21 November 2007

Proyeksi Politik Ekonomi 2008 (1)

Oleh Didik J. Rachbini

Pertumbuhan Bergantung Harga Minyak
Politik sudah menghangat di penghujung 2007 ini dengan ditandai dinamika partai dan tokoh-tokoh, yang mulai menampakkan diri sebagai calon presiden pada 2009. Pada 2008, kondisi politik akan lebih hangat dari yang sudah berjalan saat ini.

Ekonomi juga memanas dengan kenaikan harga minyak internasional, yang tidak diperkirakan oleh siapa pun, dalam beberapa pekan terakhir. Harga minyak tidak sekadar naik, tetapi meroket sangat tinggi sehingga pantas disebut sebagai faktor yang dapat mengguncang ekonomi.

Politik dan ekonomi saling tali-temali sehingga masalah di bidang ekonomi dapat bertransformasi ke bidang politik. Sebaliknya, masalah di bidang politik dapat bertransformasi ke bidang ekonomi.

Ekonomi
Pada pertengahan semester kedua 2007, pemerintah sangat optimistis perekonomian nasional dapat digenjot dengan pertumbuhan ekonomi yang cukup tinggi. Bahkan, pemerintah mengajukan target pertumbuhan ekonomi kepada DPR sampai 7 persen karena yakin faktor eksternal dan internal cukup terkendali.

Tetapi, DPR tidak begitu saja setuju dengan sasaran pertumbuhan yang dianggap terlalu tinggi itu. Alasannya banyak. Pekerjaan yang mudah saja dalam mengimplementasikan anggaran yang ditetapkan DPR sulit bukan main.

Selama beberapa tahun terakhir, penyerapan anggaran hingga menjelang akhir tahun hanya separo dari anggaran yang tersedia. Baru setelah tertinggal satu atau dua bulan terakhir, penyerapan anggaran yang serampangan dilakukan tanpa melihat efektivitas hasil dari program tersebut.

Artinya, pada sisi pengeluaran, ada tiga masalah utama yang tidak mendukung tercapainya tingkat pertumbuhan tinggi seperti diprediksi pemerintah. Pertama, masalah injeksi anggaran yang tidak memadai karena banyak potensi pengeluaran pemerintah hilang akibat terjebak subsidi yang salah kaprah serta pengeluaran pembayaran utang luar negeri dan dalam negeri.

Masalah itu menjadikan APBN kita tidak dinilai sebagai faktor yang potensial mendongkrak pertumbuhan ekonomi karena sangat tidak memadai sebagai investasi publik. Kedua, faktor birokrasi, seperti dijelaskan di atas, mempunyai karakter tidak efektif dan tidak efisien dalam menjalankan ekonomi publik. Daya dorong pertumbuhan ekonomi dari injeksi pengeluaran pemerintah sangat lemah karena faktor birokrasi juga lemah.

Ketiga, birokrasi dan pemerintahan daerah yang belum pulih dari sindrom desentralisasi. Desentralisasi yang secara normatif potensial menopang pertumbuhan ekonomi daerah, tetapi karena transisi yang tidak tuntas, justru menjadi kendala ekonomi.

Pengeluaran publik di daerah kebanyakan terkuras untuk pengeluaran rutin dan tidak efektif bagi pembangunan langsung karena jumlah dan persentasenya sangat kecil. Sebenarnya, ekonomi Indonesia tergolong berkembang sehingga tetap potensial bergerak dengan pertumbuhan tinggi sampai 7 persen, seperti Tiongkok, India, Thailand, dan lainnya.

Potensi pertumbuhan ekonomi sebenarnya berada pada kisaran angka 7 persen tersebut. Karena itu, tidak terlalu aneh jika pemerintah mengajukan target pertumbuhan 2008 kepada DPR sebesar 7 persen atau setidaknya 6,9 persen.

Tetapi, sasaran tersebut kemudian dikoreksi DPR. Sebab, pada 2008 pemerintah bersama DPR menetapkan sasaran pertumbuhan ekonomi 6,5 persen, yang relatif lebih tinggi daripada perrtumbuhan tahun-tahun sebelumnya. Sasaran pertumbuhan sampai 6,9 persen sebenarnya masih diragukan karena banyak elemen pendukung pertumbuhan ekonomi tidak dimaksimalkan.

Tetapi, hasil pembahasan DPR dengan pemerintah, yang kemudian disahkan sebagai UU oleh DPR, itu kini semakin tidak realistis. Sasaran yang dibahas mendalam secara rasional tersebut kini meleset jauh dari kenyataan setelah harga minyak internasional dalam beberapa pekan ini meroket sangat tinggi.

Karena itu, patokan harga minyak, pertumbuhan ekonomi, dan berbagai indikator makro lainnya sudah tidak bisa lagi dipakai. Dengan demikian, faktor-faktor tersebut harus disesuaikan kembali agar lebih realistis dengan fakta dan kenyataan yang terjadi akhir-akhir ini.

Sasaran pertumbuhan ekonomi 6,5 persen tidak akan tercapai dengan kondisi harga minyak yang sangat tinggi. Sementara itu, APBN menetapkan patokan harga minyak berada pada kisaran USD 60 per barel. Jika harga minyak terus meningkat dan bertahan pada harga tinggi, pertumbuhan ekonomi sudah dipastikan menurun drastis.

Para analis Bank Indonesia (BI) dan beberapa lembaga riset lainnya menilai pertumbuhan ekonomi diperkirakan meluncur mendekati angka 5 persen jika harga minyak tetap bertengger tinggi di atas USD 90 per barrel.

Pertumbuhan ekonomi tidak semata-mata dipengaruhi faktor ekonomi, tetapi juga sangat bergantung pada faktor politik. Sasaran pertumbuhan ekonomi hampir 7 persen dinilai terlalu tinggi karena pada 2008 banyak faktor eksternal yang sangat berpengaruh pada ekonomi. Misalnya, persiapan pemilu, dinamika rivalitas antarpartai dan antarcalon presiden.

Tingkat inflasi diperkirakan 5,5-6,5 persen. Seperti biasa, faktor inflasi itu dinilai tidak terlalu krusial karena sasaran inflasi satu angka sering dijalani pemerintah dan teknokrat. (bersambung)

Didik J. Rachbini, ekonom, saat ini juga anggota DPR RI

Tidak ada komentar: