena berbondong-bondong memilih terjun ke politik ketimbang mengabdikan hidupnya sebagai pemimpin masyarakat. Krisis yang sama terjadi di tingkat negara. Sejumlah anggota parlemen (DPR dan DPD), yang mendapat mandat sebagai wakil rakyat selama lima tahun, justru "lari" dari tanggung jawab dengan mencalonkan diri sebagai gubernur. Begitu pula sebagian anggota DPRD yang berburu jabatan bupati dan wali kota melalui pilkada.

Keempat, sebagai dampak sekaligus warisan sistem otoriter, relasi antarkelompok atau golongan masyarakat dewasa ini masih diwarnai psikopolitik saling tidak percaya satu sama lain.

Akibatnya, seorang pemimpin politik diterima dan ditolak, atau dipuja dan dibenci, bukan karena ide serta visinya tentang masa depan bangsa, tetapi karena warna dan identitas kulturalnya. Dilemanya adalah para pemimpin partai sering bersembunyi di balik jubah kultural itu sehingga hampir selalu "bias" dalam membaca realitas masyarakat.

Absurditas elite

Karena itu, pilihan partai-partai untuk men-"daur ulang" capres bagi pemimpin yang "gagal" menjadikan bangsa ini lebih baik sebenarnya merupakan langkah mundur demokrasi kita. Fenomena itu tak lebih dari konfirmasi atas sinyalemen bahwa bisnis partai politik belum berubah, yakni berkisar pada perburuan kekuasaan dalam pengertian sempit.

Masalah bagaimana kekuasaan itu dikelola secara benar, amanah, dan bertanggung jawab, relatif belum menjadi agenda serius partai-partai politik kita. Tidak mengherankan jika kesibukan para politisi menjelang pemilu presiden bukan mengevaluasi faktor-faktor kegagalan bangsa dalam mengangkat hak dan martabat, tetapi saling merangkai pasangan calon. Para elite politik yang bersaing disandingkan atas dasar kategorisasi yang kadang absurd: Islam-nasionalis, Jawa-luar Jawa, sipil-militer, dan seterusnya. Ironisnya, rasionalitas politik masyarakat pun akhirnya terperangkap ke dalam absurditas para elite politik.

Masalah kapabilitas, integritas, dan komitmen kandidat bagi perubahan menjadi nomor sekian. Visi, misi, dan platform politik kandidat akhirnya hanya menjadi proforma, sekadar pemenuhan persyaratan administratif yang ditentukan undang-undang. Akibatnya, bangsa kita tak pernah benar-benar bangkit keluar dari krisis multidimensi meski selama sewindu terakhir empat presiden pengganti Soeharto telah memimpin negeri ini.

Tanggung jawab pemimpin

Terlepas dari peluang dan kelayakan, kesediaan Megawati dan Gus Dur sebagai capres merupakan hak politik yang dijamin konstitusi. Juga menjadi hak PDI-P dan PKB untuk mengusung kembali dua mantan presiden ini menjadi capres pada pemilu mendatang.

Masalahnya, aneka problem bangsa ini mungkin tak akan pernah terselesaikan jika elite politik hanya berlomba merebut hak, tetapi lupa kewajiban dan tanggung jawab etis mereka sebagai pemimpin. Salah satu kewajiban dan tanggung jawab pemimpin seperti Megawati dan Gus Dur adalah melahirkan pemimpin-pemimpin baru melalui pelembagaan partai secara demokratis, sistem kaderisasi dan seleksi kepemimpinan yang terukur, serta pemberian kesempatan bagi generasi muda yang memiliki potensi. Selain itu, para pemimpin partai seharusnya ikut bertanggung jawab dalam mendidik dan mencerdaskan massa pendukungnya, bukan sekadar memanfaatkan, memanipulasi, dan meninabobokan mereka untuk kepentingan segelintir elite.

Jadi, tanpa harus menjadi capres atau calon wapres kembali, para elite partai sebenarnya justru bisa menjadi pemimpin besar dalam arti sebenarnya jika tanggung jawab etis lebih didahulukan ketimbang sekadar merebut hak.

SYAMSUDDIN HARIS Profesor Riset Ilmu Politik Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia

Sumber : KCM


Tidak ada komentar: